Kamis, 15 Maret 2012

JUARA 1 LKTII UI : HASIL KARYA BERSAMA


"PERNIKAHAN BEDA AGAMA
DITINJAU DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM"



Acan, Marzha, Irham
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, perbincangan tentang hak asasi manusia sangat gencar dibicarakan. Hal ini berawal dari kuatnya paham liberalisme yang dibawa-bawa oleh bangsa barat. Kendati banyak negara yang kemudian sepakat bahwa terdapat keberadaan hak asasi manusia yang universal, yaitu hak asasi yang dapat berlaku dimanapun dan diterima oleh siapapun di bumi ini. Namun, masih terdapat beberapa hak asasi manusia yang sering menjadi perdebatan.
Salah satu hal yang dianggap hak asasi manusia yang menjadi perdebatan ini adalah hak untuk melangsungkan pernikahan dengan kondisi pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Secara sederhana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perkawinan/ pernikahan diartikan berdasarkan kata dasarnya menjadi melangsungkan pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Pengertian tersebut tidak menjadi masalah ketika tidak menyentuh landasan idealisme, ketika seseorang atas dasar kepercayaannya tidak menjadikan suatu perkawinan itu dibolehkan atas dasar agama.
Padahal, dalam konsep hak asasi manusia yang diusung oleh barat, seseorang tidak boleh dibedakan hanya karena landasan agamanya, termasuk untuk dipilih atau melangsungkan pernkahan. Konsep hak asasi manusia ini kemudian sangat bertentangan dengan konsep hak asasi manusia dalam Islam. Dalam Islam sendiri, secara awam membatasi boleh/tidaknya melakukan perkawinan beda agama dengan menyematkan sebutan kafir, dzimmi, maupun orang-orang musyrik pada orang mukmin.
Hal yang demikian membuat tolak pikir umum, haramnya perkawinan beda agama. Namun, dalam konteks sosial, khususnya di Indonesia yang sebanyak 85% lebih penduduknya beragama Islam[1], menjadi dinamika sosial yang patutu mendapat perhatian dalam kasus perkawinan beda agama. Lebih lanjut, Indonesia sendiri memiliki keberagaman dari berbagai aspek, tidak terkecuali agama. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan keberlangsungan pernikahan beda agama.
Sebut saja Tahun 1980, sebanyak 24677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama. Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26688 pasangan di Indonesia melakukan hal yang demikian pula. Serta hasil terbaru yang ditemukan oleh penulis, pada tahun 2000, 2673 pasangan didata sebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama.[2]
Kendati data tersebut, menunjukkan penurunan, namun dalam interval sepuluh tahun tersebut, data selalu menunjukkan adanya pernikahan beda agama yang berlangsung. Sehingga penulis melakukan kesimpulan awal, bahwa di Indonesia yang merupakan Negara penuh keragaman termasuk agama terdapat pernikahan beda agama, tak terkecuali diantara orang Islam sendiri dengan orang di luar Islam.[3]
Dengan terjadinya dinamika sosial tersebut, disertai adanya pertanyaan masyarakat tentang kebolehannya, para ulama yang tergabung dalam majelis ulama Indonesia kemudian berusaha memberikan dalil agama untuk memberikan kepastian hukum terhadap kasus ini. Dalam fatwanya, MUI menyatakan dengan bernbagai landasan dalil bahwa perkawinan beda agama adalah haram sama sekali[4], yang padahal bertentangan dengan jumhur ulama.
Dari berbagai kondisi sosial yang ada, serta faktor yuridis dan filosofis tentang keberadan pernikahan beda agama yang ternyata setelah ditinjau lebih mendalam memiliki banyak kekosongan pemikiran, baik dalam pertentangan antara konsepsi hak asasi manusia dalam kasus ini, bahkan hingga perbedaan pendapat para ulama, menjadikan judul ini sangat menarik untuk ditinjau lebih dalam oleh penulis. Hal inilah yang melandasi penulis untuk melakukan kajian terhadap judul ini.



B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah Karya Ilmiah ini adalah
       1.    Apakah pernikahan beda agama diperbolehkan dalam Islam?
2.      Bagaimana HAM memandang Larangan pernikahan beda agama? 
C.    Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.      Tujuan penulisan Karya Ilmiah ini adalah:
a.   Untuk mengetahui bagaimana hukum pengaturan pernikahan beda agama dalam islam yang memiliki tujuan perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, dan harta
b.      Untuk mengetahui bagaimana Hak asasi manusia memandang larangan pernikahan beda agama.
2.   
              Manfaat penulisan Karya ilmiah ini  adalah:
a.       Bagi penulis, penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dalam bidang keilmuan hukum, khususnya hukum islam dan HAM.
b.      Bagi ilmu hukum, Penulisan ini diharapkan dapat menambah referensi yang membahas mengenai pernikahan beda agama melalui prespektif islam dan HAM.
c.       Bagi masyarakat dan praktisi hukum , hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah pemahaman dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan hukum Islam.
D.    Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan dalam penulisan karya ini didasarkan pada dalil-dalil al-Qur’an, yaitu:
QS al- Maidah:5
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.
            QS. Al- Baqoroh: 221
            Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
QS. al-Mumtahanah: 10
            Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain dasar al-Qur’an diatas, dalam penulisan ini juga memuat landasan teori tentang HAM, yaitu: teori Hugo de Groot yang menyatakan bahwa. Pertama. Pada asanya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia. Kedua Manusia mempunyai hasrat kemasyarakatan, yaitu manusia bersedia mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan orang lain. Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu: hindarkan dari milik orang lain, penuhilah janji, bayarlah kerugian yang disebabkan oleh diri sendiri, dan berilah hukum yang setimpal.
E.     Metode Penulisan
1.      Jenis Data
Jenis data, fakta atau informasi yang dikumpulkan terutama berupa data berupa buku, kitab fiqh, peraturan perundang-undangan atau lainnya. Beberapa referensi ilmiah diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan internet. Untuk menjaga kemutakhiran data, fakta atau informasi maka hanya sumber-sumber bacaan lima tahun terakhir yang dijadikan acuan dalam penulisan karya ilmiah ini.
2.      RancanganPenulisan
Agar tulisan yang dibuat efisien dan efektif, disusunlah kerangka tulisan berdasarkan topik tulisan yang diangkat. Berdasarkan kerangka tulisan itulah kemudian data dikumpulkan, disarikan, disusun, diolah, dan ditafsirkan. Hasil tafsiran kemudian dianalisis dan disintesis yang kemudian dihasilkan simpulan. Hasil analisis dan síntesis ini berupa gagasan baru untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan dalam literatur.
3.      Teknik Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari sumber-sumber bacaan berupa jurnal, majalah, buku, artikel ilmiah di internet, komunikasi pribadi dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik yang dibahas. Pada tahap ini data, fakta dan informasi dicari dan diidentifikasi. Data diseleksi, yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan dari yang tidak sesuai. Data yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan berdasarkan kesesuaiannya dengan sub-sub judul dalam kerangka tulisan.
4.      Teknik Pengolahan Data
Data, fakta atau informasi yang diperoleh kemudian diolah dengan cara analisis deskriptif dalam bentuk teks. Data yang telah diolah kemudian ditafsirkan dengan menggunakan metode analisis isi.
5.      Teknik Analisis dan Sintesis
Analisis dilakukan dengan cara membandingkan intisari-intisari sumber bacaan sebagai hasil pengolahan dan penafsiran data, fakta atau informasi. Pada tahapan ini, dibandingkan pula antara data yang tersedia dengan teori-teori yang relevan. Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka diungkap permasalahan-permasalahan, kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan atau manfaat-manfaatnya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dicari alternatif pemecahannya. Pemecahan masalah dilakukan dengan cara membandingkan kelemahan dan kelebihan dari cara-cara yang telah ada. Berdasarkan hasil perbandingan itu kemudian diangkat pemecahan masalah yang merupakan kombinasi dari cara pemecahan masalah yang telah ada. Disini, penulis juga mengemukakan argumentasi untuk mendukung alternatif pemecahan masalah yang penulis kemukakan.
6.      Teknik Penarikkan Simpulan
Simpulan dibuat dengan menggunakan pola pikir induktif, yaitu menarik simpulan dari proposisi-proposisi yang khusus yang kemudian digeneralisasikan. Saran atau rekomendasi dibuat berdasarkan hasil simpulan.
7.      Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: a) halaman judul, b) kata pengantar,  c) pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan, landasan teori, dan metode penulisa d) analisis dan sintesis yang berisi pembahasan, g) penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, dan  h) daftar pustaka.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISLAM

1.      Pengertian dan Hukum Pernikahan dalam Islam
Nikah dalam dalam bahasa arab  bermakna الوطء (al-wath’u) yakni bersetubuh/ berhubungan intim[5] atau juga bisa bermakna التزويج penyambungan atau penghubungan[6]. Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama.[7]
Nikah secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu:
a.       Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
b.      Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah[8].
Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan laki-laki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis[9]. Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara menurut pendapat pengikut maliki dewasa ini, sebagian besar menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah[10]. Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt, QS an-Nisa:4 yang berbunyi:

“…fankihuu maa thoobalakum mina annisaa…”.[11]

Selain itu juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan:

“ tanaakahuu fa inni mukatsirun bikumul umam”[12]

Tanda perintah dua dasar hukum dalam islam inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab maliki.

2.      Dasar Pernikahan Beda Agama dalam Islam
            Pernikahan beda Agama diatur dalam Al-qur’an, surat al-baqoroh :221, dalam ayat tersebut menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.
      Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[13]

            Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.
      Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]

Meski secara tegas dalam islam terdapt pelarangan pernikahan beda agama dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat islam dengan wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat al-Maidah: 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.[15]

Dari seluruh teori yang telah dituliskan diatas, bias ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hukum islam melarang adanya pernikahan beda agama . Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama.[16]
3.      Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1.      Pernikahan dengan Non Muslim/ kafir.
2.      Pernikahan dengan ahli kitab.
Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang cukup menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim/ kafir adalah orang-orang yang mengingkari tuhan,[17] sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur.[18]
1)      Pernikahan dengan non muslim/ kafir
Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar al-Qur’an, Syeikh Muhammad abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama[19]. Tentu  saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”.[20]
Dalam ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun,. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi Musa/ Taurat. Kedua, Nasrani/Nashara yang diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi Isa. Ketiga.Ash-Shabi’ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta. Keempat Al-Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya[21], dan terakhir Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt, tapi  dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
Dari pengertian Non muslim/kafir diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari kata kafir adalah mukmin, orang yang mengimani Allah. Dalam surat al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama’[22]. Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat al-Baqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.[23]
Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persident (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI.[24], sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.[25]Secara Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqoha’.[26]
2)      Pernikahan dengan ahli kitab.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memeliki kitab dan dapat di duga sebagai kitab suci. [27]
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam al-Qur’an QS al-Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS al_Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan[28]. Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat al-Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.[29]
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS al-baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus.[30] Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.[31]
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama’ islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
Melihat pada kenyataan di atas, Penulis menyarankan adanya kaidah ushul yang digunakan dalam pengambilan hukum dalam perbedaan ini, kaidah “idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram”[32]. Kaidah ini mungkin bisa menjadi penengah dari berkumpulnya hukum yang menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu sebagai sebuah tindakan berhati-hati dalam menentukan sebuah hukum, sehingga kita sebagai umat Islam tetap terjaga dalam segala aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
B.     HAM dan Implikasi Hukum Pernikahan Beda Agama
      1. Hakikat HAM
      Dewasa ini, pembahasan tentang HAM sudah menjadi semacam hal yang tidak kunjung usai. Paham liberalism terhadap manusia yang mendasari lahirnya HAM kemudian menjadi titik tolak bahwa yang menjadi pusat dunia adalah manusia. Dengan landasan tersebut, manusia kemudian ditempatkan dalam posisi yang teratas sehingga apa-apa yang menjadi haknya tidak dapat direbut, bahkan oleh manusia lain.
      Dalam KBBI[33], hak diartikan sebagai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Dalam kronologis sejarah, perkembangan atas hak inilah yang kemudian memicu munculnya hak asasi manusia dengan dasar liberalism. Pengakuan atas hak dalam konteks sejarah tidak terlepas dari teori terbentuknya Negara, yang meliputi teori ketuhanan, teori kekuasaan, teori perjanjian, serta teori kedaulatan.[34] Dari masing-masing teori tersebut, mempunyai pandangan yang tersendiri dalam hakikat hak itu sendiri.
      Dalam teori ketuhanan, pemegang hak tertinggi adalah Tuhan, sehingga semua kegiatan manusia ditujukan pada Tuhan. Sedangkan dalam teori kekuasaan pemegang hak tertinggi adalah penguasa. Munculnya teori kekuasaan dan praktiknya yang sangat menyengsarakan pihak yang dikuasai, memunculkan teori perjanjian sosial dalam ranah empiris. Teori ini merumuskan hak dan kewajiban atas dasar perjanjian antara pihak yang dikuasai dengan yang dikuasai. Namun, dalam tataran empiris pula, ternyata teori ini tidak mampu mengakomodir pihak lain yang tidak ikut melakukan perjanjian, terutama ketika perjanjian tersebut telah berlangsung lama sehingga pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut sudah tidak mampu melakukan perjanjian.
      Dari fakta sejarah tersebut, kemudian muncullah teori kedaulatan yang memandang hak penuh berada ditangan rakyat sedangkan penguasa berkewajiban untuk pengadaannya. Pandangan atas hak tersebut kemudian tidak berhenti, kuatnya paham liberalism dalam perkembangan sejarah tersebut memunculkan dua aliran liberalism, yaitu klasik dan modern.[35] Dua cabang paham tersebut, tidak mengubah substansi bahwa manusia adalah yang utama. Pandangan tersebut kemudian memicu perkembangan pemikiran, bahwa hak manusia adalah yang utama sehingga tidak dapat direnggut oleh siapapun juga. Dalam pemikiran klasik beberapa doktrin seperti John Locke menyatakan bahwa hak manusia (hak asasi manusia) meliputi, hak hidup, hak kemerdekaan, serta hak milik[36]
      Berbeda pendapat dari John Locke, Thomas Hobbes hanya menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada satu, yaitu hak untuk hidup. Satu hal yang patut dicermati dari perbedaan ini, John Locke juga menyampaikan bahwa hak tersebut berasal dari Tuhan yang sifatnya kodrati. Artinya, menurut John Locke, hak asasi manusia ada karena diberikan oleh Tuhan.
      Teori John Locke tentang hak asasi manusia berdasar pemberian Tuhan ini sebenarnya berdasar atas teori hukum alam kodrati yang diajukan oleh Grotius (Hugo de Groot) yang berisi:
a.       pada asanya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia
b.      manusia mempunyai hasrat kemasyarakatan, yaitu manusia bersedia mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan orang lain.
c.       ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu : hindarkan dari milik orang lain, penuhilah janji, bayarlah kerugian yang disebabkan oleh diri sendiri, dan berilah hukum yang setimpal.[37]
Walaupun Hugo de Groot  tidak secara spesifik menyatakan hal tersebut berasal dari Tuhan melainkan secara kodrati, namun hal tersebut memberikan pengertian bahwa pemikiran atas hak tersebut menjadi diakui kebenarannya kepada seluruh umat manusia. Walaupun demikian, awal munculnya pemikiran ini tetap mendapat tentangan dari Jeremy Bentham[38]. Jeremy menganggap bahwa konsep hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang sudah sepantasnya melekat pada manusia tidak memiliki parameter yang relevan. Secara nyata, tentangan terhadap Jeremy tersebut terbantahkan oleh sejarah. Dunia Internasional kembali berpaling pada teori kodrati yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah melekat, tidak diberi oleh penguasa manapun, melainkan ada karena manusia adalah manusia.
Kesepakatan atas teori tersebut muncul akibat adanya peristiwa holocaust oleh Nazi dalam perang Dunia II.[39] Dalam proses tersebut, penguasa otoriter Jerman, Adolf Hitler membantai secara masal umat Yahudi di daerah kekuasaannya. Perasaan kejam atas tindakan ini menimbulkan kecaman dalam dunia masyarakat Internasional. Hal inilah yang kemudian menjadi buah pemikiran bahwa hak asasi manusia dalam konteks ini hak hidup bukan karena pemberian penguasa, bukan karena hukum, namun melekat secara kodrati kepada manusia karena manusia adalah makhluk dengan martabat tertinggi ciptaan Tuhan.
2          2. HAM di Indonesia
Perkembangan hak asasi manusia di Indonesia secara yuridis turut dicampuri oleh perkembangan dunia hukum Internasional. Sudah menjadi suatu konsekuensi logis, bahwa kemerdekaan Indonesia yang bermula dari penjajahan berabad-abad menghasilkan sikap nasionalis untuk mempertahankan hak atas rakyatnya. Di samping itu, pengaruh Doktrin barat atas hak asasi manusia kala itu turut mengambil peran, hingga menghasilkan dasar Negara Indonesia, yaitu UUD 1945 yang dalam pembukaannya mengakui eksistensi hak asasi manusia secara eksplisit yang berbunyi,
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuaidengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[40]
Berlandas pada dasar Negara tersebut, pengakuan atas hak asasi manusia utamanya meliputi kemerdekaan, yaitu bebas yang bertanggung jawab. Lebih lanjut, dasar Negara tersebut menyatakan kewajiban Negara untuk memenuhi kesejahteraan rakyatnya, memenuhi kesejahteraan masyarakatnya, serta melindungi segenap masyarakatnya. Sudah menjadi suatu konsekuensi logis bahwa munculnya kewajiban akan menyertakan hak pada pihak lain, yang dalam konteks ini rakyat. Hal ini kemudian mampu menyamakan semangat dari konstitusi tersebut sebagai semangat dalam mendirikan welfarestate, yaitu negara yang tujuannya untuk mensejahterahkan rakyatnya. Perlu diingat, bahwa dalam dasar negara ini, penambatan hak tersebut didasarkan pada kelima sila ideologi Negara sebagaimana yang tercantum dalam paragraph keempat. Sehingga, hak apapun yang dimiliki, tidak bisa terlepas implementasi dan pertanggungjawabannya dari konteks Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan  Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih lanjut, pembukaan dari dasar Negara tersebut diimplementasikan dalam batang tubuh dasar Negara tersebut yaitu dalam pasal Pasal 5 ayat ( 1 ), Pasal 20 ayat ( 1 ), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasa129, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat(1 )dan ayat (3), dan Pasal 34 ditambah  Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi Manusia.
Perkembangan terhadap hak asasi manusia di Indonesia sendiri sempat tersendat akibat adanya rezim otoriter dalam masa kepemimpinan presiden kedua RI yaitu Soeharto. Dalam masa kepemimpinannya, seakan-akan semua hak asasi manusia kemudian terbelenggu atas hukum. Padahal dalam masa ini, hukum kemudian absolut dibuat oleh penguasa. Pelanggaran ini bermula dari awal rezimnya yaitu dengan penumpasan PKI.[41] Lebih lanjut, Soeharto juga mengadakan pelenyapan paksa, pembungkaman atas hak kebebasan berbicara, penghilangan hak milik atas nama kesejahteraan rakyat, dan lain sebagainya.[42] Konsepsi lima agama dalam masa kepemimpinan Soeharto inipun menjadi salah satu pemikiran bahwa tidak adanya kebebasan dalam beragama dalam masa pemerintahannya.
Pasca kejatuhannya, Indonesia sendiri kemudian meratifikasi piagam PBB sebagai sebuah undang-undang yang sah berlaku di Indonesia. Ratifikasi tersebut diwujudakan dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999. Ratifikasi ini dilakukan utamanya bukan karena Indonesia merupakan anggota PBB kala itu, melainkan terungkapnya beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia berat saat pemerintahan soeharto.[43]
Ratifikasi ini kemudian menimbulkan konsekuensi hukum bahwa seluruh pasal dalam DUHAM menjadi berlaku di Indonesia. Namun, dalam undang-undang 39 tahun 1999 ditambahkan konsep ketuhanan dalam pasal 1 tentang ketentuan umum mengenai pengertian HAM itu sendiri. Hal ini kemudian membatasi implementasi HAM yang harus berdasar ketuhanan.
Dalam perkembangannya, amandemen UUD 1945 tahap kedua tahun 2000 menjadikan dasar penjelas dari konsep HAM di Indonesia. Meskipun tahap pembuatannya bisa dikatakan terbalik menurut hirarki yuridis terhadap UU no 39 Tahun 1999, namun hal ini tidak menjadi kendala selama tidak bertentangan dengan peraturan dasarnya. Dari kedua dasar hukum tersebut, secara umum hak asasi manusia di Indonesia meliputi:
a.       Hak untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat.
b.      Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak yang bebas.
c.       Hak mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
d.      Hak memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan secara obyektif  oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan adil dan benar.
e.       Hak atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah Republik Indonesia.
f.       Hak atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
g.      Hak atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
h.      Hak turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
i.        Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
j.        Hak anak. Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum.

3          3.  HAM dalam Islam
Islam adalah sebuah agama yang muncul pada abad kelima masehi. Para pengikutnya percaya bahwa Islam adalah agama yang  rahmatan lil ‘alamin. Artinya, adalah agama yang menjadikan kebaikan bagi seluruh alam semesta, baik pengikutnya maupun bukan. Dengan konsep yang demikian, Islam kemudian mnempatkan diri bagi pengikutnya sebagai sebuah pedoman hidup. Dalam konsep kekinian, sebagai sebuah pedoman hidup, Islam selalu ditabrakkan oleh dinamika sosial perkembangan manusia, tidak terkecuali tentang HAM.
Pertentangan antara HAM dan Islam dimulai dari adanya perbedaan konsep mendasar tentang asal HAM itu sendiri. Dewasa ini, HAM lebih mengedepankan aspek kebebasan manusia atau liberalisasi atas manusia. Padahal dalam Islam, hal tersebut tidak bisa diakui sepenuhnya, karena dalam agama ini terdapat ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan(Allah SWT) adalah pemilik alam semesta, sehingga tidak satupun manusia yang bebas melakukan sesuatu kecuali atas izinNya.
Pembahasan HAM dalam Islam secara substantif terdapat dalam ajaran agama Islam itu sendiri, yang dalam konteks ini mewajibkan seseorang untuk menghargai hak orang lain. Seperti ajaran dilarang membunuh, dilarang mencuri, dan sebagainya. Kodifikasi tentang HAM dimulai dari munculnya piagam madinah, yaitu perjanjian semacam kontrak politik antara Rasulullah Muhammad saw dengan penduduk Madinah yang menempatkan Rasul sebagai pemimpinnya.
Dalam Piagam Madinah terdapat beberapa konsepsi dasar terhadap hak yang dipangkunya hal ini tertera dalam alenia awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.

Terdapat paling tidak lima makna pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada posisi teratas, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis, ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership), dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).
Hak asasi manusia yang terkandung dalam Piagam Madinah dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu hak untuk hidup,hak dalam kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
a.      Hak untuk hidup
Dalam pasal 14 piagam ini dicantumkan larangan pembunuhan terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh keluarga korban.
            b.      Hak dalam Kebebasan
Dalam konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
1)      Kebebasan mengeluarkan pendapat
      Dalam hal ini, konsep dasar yang diusung adalah pengadaan musyawarah yang merupakan salah satu media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara.
2)      Kebebasan Beragama
      Kebebasan memeluk agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25 piagam ini.
3)      Kebebasan dari kemiskinan
      Kebebasan ini harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal ini adalah upaya kolektif
4)      Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan, dengan adanya ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
           c.       Hak mencari kebahagiaan
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas sebelumnya, meletakkan Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi juga harus berbarengan dengan kebahagiaan batin.[44]
Dari pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam mengakui konsep hak yang melekat dari manusia, hak tersebut diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Hal ini menimbulkan konsekuensi logis, bahwa Tuhanlah yang boleh menetapkan mana yang bisa dimiliki haknya oleh manusia dan mana yang tidak. Secara substantive, hak asasi manusia dalam Islam lebih diarahkan pada implementasi kewajiban asasi manusia, yaitu keharusan manusia untuk tidak melakukan sesuatu pada manusia lainnya. Dalam hal ini, pedoman melakukannya terdapat dalam agama Islam itu sendiri, sedangkan kodifikasi khususnya terdapat dalam piagam madinah yang merumuskan hak-hak yang dapat diperoleh oleh umat manusia.
4          4.  Analisa Pelanggaran HAM dalam Pernikahan Beda Agama

Indonesia adalah masyarakat yang plurar. Artinya, terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan bahkan hingga beragam dalam hal kepercayaan. Hal ini menimbulkan berbagai dampak sosial salah satunya tentang perkawinan. Dalam hal ini, dampak sosial berusaha ditekan dengan munculnya UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang merupakan unifikasi dari seluruh hukum pernikahan yang ada di Indonesia. Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas dasar uu ini pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Permasalahan tersebut muncul, ketika dalam kelompok plurar menginginkan pernikahan yang padahal kedua belah pihak berbeda agama, yang mana salah satu pihak dalam agamanya melarang hal tersebut untuk dilakukan. Salah satu agama yang melarang pernikahan beda agama tersebut adalah agama Islam. Masalah ini kemudian berujung pada pembahasan tentang HAM, artinya apakah melakukan pernikahan dengan siapa, dengan cara apa, bagaimana, kapan, di mana, dan kenapa merupakan hak absolut umat manusia yang sekalipun Negara tidak boleh campur tangan dalam pemberiannya? Ataukah konsep tersebut memiliki alasan rasional untuk pembatasannya?
Dalam konsep HAM barat yang dewasa ini sangat digencarkan, pernikahan dirumuskan dalam instrument hukum internasional yaitu DUHAM, tepatnya pada pasal 16 dalam 3 ayat, yaitu :
a.       laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
b.      perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua mempelai; dan
c.       keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Dalam konsep tersebut, HAM diartikan memberi kebebasan untuk melakukan pernikahan tanpa memandang agama. Hal ini bertentangan dengan UU no 1 tahun 1974, yang menyatakan harus dilakukan sesuai dengan agama masing-masing. Penjelasan atas UU ini kemudian diperkuat dengan adanya UU no 39 tahun 1999. Dalam pasal 50 UU ini, tercantum klausa bahwa “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya.”
Dalam tataran yuridis, sebuah Negara yang telah meratifikasi suatu instrument HAM memiliki suatu kewajiban untuk melaksanakan aturan tersebut. Namun demikian, berdasar kebebasan dalam ratifikasi, ratifikasi memberikan peluang dalam hukum yang mana yang dapat aplikatif dalam system hukum dalam suatu Negara. Dengan adanya pengertian tersebut, maka secara yuridis, tidak menjadi suatu masalah ketika UU no 39 Tahun 1999 serta UU no. 1 Tahun 1974 berbeda dari DUHAM sebagai instrument dasar HAM.
Namun, tataran yuridis tersebut harus mampu dijelaskan dalam tataran filosofis tentang HAM, mengingat DUHAM, sendiri hanya merupakan kodifikasi rasional umat manusia atas HAM. Begitu pula UU no. 39 Tahun 1999, UU no 1 Tahun 1974 bahkan UUD 1945. Dalam tataran filosofis, pengertian atas hak serta pernikahan itu sangat penting artinya. Dalam pengertian hak asasi manusia dalam kajian ini terdapat dua kubu penting, pertama menurut konsepsi internasional yang kedua menurut konsepsi Islam.
Dalam konsep Internasional, doktrin sepakat menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang dimiliki oleh umat manusia karena derajatnya yang tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sedangkan dalam konsep Islam, HAM ditempatkan berdasar ketuhanan, umumnya diwujudkan dengan penghormatan terhadap orang lain  dalam bentuk kewajiban untuk tidak melakukan penghilangan daripadanya. Dalam pengertian kedua konsep tersebut terdapat beberapa persamaan, yang pertama HAM ada untuk manusia karena Tuhan. Dengan demikian, fungsi kodrati bahwa HAM melekat pada seluruh umat manusia menjadi jelas, karena setiap manusia adalah ciptaan Tuhan. Lebih lanjut, secara eksplisit pengertian HAM dalam dunia internasional atas dasar pengertian tersebut, akhirnya juga menyepakati bahwa HAM merupakan pemberian Tuhan serupa dengan konsepsi HAM dalam Islam.
Pernikahan sendiri dalam DUHAM berdasar rasionalisme dan liberal menghasilkan paham sekuler yang berusaha memisahkan dunia dengan agama yang menghasilkan bebasnya perkawinan beda agama. Berbeda dengan konsep Islam, yang menyatakan bahwa perkawinan dilaksanakan karena hak untuk nikah sendiri diberikan oleh Tuhan. Maka, menurut islam, kapan, siapa, dimana, bagaimana, kenapa seseorang itu melakukan pernikahan adalah hak Tuhan untuk menetapkan mana yang akan diserahkan pada manusia dalam kepengurusannya.
Penjabaran makna pernikahan dalam DUHAM sendiri kemudian menjadi tidak relevan ketika mengingat dasar filosofis pengadaannya. Bahwa DUHAM mengakui adanya Tuhan pemberi hak tersebut, namun kemudian mengapa agama sebagai ajaran Tuhan tidak dijadikan landasan.

5.      Implikasi Pernikahan Beda Agama terhadap Status Anak
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih  hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik  maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.[45] Begitu pentingnya eksistensi akan lambang penerus dan lambang keabadian ini, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya pernikahan. Pensyari’atan pernikahan memiliki tujuan antara  lain untuk berketurunan yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari   penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah.[46] Namun, apa yang terjadi jika  pernikahan yang terjadi merupakan pernikahan antara dua insan yang berbeda latar belakang dari sisi keagamaan?
Pernikahan beda agama yang terjadi antara dua insan manusia, tentunya memiliki dampak atau implikasi pada status anak dikemudian hari.  Implikasi tersebut dapat diidentifikasikan dengan status anak yang bukan menjadi anak kandung, karena dalam pembahasan di atas hukum pernikahan beda agama dalam islam adalah dilarang (haram)
Status anak ‘haram’ akibat pernikahan beda agama pada prinsipnya, penulis tidak sependapat dengan istilah tersebut, karena di samping istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar kurang etis bagi yang bersangkutan. Selain itu, kelahiran seorang anak di dunia ini tidak pernah di kehendaki oleh anak itu sendiri. Kelahirannya semara-mata merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya. Dengan demikian tidak ada alasan untuk melegalisasikan anak tersebut dengan menyebutnya sebagai anak haram. Semestinya yang patut untuk dipersalahkan adalah orangtuanya yang dengan kehendak bebasnya, semena-mena melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan zina. Terhadap anak tersebut lebih tepatnya dapat dikatakan sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam selain dijelaskan tentang kriteria anak sah atau anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, yang berbunyi : “bahwa anak  yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut,[47] juga dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang  tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[48]
Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal ini adalah :
a.       Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
b.      Anak yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan  tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
c.       Anak yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
Salah satu implikasi terhadap status anak yang lain yang dilahirkan melalui proses pernikahan yang tidak sah (karna larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut adalah anak hasil perzinahan. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan  suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.[49]  Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus di dalamnya. Hal tersebut bertujuan agar anak hasil dari hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan menyandangkan dosa besar ibu kandungnya dan ayah anak tersebut kepada dirinya, selain itu juga bertujuan untuk menunjukkan identitas Islam bahwa Islam tidak mengenal adanya dosa warisan.
Hal tersebut di atas dapat ditemui dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Berdasarkan definisi dan pendekatan makna “anak hasil zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak hasil zina dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat dari perbuatan zina, maupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, sebagai akibat dari pernikahan beda agama.
Anak yang lahir di luar pernikahan yang sah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya. Sedangkan pengertian di anak yang lahir akibat dari pernikahan beda agama adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita berbeda agama yang dapat melahirkan keturunan atau anak sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.
Terkait status anak seperti yang telah dipaparkan diatas, menurut hukum syari’ah, anak hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia ini, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya:
 Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/ noda) dan pembawaan beragama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi. (Hadis riwayat Abu Ya’la,al-Thabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari’).
Karena itu, anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. meskipun dalam buku “M.Quraish ShihabMenjawab 1001 Soal Ke-Islaman Yang Patut Anda Ketahui” dijelaskan bahwa pada hakikatnya anak hasil zina tersebut tidak dinisbahkan kepada ibu yang mengandungnya,[50]namun tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya secara materil dan spiritual terletak pada ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya, sebab anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibu yang melahirkanya.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasar atas rumusan masalah yang telah kami buat, maka kami mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1.      Bahwa dalam islam, pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram” bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah islam.
2.      Bahwa hak asasi manusia manusia pada dasarnya merupakan hak kodrati yang diberikan tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrati tersebut menyimpang dari aturan dan ketentuan tuhan. Begitupula dalam islam, dengan adanya aturan Allah, maka hak asasi manusia tersebut sudah tentu tidak boleh bertentangan dengan ajaran yang diperintahkan oleh allah SWT.
B.     Saran
Hukum Islam pada dasarnya dibuat untuk mencapai maqoosid syari’ah, yaitu hifd ad-din,hifd an-nafs, hifd al-aql, hifd an-nafs dan hifd al-maal. Oleh karena itu, dalam perumusan hukum islam haruslah memperhatikan aspek ini. Hukum pernikahan beda agama ini haruslah berorientasi terhadap maqosid syari’ah tersebut dan memperhatikan dampak terhadap status anak dan hak anak dalam waris serta nikah. Semoga perumusan yang telah kami buat di atas dapat memenuhi unsur di atas, sehingga dapat diterima oleh semua masyarakat dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasar nilai-nilai Islam. 

Transkrip nilai-nya dapat dilihat di link ini :

http://www.mediafire.com/?nojmv82li1cciwa 


[1]  Wikipedia, Agama di Indonesia, dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia, di akses pada tanggal 23 Januari 2012
[2]  Dimuat dalam artikel berjudul Fakta Empiris Nikah Beda Agama di http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/fakta-empiris-nikah-beda-agama/, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
[3]  Ibid
[4]  Faeshol Jamaluddin, Analisis Fatwa MUI Nomor :4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama, dimuat dalam http://idb4.wikispaces.com/file/view/bu4001.pdf, diakses pada tanggal 23 Januari 2012
[5]  Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (al-Ashri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 1943
[6]  Ibid, hlm: 1026
[7]  A. W. Munawwir,  Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya :Pustaka Progressif,2002), hlm. 1461
[8] Abdurrahman al-Jaziri,  al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar  al Fikr, t.th), Juz. IV, hlm. 3
[9] Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006), hlm.69.
[10] Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
[11] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. an-Nisa : 3
[12] Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
[13] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. al-Baqoroh: 221.
[14] Ibid, QS. al-Mumtahanah: 10.
[15] Ibid, QS. al-Maidah: 5.
[16] Karsayuda, Op. Cit, hlm:87.
[17] Zuhdi Muhdhor dan Atabik Ali, Op. Cit, hlm.1512
[19] M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui,( Jakarta : Lentera Hati, 2008 ) hlm. 772.
[20] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS Al Hajj: 17.
[21] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah (Volume 9) (Jakarta :Lentera Hati , 2002), hlm. 29
[22] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[23] Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69.
[24] Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
[25] Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
[26] Karsayuda, Op.Cit, hlm: 7
[27] M.Quraish Shihab, M. Quraish…,Op.Cit,hlm: 595.
[28] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[29] Karsayuda, Op.Cit, hlm. 79
[30] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm.36
[31] M.Quraish Shihab, M. Quraish …,Op.Cit, hlm. 597.
[32]  Bisri Mustofa,Tarjamah nidhom Faraaidil Bahiimah fii al qowaaid al fiqhiyyah, ( Kudus :Maktabah wa mathba’ah menara kudus),  hlm. 87
[33]  Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 Freeware,2010 by Ebta Setiawan dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) di ambil dari http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
[34] Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung : Mandar Maju. ,2001), hlm. 25
[35] Wikipedia, Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan  Liberalisme Klasik, di muat dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme, di akses pada tanggal 22 Januari 2012.
[36] Dimuat dalam  artikel berjudul Pendapat Para Ahli Tentang HAM di website http://nalhackerblog.blogspot.com/2010/03/pendapat-para-ahli-tentang-ham.html, di akses pada tanggal 22 Januari 2012
[37] Solly Lubis , Op.Cit. hlm. 27-28
[38] Jeremy Bentham dikutip dalam  buku nya K.M Smith Rhona dan Njal Hostmaelingen, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta : PUSHAM UII,2008), hlm. 13
[39] Ibid.
[40] Undang-Undang Dasar R.I Tahun 1945, (Surakarta : Pustaka Mandiri),hlm. 4
[41] Wikipedia, Soeharto, dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto, diakses pada tanggal 22 Januari 2012.
[42]  Ibid
[43]  Deni K. Yusup, Kodifikasi UU No.39 Tahun 1999, dimuat dalam http://dkyusup.blogspot.com/2008/04/kodifikasi-uu-no-39-tahun-1999.html, di akses pada tanggal 22 Januari 2012.

[44] Imam Hidayat, Pengertian, macam dan Jenis Hak Asasi Manusia/HAM yang Berlaku Umum Global, dimuat dalam http://imamcubluxhidayat.blogspot.com/2011/02/pengertian-macam-dan-jenis-hak-asasi.html, diakses pada tanggal 22 Januari 2012.

[45]   Yusuf al-Qadhawi, Halal  dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976), hlm. 256-158
[46]   Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1997), cet. Ke-2 . hlm. 11
[47]  Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Kesindo Utama : Surabaya, 2010 ), hlm.226
[48]  Ibid, hlm. 226
[49]  Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999,
hlm. 40.
[50]  M. Quraish Shihab, M.Quraish ..,Op.cit hlm.512

Tidak ada komentar:

Posting Komentar