Senin, 07 November 2011

KEBIJAKAN UMAR BIN KHATTAB DAN TERBUNUHNYA UTSMAN BIN 'AFFAN

BAB I
PENDAHULUAN

Maju dan mundurnya sebuah pemerintahan akan sangat bergantung kepada pemegang kekuasaan. Peradaban suatu bangsa pun pasti tak akan pernah terlepas dari kebijakan yang ada pada bangsa itu sendiri. Kerapkali kemunduran bahkan kehancuran suatu bangsa bermula dari salah kaprahnya kebijakan yang diterapkan. Namun tak jarang juga, arus kemajuan dan kejayaan suatu bangsa bermuara dari kebijakan. Kebijakan sangat menentukan haluan suatu bangsa, kemana nohkoda bangsa hendak berlayar. Oleh karena itu, kebijakan merupakan hal yang sangat esensial dalam menentukan pengembangan sebuah bangsa dalam rangka membangun satu peradaban dan menorehkan kemajuan. Pendek kata, maju mundurnya suatu bangsa sangat tergantung pada kebijakan yang diterapkan.[1]
Sebagai terminal akhir suatu kebijakan, maka kemampuan seorang pemimpin sangat menentukan. Tercatat dalam lembaran sejarah, Islam pernah memiliki pemimpin-pemimpin (khalifah) yang namanya masih acapkali dibicarakan, baik di kalangan akademisi maupun non-akademisi, bahkan menjadi rujukan dalam memformulasikan suatu tindakan berupa kebijakan yang menyentuh wilayah politik, sosial, dan ekonomi.
Di tangan merekalah kejayaan Islam pernah diraih. Kala itu, kemajuan Islam sungguh berada pada puncaknya, baik dari aspek politik, sosial, ekonomi dan budaya. Kemajuan di bidang politik dibuktikan dengan meluasnya ekspansi Islam ke berbagai negara sekitarnya. Kekuatan politik menyumbang dampak positif terhadap kesejahteraan sosial masyarakat, dengan diterapkannya berbagai kebijakan berdasarkan dengan tuntutan realitas dan kesejahteraan yang berlandaskan perintah yang termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
Berkaitan dengan itu, Umar bin Khattab adalah salah satu khalifah yang pernah menorehkan tinta emas pada lembaran sejarah peradaban umat Islam. Pada masanya, pemerintahan Islam semakin kuat, yang didukung dengan  formulasi kebijakan yang sangat fenomenal. Banyak perubahan yang dilakukan, bukan saja di ranah ritual keagamaan, tetapi juga meliputi aspek sosial budaya, terutama pada ranah kebijakan ekonomi.
Dalam makalah ini juga kami tidak hanya membahas kebijakan-kebijakan pemerintahan pada masa Umar bin Khattab, melainkan juga mengeksplore sebab terbunuhnya Utsman secara kejam yang dimulai dengan peristiwa tersebar luasnya fitnah di kufah, surat misterius, pengepungan hingga berakhirnya Utsman bin Affan di tangan kaum pemberontak.

BAB II
PEMBAHASAN
A.  KEBIJAKAN-KEBIJAKAN UMAR BIN KHATTAB RA
1.      PERLUASAN DAN PENGELOLAAN WILAYAH
Pada periode Khalifah Umar (634-644 M), peta Islam meluas di Timur sampai perbatasan India dan sebagian Asia Tengah di Barat sampai Afrika Utara. Setelah memangku jabatan kekhalifahan, Umar melanjutkan kebijakan perang yang telah dimulai oleh Abu Bakar untuk menghadapi tentara Sasania maupun Byzantium baik di front Timur ( Persia ), Utara (Syam) maupun di Barat (Mesir). Ada beberapa sebab ekspansi Umar Bin Khattab ke wilayah-wilayah tersebut di antaranya :
a.       Letak geografis Persia, Syam, Iraq maupun Mesir adalah wilayah perbatasan dengan pemerintahan Islam. Daerah Byzantium terletak sebelah barat laut dari Arab terdiri dari Syiria, Palestina, Yordania, dan Mesir. Mereka, sejak awal, memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan bangsa Arab.
b.      Pada saat itu, Sungai Nil (Mesir) dan Mesopotamia merupakan lahan yang subur. Jika dibandingkan dengan keadaan di Arab yang gersang dan tandus, maka hal ini menarik keinginan para prajurit Islam untuk menguasai wilayah tersebut sebagai sentrum perjuangan dakwah di luar Jazirah Arab.
c.       Damaskus pada saat itu merupakan kota penting. Damaskus dijadikan kota dan jalur perdagangan internasional.[2]
Adapun sebab-sebab yang membuat ekspansi Islam berhasil dengan cepat adalah:[3]
a.         Ajaran-ajaran Islam mencakup kehidupan didunia dan akhirat.
b.        Keyakinan yang mendalam di hati para sahabat tentang kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam ke seluruh daerah.
c.         Kekaisaran Persia dan Byzantium dalam keadaan lemah
d.        Islam tidak memaksa rakyat di wilayah perluasan untuk mengubah agamanya.
e.         Rakyat di wilayah tersebut memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada Byzantium
f.         Wilayah perluasan adalah daerah yang subur.
Untuk pengelolaan wilayah perluasan, Umar membawa transformasi penakluk arab menjadi sebuah kelompok elite militer untuk bertugas menjalankan penaklukan berikutnya, dan untuk membentengi wilayah-wilayah yang telah ditundukkan. Mereka sama sekali tidak terlihat sebagai pekerja atau profesi dari pekerjaan penduduk setempat, juga tidak sebagai pemilik tanah atau sebagai petani untuk mencegah penyerbuan Badui secara semena-mena.
Upaya lain yang ditempuh Umar adalah warga taklukan tidak diganggu, artinya muslim Arab tidak boleh memaksakan agar mereka masuk Islam. Khalifah Umar juga mengirimkan gubernur untuk menangani pengumpulan pajak upeti, untuk mengawasi distribusi dari pendapatan pajak sebagai gaji tentara, dan untuk memimpin orang Arab dalam peperangan dan dalam pelaksanaan shalat berjama’ah.
Satu keterkaitan antara perluasan dan pengelolaan wilayah kekuasaan dengan masuk Islamnya penduduk di wilayah-wilayah tersebut adalah sikap toleransi dari kaum Muslimin dan mereka mendapatkan perlakuan yang baik. Mereka hidup lebih aman dan damai di bawah perlindungan pemerintahan Islam dibandingkan ketika mereka hidup dibwah tekanan kekuasaan hegemoni Byzantium dan Sasania, sehingga mereka masuk Islam dengan kemauan sendiri tanpa adanya paksaan dari kaum muslimin.
2.      PENGELOLAAN  KAS NEGARA

Pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar, kekuasaan bersifat sentral (eksekutif, legislatif, dan yudikatif terpusat pada pemimpin tertinggi), sedangkan pada masa Umar, lembaga yudikatif dipisahkan dengan didirikannya lembaga pengadilan.
Diantara kebijakan yang dilakukan umar adalah menata pemerintahan dengan membentuk departemen-departemen (diwan), mengadopsi model persia. Misalnya untuk menjaga keamanan dan ketertiban dibentuk jawatan kepolisian dan juga jawatan pekerjaan umum. Tugas diwan adalah menyampaikan perintah dari pemerintah pusat ke daerah-daerah dan menyampaikan laporan tentang perilaku dan tindakan-tindakan penguasa daerah kepada khalifah.[4] Wilayah negara pada masa pemerintahannya dibagi menjadi delapan provinsi, yaitu : Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Bashrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Tujuannya adalah untuk melancarkan hubungan antar daerah.
Pada masa Umar ini pulalah mulai diatur dan ditertibkan tentang pembayaran gaji dan pajak tanah.[5] Terkait dengan masalah pajak, Umar membagi warga negaranya dalam dua kelompok yaitu muslim dan non muslim (dzimmy). Bagi muslim diwajibkan untuk membayar zakat, sedangkan bagi non muslim dipungut kharaj (pajak tanah) dan jizyah (pajak kepala). Bagi muslim diberlakukan hukum islam, bagi non muslim diperlakukan hukum menurut agama atau adat mereka masing-masing. Untuk mengelola keuangan negara didirikan Baitul Mal. Mata uang telah ditempa sendiri pada masanya. Kemudian untuk mengenang peristiwa hijrah ditetapkan peristiwa tersebut sebagai awal tahun hijriah.[6] Seluruh kebijakan yang dilaksanakan, pada hakekatnya merupakan upaya mengkonsolidasikan bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam satu bangsa.
Kebijakan Umar yang lain dalam hal pengelolaan kas negara adalah Umar menerapkan pajak perdagangan (bea cukai) yang bernama al-‘Ushur, Ia mengadopsi sistem ini ketika ia mendapat laporan bahwa apabila pedagang Arab datang ke Byzantium,  maka pedagang tersebut ditarik pajak 10% dari barang yang dijual. Sementara itu bagi dzimmi yang berada di dalam negeri dikenakan sebesar 5%, sedangkan bagi orang Islam membayar 2,5% dari harga barang dagangan. Umar juga mengeluarkan beberapa kebijakan yang inovatif yang tidak terdapat pada periode sebelumnya, misalnya demi keamanan, menjaga kualitas/mutu tentara Arab, produksi panen yang memadai, menghindari negara dari kerugian pajak 80%, keadilan, menghindari diskriminasi Arab dan non-Arab, khalifah melarang transaksi jual beli tanah bagi orang Arab di luar Arab. al-Mal al-Ghanimah selama pemerintahannya dibagikan kepada kepala negara sebesar 20% dan tentara 80%, Umar memasukkannya ke kas negara. [7]
3.      PENATAAN BIROKRASI PEMERINTAHAN
Masa Khalifah Umar lembaga yudikatif sudah berdiri sendiri, terpisah dari eksekutif dan legislatif. Ia memisahkan kekuasaan yudikatif di Madinah dari kekuasaannya, dan untuk itu ia mengangkat Abu ad-Darda’ yang diberi gelar Qadi (Hakim).[8]Dalam pemerintahan Umar terjadi banyak perubahan, ia membangun jaringan pemerintahan sipil yang sempurna tanpa memperoleh contoh sebelumnya, sehingga ia pantas mendapatkan julukan “Peletak Dasar/Pembangun Negara Modern”. Hal-hal penting sebagai prasyarat bagi suatu bentuk pemerintahan yang demokratis sudah mulai diletakkan. Dalam masa pemerintahannya terdapat dua lembaga penasehat, yaitu majelis yang bersidang atas pemberitahuan umum dan majelis yang hanya membahas masalah-masalah yang penting.
Wilayah negara terdiri dari provinsi-provinsi yang berotonomi penuh, kepala pemerintahan provinsi bergelar Amir. Di setiap provinsi tetap berlaku adat kebiasaan setempat selama tidak bertentangan dengan aturan pemerintah pusat.[9] Para Amir (gubernur) provinsi dan para pejabat distrik sering diangkat melalui pemilihan. Pemerintahan Umar menjamin hak setiap orang dan orang-orang menggunakan kemerdekaannya dengan seluas-luasnya. Khalifah tidak memberikan hak istimewa tertentu. Tidak seorangpun memperoleh pengawal, tidak ada istana dan pakaian kebesaran, baik untuk khalifah sendiri maupun bawahan-bawahannya. Tidak ada perbedaan antara penguasa dan rakyat, setiap waktu mereka dapat dihubungi oleh rakyat.
Agar mekanisme pemerintahan berjalan lancar, dibentuk organisasi negara Islam yang pada garis besarnya sebagai berikut :
a.       An-Nidham As-Siyasy (Organisasi Politik), yang mencakup :
·                   Al-Khilafat : terkait dengan cara memilih khalifah
·      Al-Wizariat : para wazir (menteri) yang bertugas membantu khalifah dalam urusan pemerintahan.
·      Al-Kitabat  : terkait dengan pengangkatan orang untuk mengurusi sekretariat negara.
b.      An-Nidham Al-Idary : organisasi tata usaha/administrasi negara, saat itu masih sangat sederhana.
c.       An-Nidham Al-Maly : organisasi keuangan negara, mengelola masalah keluar masuknya uang negara. Untuk itu dibentuk Baitul Mal.
d.      An-Nidham Al-Harby : organisasi ketentaraan yang meliputi susunan tentara, urusan gaji tentara, urusan persenjataan, pengadaan asrama-asrama dan benteng-benteng pertahanan.
e.       An-Nidham Al-Qadla’i : organisasi kehakiman yang meliputi masalah-masalah pengadilan.[10]
Pengembangan sistem birokrasi pemerintahan yang dihasilkan oleh pemikiran keras Umar bin Khattab ini diperoleh setelah berhasil memadukan sistem yang ada di daerah perluasan dengan kebutuhan masyarakat yang sudah mulai berkembang pada saat itu.
4.      PEMBERLAKUAN IJTIHAD
Pada saat agama Islam telah meluas hingga ke Syam, Mesir dan Persia, agama Islam banyak menjumpai kebudayaan baru yang hidup di negeri-negeri itu, sehingga timbullah berbagai macam kesulitan dan masalah-masalah yang belum pernah ditemui oleh kaum muslim.
Umar bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, tetapi juga memperbaiki dan mengadakan perubahan terhadap peraturan yang telah ada, bilamana peraturan itu memang harus diperbaiki dan diubah. Misalnya peraturan yang telah berlaku bahwa kaum muslim diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang, Umar mengubah-nya bahwa tanah itu harus tetap di tangan pemiliknya semula tetapi dikenai pajak tanah (kharaj).
Di antara ijtihadnya di bidang hukum yang cukup spektakuler yaitu:
a.    tidak melaksanakan hukuman potong tangan terhadap pencuri yang terpaksa mencuri demi membebaskan dirinya dari kelaparan.
b.    menghapuskan bagian zakat bagi para muallaf (orang yang dibujuk hatinya karena baru masuk Islam).
c.    menghapuskan hukum mut’ah (kawin kontrak) yang semula diperbolehkan dan sampai sekarang masih diakui oleh orang-orang Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Dengan melaksanakan ijtihad, Umar hanya ingin memberikan tuntunan dan pengertian bahwa ajaran Islam itu tidak kaku, tapi bisa lentur dan luwes sesuai dengan perkembangan zaman dan permasalahan yang dihadapi dengan tetap mengacu pada substansi ajaran yang ada dalam al-Qur’an dan al-Hadits.[11]

B. TERBUNUHNYA UTSMAN BIN ‘AFFAN
1. Tersebarnya Fitnah
       Kufah adalah sumber pemberontakan utama dalam kekhalifahan Utsman. Banyak penduduk yang mengeluhkan pejabat-pejabat dan para petinggi kota itu. Salah satu bentuk kekecewaan penduduk adalah mereka marah kepada Sa’d bin Abi Waqqas, dan mereka menuduh Walid bin Uqbah meminum khamar.[12] Melihat adanya celah untuk memecah belah, ada beberapa tokoh yang mengambil kesempatan ini untuk membangkitkan kebencian dalam hati orang di kota-kota itu, diantaranya apa yang telah dilakukan oleh Abdullah bin Saba’ ( seorang yahudi dari San’a di Yaman yang pada masa Utsman kemudian masuk Islam ) yang mengunjungi sejumlah kota dalam kawasan Islam dengan berusaha membangkitkan kemarahan penduduk kepada Utsman. Di Bashrah banyak orang awam yang terpengaruh oleh seruannya itu. Sesudah hal itu diketahui oleh Abdullah bin Amir, ia dikeluarkan dari kota. Setelah itu ia pergi ke Kufah menyebarkan seruan yang sama.
2. Utsman Bermusyawarah
       Melihat segala propaganda jahat anti politik Utsman dikota-kota kawasan itu, pada musim haji tahun 34 ia memanggil pejabat-pejabatnya yang di kota-kota tersebut untuk dimintai keterangan sebab-sebab terjadinya fitnah itu. Ketika itu datang Abdullah bin Amir, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Abdullah bin Abi Sarh, Sa’id bin As dan Amr bin ‘Ash. Utsman berkata pada mereka : “Setiap imam mempunyai pembantu-pembantu dan penasihat-penasihat. Kalian adalah pembantu-pembantu dan penasihat-penasihat saya serta orang-orang kepercayaan saya. Seperti sudah kalian ketahui, mereka menuntut supaya saya memecat para gubernur itu dan menarik kembali semua yang tidak mereka senangi dan menggantinya dengan yang mereka sukai. Berikanlah pendapat dan saran kalian kepada saya dengan sungguh-sungguh.”[13]


3. Tragedi Pengepungan
     Setelah mereka betul-betul telah mengepung rumah Utsman , mereka menuntut Utsman untuk mengundurkan diri dari kekhalifahan atau mereka akan membunuhnya. Dan orang-orang yang berdemo dan menuntut tersebut adalah orang-orang yang sangat rendah agama, akhlak maupun keilmuannya, mereka bukanlah para ulama (ahlul halli wal ‘aqdi). Dengan adanya tuntutan mereka ini, maka sungguh benarlah apa yang telah disabdakan oleh Nabi , dan telah tiba saatnya untuk mengamalkan wasiat beliau . Oleh karena itulah, Utsman menolak untuk mengundurkan diri dari kekhalifahan, seraya berkata : “Aku tidak akan melepaskan pakaian yang telah Allah berikan kepadaku”. Beliau mengisyaratkan kepada wasiat Rasul untuk beliau.[14]

Para pemberontak tersebut  melarang Utsman untuk shalat di masjid Nabawi dan melarang beliau makan serta minum dari sumur Rumah yang beliau beli sendiri dari harta beliau untuk orang yang sedang dalam perjalanan.
Pada saat Utsman berada dalam rumah dan para pemberontak berada didepan rumah beliau, beliau mendengar suara dari para pengepung tersebut yang mengancam untuk membunuh beliau. Dan yang nampak, bahwa Utsman tidak mengira perkara ini akan seperti itu. Kemudian beliau keluar dari tempat masuk dan masuk lagi bersama sebagian para sahabat, sedangkan raut wajah beliau telah berubah.
Ia berkata : Sesungguhnya mereka mengancam akan membunuhku tadi. Para sahabat menjawab : Semoga Allah melindungi anda, wahai amirul mukminin. Beliau berkata : Kenapa mereka ingin membunuhku ?! Padahal aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal berikut : Seseorang yang kafir setelah beriman, atau dia berzina setelah menikah atau membunuh jiwa tanpa haq”. Demi Allah, aku tidak pernah berzina baik di zaman Jahiliyah atau Islam, dan tidak pernah terbesit dalam diriku untuk aku mengganti agamaku sejak Allah memberi hidayah kepadaku, dan tidak pernah aku membunuh jiwa, maka mengapa mereka ingin membunuhku ?”[15]
Disebutkan bahwa pengepungan itu berlangsung selama 40 hari. Sekali-kali Utsman mengingatkan kaum pemberontak itu akan bahaya fitnah dan menyebutkan beberapa ayat al-Qur’an. Tetapi mereka sama sekali tidak menghiraukannya. Tak lama kemudian para pemberontak itu maju menyerang rumah Utsman, membakar pintu dan berandanya, yang kemudian terjadi pertempuran sengit antara para sahabat-sahabat Utsman dan para pemberontak. Yang diakhiri dengan terbunuhnya Utsman secara kejam oleh Muhammad bin abu Bakr.[16]
3. Terbunuhnya Utsman
Tragedi terbunuhnya Utsman telah direncanakan pada malam hari oleh para pemberontak yang melampaui batas kejahatan. Mereka merencanakannya dengan matang untuk membunuh seorang Khalifah Ar-Rasyid dan untuk menghancurkan agama Islam. Mereka ini merupakan kelompok gabungan dari musuh-musuh Islam dan bukanlah perorangan. Dan pemimpin  mereka adalah seorang yahudi pendusta Abdullah bin Saba’ yang dikenal dengan Ibnu As-Sauda’.
Para pemberontak ini memprovokatori orang-orang awam dari seluruh penjuru negri untuk melengserkan sang Khalifah . Mereka datang dari Mesir dan Irak ke Kota Madinah lalu bertemu dengan Utsman untuk berunding. Orang-orang itu keluar dari Mesir menuju ke Kota Madinah dan bertemu dengan Utsman . Setelah terjadi dialog serta perundingan, mereka pun puas dengan ucapan Utsman . Beliau membantah tuduhan-tuduhan mereka dengan bukti dan keterangan yang nyata dan mereka setuju untuk berdamai, kemudian mereka kembali ke Mesir dan Irak.
Setelah terjadinya perdamaian yang agung ini dan kembalinya mereka ke tempat tinggal mereka masing-masing dalam keadaan ridha, para penyulut api fitnah merasa gagal dan tujuan mereka yang keji telah kandas ditengah jalan. Oleh karenanya, mereka membuat makar kembali untuk menyalakan api fitnah agar perdamaian tersebut menjadi hancur dan musnah.'

BAB III

KESIMPULAN

1.        Pada periode Khalifah Umar (634-644 M), peta Islam semakin meluas, di Timur sampai perbatasan India dan sebagian Asia Tengah di Barat sampai Afrika Utara. Setelah memangku jabatan kekhalifahan, Umar dengan strategi kebijakannya setelah mempertimbangkan bahwa wilayah kekuasaan Islam semakin luas, maka di buatlah sistem pemerintahan dengan sistem desentralisasi yang menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sendiri, dengan tidak terlepas dari pertanggungjawaban kepada khalifah.
2.        Faktor utama Khalifah Utsman terbunuh adalah faktor ekonomi yang juga termasuk masalah pertanahan. Dalam kondisi yang serba tidak kondusif akibat dikuasainya tanah-tanah produktif di luar Arab oleh orang Arab, sehingga rakyat setempat kehilangan mata pencaharian, kemudian mereka berduyun-duyun datang ke Madinah pada musim haji untuk protes seraya menuntut keadilan.
3.        Faktor sampingan :  Terbunuhnya Utsman merupakan akibat dari tuduhan yang menyebutnya berlaku nepotis. Para sejarawan mengemukakan sebab-sebabnya sebagai berikut:
a.       adanya fitnah penyalahgunaan uang negara yang diberikan Utsman kepada keluarganya
b.      pengangkatan para kepala daerah dari kalangan keluarga Utsman dengan kata lain, adanya tuduhan nepotisme dalam pengangkatan kerabat terdekat sebagai kepala daerah.
c.       faktor umur Utsman yang telah memasuki usia lanjut. Pada masa akhir kepemimpinan Utsman, para Gubernur yang diangkat oleh Utsman bertindak sewenang-wenang. Faktor usia lanjutnya Utsman ini kemudian di manfaatkan oleh para kepala daerah yang telah diluar kontrol khalifah, sehingga rakyat menganggap hal tersebut sebagai kegagalan Utsman, sampai pada akhirnya Utsman terbunuh.


DAFTAR PUSTAKA

Siti Maryam (ed.) dkk,  Sejarah Peradaban Islam dari  Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta : LESFI, 2004.
M. Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009.
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, terj. Ali Audah, Bogor-Jakarta: PT.Pustaka Litera AntarNusa, 2009.
…………………………….., Usman bin Affan,terj. Ali Audah, Bogor : Pustaka Litera AntarNusa, 2010.
Harun Nasution,  Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta:UI Press, 1985.
Syibli Nu’man, Umar yang Agung , Bandung: Penerbit Pustaka, 1981.
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, terj. Mukhtar Yahya , Jakarta : Pustaka al-Husna, 1983.
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1979.

1 komentar: