Sabtu, 29 Desember 2012

PEMIKIRAN AL-FARABY TENTANG HIERARKI WUJUD SECARA EMANASI


PEMIKIRAN AL-FARABY 
TENTANG HIERARKI WUJUD SECARA EMANASI

Oleh : Suharyanto dan M.Irham Roihan [1]

A.    PENDAHULUAN

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Ali-‘Imran : 18)

   Sebelum diskusi dimulai, sebagai bentuk brainstorming untuk kawan-kawan santri Pondok Pesantren UII 2010, perkenankanlah penulis untuk berusaha menggiring diskursus ini ke dalam sebuah paradigma bahwa ajaran dasar dalam Islam adalah Tauhid (kemaha-Esa-an Tuhan). Ulama Islam, baik dari kalangan mutakallim atau teolog, maupun dari kalangan filosof dan sufi, ingin memurnikan konsep kemaha-Esa-an Tuhan itu semurni-murninya. Dalam hal ini Al-Faraby yang merupakan salah seorang filososof termasyhur juga sesungguhnya bermaksud untuk membela dalam me-Mahasuci-kan teori keTuhanan yang dibalut dengan penalaran logis murni.

Berangkat dari ayat yang tertera diatas, sesungguhnya ayat tersebut dapat dijadikan sebagai stimulus dan landasan filosofis dalam memahami wujud dan Ke-Esa-an Tuhan menurut Al-Faraby. Berdasarkan firman Allah SWT tersebut diatas, dapatlah diperhatikan bahwa pengertian “bukankah kesaksian akan tiadanya Tuhan yang wajib disembah dan diibadahi di alam semesta  nan luas tak terbatas ini melainkan hanya Allah SWT semata tersebut dimulai oleh Allah SWT sendiri?” Kemudian oleh para malaikat dan barulah orang-orang yang berilmu pengetahuan.[2]

Ayat ini kemudian, menurut penulis sangat cocok untuk dijadikan landasan awal untuk mendiskusikan pemikiran Al-Faraby tentang hierarki wujud secara emanasi karena pemikiran metafisika yang diusung oleh al-faraby salah satunya adalah mempertanyakan “siapakah yang pertama kali menciptakan alam semesta ini beserta seluruh isinya?” dan bagaimana sebenarnya agar setiap muslim dapat merasionalisasikan ke-Esa-an Tuhan sebagai sesuatu yang immateri? Dengan menggunakan pendekatan nalar bayani (tekstual normatif) ini tentunya penulis mengharapkan nalar burhani dan nalar ‘irfani kita dapat terbuka sehingga terwujud pemahaman yang kompleks, tidak parsial.

Dari kalangan kaum teolog Islam, golongan Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Tuhan, karena jikalau Tuhan memiliki sifat, itu mengandung arti bahwa Tuhan tersusun dari unsur zat dan unsure sifat. “Sifat” mereka artikan sebagai sesuatu yang melekat kepada sesuatu yang lain. Tuhan mempunyai banyak sifat dan hal ini berarti bahwa banyak unsur yang melekat pada Tuhan. Dengan demikian, Tuhan tersusun dari banyak unsur. Dan Paha mini akan merusak kemurnian tauhid. Oleh karea itulah, bagi Mu’tazilah kata-kata Al-Rahman, Al-Rahim, Al-Quddus, Al-‘Alim, dan sebagainya bukanlah sifat yang melekat pada dzat Tuhan, melainkan adalah hal-hal yang terdapat dalam dzat-Nya.

Berbeda dengan kaum sufi, dalam pandangan mereka kemurnian Tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud yang hakiki di samping Tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak kemurnian Tauhid. Oleh karena itu, mereka berpendapat : tiada yang berwujud selain Allah SWT. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Pendapat inilah yang kemudian membawa kepada paham wahdatul wujud (Kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan.Karena itu, ia pada hakikatnya tidak ada ; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan.[3]

Jikalau kaum mu’tazilah dalam usaha memurnikan tauhid pergi ke peniadaan sifat-sifat Tuhan dan kaum sufi ke peniadaan wujud selain dari wujud Allah SWT sebagaimana dijelaskan diatas, maka kaum filosof Islam yang dipelopori oleh Al-Faraby, pergi ke paham emanasi atau al-faidh yang kemudian pembahasan lebih lanjut akan dibahas pada sub-bab selanjutnya.

B.     PEMIKIRAN AL-FARABY
    1.   Hakikat Tuhan
Salah satu pemikiran Al-Faraby mengenai hakikat Tuhan, dapat ditemukan melalui teori keTuhanan yang merupakan pematangan konsepsi dari Al-Kindi. Al-Faraby beranggapan bahwa Allah adalah Esa tak berbilang, sama sekali tidak menyamai makhluk-Nya, kekal dan tak akan fana.[4] Ia juga berpendapat bahwa Allah adalah zat yang harus ada karena dari-Nya sendiri (wajib al-wujud bi dzatihi) dan merupakan sebab pertama bagi segala entitas. Wujud-Nya merupakan wujud yang paling sempurna, Maha Suci dari segala kuasa seperti materi, bentuk, aksi, dan efisiensi.

Mengenai persoalan wujud, sudarsono dalam bukunya yang berjudul Fislsafat Islam mengklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu :
(1)   Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), seperti wujud cahaya yang tidak akan ada, kalau sekiranya tidak ada matahari. Cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bisa wujud dan bisa tidak wujud. Atau dengan perkataan lain cahaya adalah wujud yang mumkin, maka cahaya tersebut menjadi wujud yang nyata (wajib) karena matahari. Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun juga panjangnya rangkaian wujud yang mumkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, karena sesuatu yang mumkin tidak bisa memberi wujud kepada dirinya sendiri.
(2)   Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemuslihatan sama sekali. la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).[5]

2.      Sifat Tuhan
Dalam metafisikanya tentang ke-Tuhan-an, Al Farabi hendak menunjukkan ke-Esa-an Tuhan dan  ketunggalan-Nya. Bahwa Sifat Tuhan tidak berbeda dari Dzat-Nya. Karena Tuhan adalah Tunggal. Hal ini sejalan dengan Mu’tazilah yakni sifat Allah tidak berbeda dengan Dzat-Nya. Dengan kata lain ketika sifat-sifat Allah itu berbeda dengan substansi-Nya atau diberi sifat yang wujud sendiri dan kemudian melekatkannya pada Allah maka sifat-sifat tersebut menjadi qodim pula sebagaimana substansinya yang bersifat qodim. Hal ini akan membawa paham ta’addud al qudama’ (berbilangnya yang qodim). Yang mana hal tersebut tidak boleh terjadi pada Dzat Allah yang Maha Esa. Karena yang bersifat qodim itu hanya Allah maka ketika ada sesuatu yang qodim Ia mesti Allah.
Untuk tahu dan yakin tentang Esensi dan wujud Tuhan menurut Al Faraby tidak perlu menambahkan sifat sifat tertentu pada pada Dzat-Nya. Hal tersebut disebabkan karena pengetahuan tentang Dzat Tuhan lebih nyata dan yakin dari pengertahuan kita terhadap selain Nya. Sebab Tuhan adalah wujud yang paling sempurna maka pengetahuan tentang Dia adalah pengetahuan yang paling sempurna pula.
Allah bagi Al Farabi adalah ‘Aql murni. Ia Esa ada-Nya dan yang menjadi obyek pemikiran-Nya hanya substansi-Nya. Ia tidak memerlukan sesuatu yang lain untuk memikirkan substansi-Nya. Tetapi cukup substansi-Nya sendiri. Jadi Allah adalah ‘Aql, ‘Aqil dan Ma’qul (Akal, substansi yang berpikir, dan substansi yang dipikirkan).Demikian juga Allah Maha Tahu, Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar Dzat-Nya untuk tahu bahkan cukup dengan substansi-Nya saja. Jadi Allah adalah ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui (Ilm’, ‘Alim, dan Ma’lum). Di lain sisi lain mengenai Asma’ Al Husna, Menurut Al Faraby kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan tetapi nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada Dzat Allah atau sifat yang berbeda dari Dzat Nya.[6]
3.      Pembuktian Adanya Tuhan
Dalam membuktikan adanya Tuhan ada beberapa dalil yang dapat digunakan sebagai dalil ontologi dalil teleologi dan dalil kosmologi. Para pemikir Yunani menggunakan dalil-dalil tersebut (ontologi, teleologi dan kosmologi) untuk sampai kepada kesimpulan tentang adanya Tuhan. Hal seperti itu diikuti pula oleh para pemikir Islam. Di antara dalil yang banyak dipakai adalah dalil ciptaan atau dalil kosmologi menurut istilah meta­fisika.[7]

Dalil kosmologi melihat alam sebagai makhluk. Dan makhluk sebagai suatu akibat yang terakhir dalam rangkaian sebab dan akibat (kausalitas). Dengan melalui rentetan sebab akibat yang berdiri sendiri-sendiri, tetapi dalam hal ini ada hubungannya sebagai sebab-sebab dan akibat-akibat pada akhimya hubungan sebab akibat akan berhenti satu sebab yang pertama, karena pada dasarnya kita tidak dapat memikirkan adanya rentetan sebab akibat yang tidak berkesudahan (berkeputusan). Sebagai contoh yang sangat logis, penulis kemudian memberikan ilustrasi rentetan sebab yang pasti tidak memiliki ujung dengan sebuah pertanyaan seperti ini “apakah alphabet dan angka-angka yang selama ini kita kenal tidak memiliki batas?. Katakanlah bahwa huruf A-Z sebagai huruf-huruf yang pada umumnya kita ketahui, namun apakah “huruf” sebelum huruf A sebagai huruf awal dari segala huruf itu ada?”.

Selanjutnya, sebab pertama yang dicapai oleh rentetan sebab akibat itu dengan sendirinya bukan merupakan akibat. Jadi, sebab pertama itu merupakan kesudahan dari rentetan hubungan sebab dan akibat. Al Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil penciptaan ini. Bertitik tolak dari kenyataan yang disentuh dengan panca indera (makhluk) untuk kemudian sampai kepada pangkal pertama atau dari wujud yang mungkin kepada wujud yang Wajib. Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat ditangkap dengan panca indera. Jelasnya Al Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al Farabi “setiap sesuatu yang ada, pada  dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”. Kemungkinan adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya” wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.

Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin. Kedua, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya dan sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.

Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan.[8]

C.    TEORI EMANASI (AL FAIDL) AL FARABY
Emanasi adalah teori tentang keluarnya sesuatu yang wujud mumkin (alam makhluk) dari dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud/hierarki wujud”.
Pada bab pendahuluan telah terlebih dahulu dijelaskan mengenai pandangan kaum teolog Islam dan kaum sufi terkait dengan perspektif mereka dalam memurnikan ajaran Tauhid. Pada pembahasan inilah, penulis juga ingin menjelaskan terkait dengan pandangan kaum filosof, yang ingin memurnikan ajaran Tauhid dengan jalan merasionalisasikan Ke-esa-an Tuhan. Lebih dari mu’tazilah dan kaum sufi, Al- Faraby berusaha meniadakan adanya arti banyak dalam diri Tuhan. Kalau Tuhan berhubungan langsung dangan alam yang tersusun dari banyak unsur ini, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat pemikiran yang banyak sehingga dengan pemikiran yang banyak tersebut membuat paham tauhid tidak murni lagi.

Oleh karena itu Allah SWT tidak bisa secara langsung menciptakan alam yang tak terhingga jumlahnya ini. Jadi bagaimana Tuhan menciptakan alam yang tersusun dari banyak bagian ini? Untuk menjawab pertanyaan itu, kemudian Al- Faraby yang mendapatkan inspirasi dari seorang filosof emanasi, Plotinus kemudian merenung dan mencoba untuk menjelaskannya dengan melahirkan konsep emanasi. Menurut Al-Faraby Allah SWT menciptakan alam ini melalui emanasi, itu terjadi melalui tafakkur (berfikir) Tuhan tentang Dzat-Nya, yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam. Dengan kata lain, berfikirnya Allah Swt tentang zat-Nya adalah sebab dari adanya alam ini. Berfikirnya Allah SWT tentang Dzat-Nya, sebagaimana yang dikatakan Sayyed Zayid, adalah ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-qudrab) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu tercipta, cukup Tuhan yang mengetahuinya.[9]

Berfikirnya Allah Yang Maha Esa tentang Dzat-Nya yang Esa melimpahkan yang terbilang pertama, yaitu yang kemudian disebut dengan akal pertama. Dengan demikian, Tuhan yang dalam diri-Nya tak terdapat arti banyak, secara langsung  hanya menciptakan yang satu. Dalam Dzat Tuhan, kata Al-Farabi tidak terdapat arti banyak, arti yang banyak terdapat sesudah Ruh-Nya. Inilah bagi Al-Farabi tauhid yang betul-betul murni. Arti banyak mulai terdapat pada akal pertama. Kalau Allah SWT merupakan wujud pertama, akal pertama adalah wujud kedua. Sebagai wujud kedua, tidak lagi mempunyai satu objek tafakkur. Di samping Tuhan, diri-Nya sendiri juga menjadi objek dan ini sudah mengandung arti banyak.

Akal pertama berfikir, yang merupakan qudrah, tentang Allah Swt., mewujudkan akal kedua juga berfikir tentang diri-Nya mewujudkan langit ketiga dan berfikir tentang diri-Nya mewujudkan alam bintang. Akal ketiga sampai dengan akal kesepuluh juga berfikir tentang Allah SWT dan tentang diri masing-masing. Demikianlah akal ketiga mewujudkan akal keempat dan saturnus, akal keempat mewujudkan akal kelima dan Yupiter, akal kelima mewujudkan akal keenam dan Mars, akal keenam mewujudkan akal ketujuh dan matahari, akal ketujuh menghasilkan akal delapan dan Venus, akal kedelapan mewujudkan akal kesembilan dan Mercurius, dan akal kesembilan mewujudkan akal kesepuluh dan bulan. Tetapi, berfikirnya akal kesepuluh tidak menghasilkan akal. Yang diwujudkan hanyalah bumi.[10]

Demikianlah bagaimana Allah SWT dalam pemikiran Al-Farabi, Ia menciptakan alam semesta, yaitu alam seperti yang terdapat dalam ilmu mengenai wujud di waktu itu. Alam semesta terdiri dari langit pertama, bintang-bintang dan kedelapan planet yang tersebut di atas. Alam semesta memancar dari berfikirnya Tuhan tentang zat-Nya, dan pancaran yang Maha Esa itu dilanjutkan oleh akal-akal dengan alam yang tersusun dari banyak unsur ini. Dengan filsafat inilah Al-Farabi ingin menjelaskan bagaimana yang terbilang banyak bisa memancar dari Yang Maha Esa. Dengan kata lain, melalui pemikiran inilah Al-Farabi memurnikan tauhid dalam Islam. (Point penting)

Walaupun filsafat emanasi atau al-faidh, yang dibawa Al-Farabi ini banyak mendapat tantangan, karena emanasi mengandung arti keaktifan benda yang memancar dan kepasifan sumbernya, tetapi rasionalisasi ini sebenarnya dapat dijadikan rujukan tentang ke-Maha-Esa-an Tuhan yang sangat masuk akal. Dalam hal filsafat Al-Farabi, keaktifan berada pada akal-akal, sedangkan pada Allah SWT terdapat kepasifan apalagi kalau pancaran matahari dan sinarnya diambil sebagai contoh untuk konsep emanasi. Matahari sebagai benda mati adalah pasif, dan sinar memancar dirinya secara otomatis. Tetapi, contoh ini bagi penulis tidak tepat bagi filsafat emanasi Al-Farabi.

Dalam uraian Al-Faraby mengenai konsep emanasi yang diberikan diatas, sebenarnya dapat dilihat bahwa Allah SWT adalah aktif. Ia berfikir tentang Dzat-Nya. Berfikirnya merupakan qudrah dan qudrah inilah yang menciptakan akal pertama. Seperti disebutkan di atas, al-faidh diartikan Al-Farabi begini: wujud Allah SWT melimpahkan wujud alam semesta dan bukan wujud alam semesta melimpah dari wujud Allah Swt. Yang aktif dengan demikian adalah Tuhan dan bukan akal-akal yang dipancarkan Tuhan. Dengan kata lain, kedudukan Tuhan dalam filsafat emanasi Al-Farabi tidaklah dapat dianalogikan dengan kedudukan matahari di atas.

Al-Faraby, ibn Sina dan lain-lain berani menafsirkan penciptaan Allah SWT akan alam dengan jalan emanasi dalam pengertian di atas, karena di dalam Al-Quran memang tidak ada ayat yang secara qath’I dan absolut menyebut bagaimana Tuhan menciptakan alam ini. Ayat-ayat Al-Quran hanya menyebut bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan untuk menciptakan sesuatu Allah SWT hanya bersabda ‘kun’ maka sesuatu  itu pun terjadi. Bagaimana terjadinya? Jawaban untuk pernyataan inilah yang dipikirkan ulama-ulama islam. Filosof membawa filsafat emanasi, dan kaum mutakallim atau teolog Islam membawa konsep penciptaan dari tiada. Namun, setidaknya bagi penulis pembenaran mengenai konsep emanasi Al-Faraby dapat ditinjau juga melalui ayat yang penulis kutip di pendahuluan. Surat Ali-Imron ayat 18 tersebut dapat menjadi landasan bahwa “memang” benar ada proses Allah SWT memikirkan tentang Dzat-Nya sendiri. Ini dapat dilihat dari substansi ayat bahwa Allah sendiri yang menyatakan tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah).

Teori ini sebenamya terdapat pula dalam paham Neo-Platon. Perbedaan antara keduanya yaitu terletak uraian Al-Farabi yang ilmiah. Menurut teori emanasi Al-Farabi disebutkan bahwa Tuhan itu Esa sama sekali. Karena itu yang keluar dari pada-Nya juga satu wujud saja, emanasi itu timbul karena pengetahuan (ilmu) Tuhan terhadap Dzat-Nya yang satu. Kalau apa yang keluar itu pun berbilang pula. Dasar adanya emanasi tersebut ialah karena dalam pemikiran Tuhan dan pemikiran akal terdapat kekuatan emanasi dan penciptaan. Dalam alam manusia sendiri apabila kita memikirkan sesuatu, maka tergeraklah kekuatan badan untuk mengusahakan terlaksananya atau wujudnya.
Emanasi menurut al-Farabi dijelaskan dalam hierarki wujud sebagai berikut :
1.      Tuhan yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2.      Para Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3.      Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4.      Benda-benda bumi (teresterial).[11]

Wujud pertama yang keluar dari Tuhan disebut Akal Pertama, mengandung dua segi. Pertama segi hakikatnya sendiri (tabi’at, wahiyya) yaitu wujud yang mumkinKedua segi lain yaitu wujudnya yang nyata yang terjadi karena adanya Tuhan sebagai Dzat yang menjadikan. Sekalipun akal pertama tersebut satu (tunggal), namun pada dirinya terdapat bagian-bagian yaitu adanya dua segi tersebut yang menjadi obyek pemikirannya. Dengan adanya segi-segi ini, maka dapat dibenarkan adanya bilangan pada alam sejak dari Akal Pertama.

Dari pemikiran Akal pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang wajib (yang nyata) karena Tuhan, dan sebagai wujud yang mengetahui dirinya maka lahirlah Akal Kedua. Dari pemikiran Akal Pertama dalam kedudukannya sebagai wujud yang mumkin dan mengetahui dirinya, timbullah langit pertama atau benda lanjut terjauh (as-sama al-ula; al­al-a’la) dengan jiwanya langit tersebut. Jadi dari dua obyek pengetahuan yaitu dirinya dan wujudnya yang mumkin keluarlah dua macam makhluk tersebut yaitu bendanya, benda langit dan jiwanya

Dari Akal Kedua maka timbullah Akal Ketiga dan langit kedua atau bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah) beserta jiwa dengan cara yang sama seperti yang terjadi pada Akal Pertama. Kemudian dari Akal Ketiga keluarlah Akal Keempat dan planet Satumus (Zuhal), juga beserta jiwanya. Dari Akal Keempat keluarlah Akal Kelima dan planet Yupiter (al-Musytara) beserta jiwanya. Dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam dan planet Mars (Madiah) beserta jiwanya. Dari Akal Keenam keluarlah Akal Ketujuh dan matahari (as-Syams) beserta jiwanya. Dari Akal Ketujuh keluarlah Akal Kedelapan dan planet Venus. (az-Zuharah) juga beserta jiwanya. Dari Akal Kedelapan keluarlah Akal Kesembilan dan planet Merkurius (‘Utarid) beserta jiwanya pula. Dari Akal Kesembilan keluarlah Akal Kesepuluh dan bulan (Qamar). Dengan demikian maka dari satu akal keluarlah satu akal dan satu planet beserta jiwanya. Dari Akal Kesepuluh sesuai dengan dua seginya yaitu wajibul-wujud karena Tuhan maka keluarlah manusia beserta jiwanya. Dan dari segi dirinya yang merupakan wujud yang mumkin, maka keluarlah empat unsur dengan perantaraan benda-benda langit. Dan di akal ke X ini dayanya sudah lemah sehingga sudah tidak bisa menghasilkan akal yang sejenisnya. Sekali lagi, bahwa ini merupakan teori yang dibuat oleh Al-Faraby. Oleh karena itu, dalam persepsi yang dibuat oleh Al-Faraby ini pun sesungguhnya dapat diperdebatkan.

Kembali pada teori yang dikonsepsikan oleh Al-Faraby bahwa jumlah akal dibataskan kepada bilangan sepuluh, Hal ini menurutnya karena disesuaikan dengan bintang yang berjumlah sembilan di mana untuk tiap-tiap ­akal diperlukan satu planet pula, kecuali akal pertama yang tidak disertai satu planet ketika keluar dari Tuhan. Struktur emanasi Al Faraby saat itu dipengaruhi oleh temuan saintis yang pada saat itu jumlah bintang adalah sembilan, karena jumlah benda-benda angkasa menurut Aristoteles ada tujuh. Kemudian al-Farabi menambah dua lagi yaitu benda yang terjauh (al-falak al-aqsha) dan bintang-bintang tetap (al-kawakib ats-tsabitah), yang diambil dari Ptolomey (atau Caldius Ptolomeus) seorang ahli astronomi dan ahli bumi Mesir, yang hidup pada pertengahan abad ke dua Masehi.

Namun menurut hemat penulis, sekiranya Al Faraby hidup di jaman ini maka tentu saja ia akan membutuhkan banyak sekali akal, sebanyak planet yang ditemukan saintis sekarang. Untuk lebih jelasnya penulis membuatkan tabel Hierarki Wujud melalui Teori Emanasi oleh Al Faraby.

Tidak hanya sampai pada akal ke sepuluh, akal kesepuluh inilah yang mulai memancarkan (emanasi) energi dan kemudian menghasilkan bumi, manusia, An-Nufus Al-Insaniyah yang berupa Al-Insan, hayawan, an-nabat, dan al-Jamad (yang juga menghasilkan al-‘unsur arba’ah berupa udara, air, api, dan tanah).

D.    KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan yang cukup panjang tersebut diatas, maka setidaknya ada tiga (3) poin yang dapat disimpulkan. Ketiga hal tersebut adalah bahwa:
Hakikat wujud menurut Al Faraby adalah terbagi menjadi dua bagian yaitu: Pertama, Wujud yang mumkin, atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul-wujud lighairihi), Wujud yang mumkin tersebut menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mumkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Kedua, Wujud Yang Nyata dengan sendirinya (Wajibul-wujud li Dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujud-Nya, la adalah sebab yang pertama bagi semua wujud. Wujud yang wajib tersebut dinamakan Tuhan (Allah).
  1. Pengertian tentang Tuhan menurut pendapat Al Farabi adalah sebagai berikut :"Tuhan adalah wujud yang wajib, wujud yang wajib itu merupakan sebab yang pertama dari dari segala wujud yang mumkin (makhluq), oleh karena itu Tuhan adalah substansi yang Azali  yang merupakan penyebab dan tidak disebabkan oleh yang lainnya. Karena Tuhan Maha Sempurna tidak ada yang lebih sempurna kecuali wujud-Nya, sehingga tidak perlu sekutu bagi-Nya. Tuhan Maha Esa, Maha Sempurna, maka keesaan dan kesempurnaan wujud-Nya tidak mungkin diwujudkan dalam definisi sebagaimana benda. Sebab suatu definisi akan menghilangkan ke Esaan dan kesempurnaan wujud Tuhan, oleh karena itu Tuhan tidak lagi substansi yang tidak terbatas karena definisi akan membatasi Tuhan yang Mutlak.
  2. Emanasi merupakan teori tentang keluarnya sesuatu yang berstatus wujud mumkin (alam makhluk) dari Dzat yang wajibul wujub (Dzat yang Mesti Adanya/Tuhan). Teori Emanasi disebut juga teori “urut-urutan wujud atau hierarki wujud”.


[1]  Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Dalam Islam dan dipresentasikan pada tanggal 21 Desember 2012 di Pondok Pesantren UII.
[2]  Imam Al-Ghazali, Ringkasan Ihya ‘ulumuddin (Sumber Ilmu akhlak dan Tasawuf), 2011, Yogyakarta : Bintang Cemerlang. Hlm.1
[3]  Harun Nasution,Dr, Prof, Islam Rasional, Bandung : Mizan. Hlm. 43
[4]  Dr. Ibrahim Madkour, 2002, Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta : Bumi Aksara, hlm. 123
[5]  Sudarsono, Drs, SH, M.Si. 2004. Filsafat Islam. Jakarta : PT. Rineka Cipta. hal. 30 cet. 2
[6]  Rif’an, Konsep Emanasi Al-Faraby : Tinjauan Metafisis dan Filosofis Realitas Wujud, 2010.
[7]  Ibid,
[8]  Ibid,
[9]  Harun Nasution,Dr, Prof,…. op.cit. hlm. 44
[10]  Ibid, hlm 45
[11] Anonymous, Hasil kolaborasi pemikiran filosof Muslim Dengan Filosof Yunani, dikutip dari http://kedaididik.blogspot.com/2010/10/hasil-kolaborasi-pemikiran-filosuf.html pada tanggal 20 Desember 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar