Jumat, 28 Desember 2012

MENGGAPAI DUNIA DENGAN FITRAH MANUSIA


MENGGAPAI DUNIA DENGAN FITRAH MANUSIA
Oleh : Muh. Irham Roihan*

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-ruum :30)”


Untuk memulai tulisan ini, penegasan terhadap interpretasi kata “fitrah Allah” nampaknya perlu dimunculkan, agar nantinya tulisan ini dapat difahami secara utuh dan tidak memunculkan multi-interpretasi. Dalam bahasa arab, Fitrah dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu), kejadian (al-ibtida), penciptaan (khalqun), dan sifat pembawaan yang sejak lahir. Fitrah juga mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya dan menentukan tabiatnya untuk berbuat sesuatu, termasuk manusia yang diciptakan untuk mempunyai naluri beragama (agama tauhid). Pada dasarnya naluri manusia adalah untuk menemukan Tuhan, dan cara untuk menemukan Tuhan adalah melalui cara-cara yang terdapat dalam ajaran agama sehingga manusia dapat menjalani kehidupannya secara “sadar”. Maka sangat tidak wajar apabila ada seorang manusia yang tidak beragama tauhid. Konstruksi berfikirnya kemudian menjadi seperti ini “untuk mengenali dirimu maka kenalilah siapa Tuhanmu dan untuk mengetahui siapa Tuhanmu maka kenalilah agamamu.” Oleh karena itulah manusia sangat membutuhkan Tuhan dan kebenaran ajaran agama, karena apabila tidak implikasinya jelas ia tidak akan bisa mengenali dirinya sendiri.

Dalam perjalanan hidup manusia tidak ada yang bisa menebak akan ke arah mana alur akhir kehidupannya, meskipun saat dilahirkan ia diciptakan dalam keadaan memiliki fitrah yang sama. Dinamika kehidupan yang kompleks pasti akan menggiring manusia keluar dari rel fitrahnya yang suci. Contoh riil yang dapat kita lihat dalam media massa adalah terjadinya pertumpahan darah di palestina dan Israel, ayah yang menghamili anaknya sendiri, pejabat yang tidak puas dengan harta kekayaannya sendiri (korupsi), dan lain sebagainya. Adakah manusia yang memiliki hati nurani yang tidak menginginkan perdamaian dan keselamatan? Bisa penulis pastikan bahwa semua manusia pasti menginginkan hal tersebut, hanya saja pola pikir manusia seringkali terkontaminasi oleh faktor keluarga, lingkungan, serta pendidikan sehingga ia kehilangan kendali atas fitrahnya sendiri.
Ayat yang tertera diatas sesungguhnya dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan di dunia ini sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia. Sistem redaksi ayat 30 surat Ar-Ruum memperlihatkan kejelasan pengertian fitrah bahwa  manusia diciptakan dengan membawa fitrah (potensi) keagamaan yang hanif, yang benar, meskipun (boleh jadi) ia mengabaikan dan tidak mengakuinya. Ayat ini jelas telah menghubungkan makna fitrah dengan agama Allah yang saling melengkapi diantara keduanya. Kalimat kunci dalam ayat tersebut adalah Fa Aqim Wajhaka liddini haniifan yang oleh Al-Qurtubi diartikan sebagai perintah untuk mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem diatas, maka dapat ditangkap bahwa kalimat amr pada ayat tersebut menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia agar berusaha mengahadapkan dirinya kepada ketentuan-ketentuan Allah yang kemudian terangkum dalam istilah agama (diin) agar mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Sehingga menurut hemat penulis untuk menggapai hidup didunia dengan berbagai macam dinamikanya ternyata hanya akan didapatkan ketika fitrah kita sebagai manusia ditambah dengan keinginan untuk mengabdi kepada yang Maha Kuasa dapat di integrasikan secara bersamaan.  Ingatlah, hati nurani / fitrah tidak pernah berbohong. Gapailah dunia dengan fitrah yang telah diberikan Sang Maha Kuasa. J
Wallahu A’lam Bis Shawab.
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UII Angkatan 2010, dan juga Santri PPUII 2010. Tulisan ini telah diterbitkan dalam Al-Azhar News (A-News) Edisi Pertama (29 November 2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar