Sabtu, 11 Februari 2012

HASIL KARYA YANG 'BELUM' LOLOS : NASKAH AKADEMIK JAMSOS TKI BY TIM LD FH UII


DAFTAR ISI

BAB 1     PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
B.     Identifikasi Masalah       
C.     Tujuan Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik     
D.    Metode
  
BAB II    KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.    Kajian Teoritis   
B.     Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip  Penyusunan Norma      
1.      Asas Kemanusiaan        
2.      Asas Keadilan       
3.      Asas Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum      
4.      Asas Kepastian Hukum    
5.      Asas Perlindungan  
6.      Asas Keterbukaan        
7.      Asas Efisiensi
8.      Asas Akuntabilitas      
C.     Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada,
serta Permasalahan Tenaga Kerja Indonesi      
1.      Permasalahan Keselamatan Kerja                                                                     
a.          Permasalahan Penganiayaan TKI      
b.         Permasalahan Pemerkosaan TKI       
c.          Permasalahan Pembunuhan TKI        
2.      Permasalahan Kesehatan Dan Kecelakaan Kerja                                             
a.          Permasalahan Sakit Di Tempat Penampungan     
b.         Permasalahan Sakit dan Cacat Fisik di Negara Tujuan  
c.          Permasalahan Kecelakaan Kerja  
3.      Permasalahan Upah Tenaga Kerja Indonesia                                                        
a.          Permasalahan Hukum  
b.         Timbulnya Kesempatan Pengguna Jasa TKI untuk Tidak Memberi Upah Kepada TKI                                            
c.          Kemampuan Pengguna Jasa untuk Melakukan Pelanggaran dalam Hal Tidak Membayar Gaji                                     
4.      Permasalahan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia                                              
a.          Tidak Sesuainya Bidang Kerja yang Telah Dijanjikan Sebelumnya Dalam Kontrak kepada TKI          
b.         Penarikan pungutan  tambahan  oleh para TKI setelah kepulangan ke Indonesia      
c.          Pemulangan TKI Dalam Keadaan, Cacat atau Meninggal
5.      Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) TKI
a.          PHK secara Sepihak Pra Penempatan
b.         Permasalahan Moratorium Pemerintah
c.          PHK secara Sepihak Pada Masa Penempatan
D.    Solusi Permasalahan                                                                                               
1.      Solusi Permasalahan Keselamatan Kerja
a.          Pihak PPTKIS
b.         Pihak Pemerintah
c.          Pihak Konsorsium TKI
2.      Solusi Permasalahan Kesehatan Dan Kecelakaan Kerja          
3.      Solusi Permasalahan Upah TKI
a.          Sistem yang dapat dipaksakan oleh Negara
1)         TKI
2)         Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
3)         Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)/Perwakilan  
        Pemerintah di Luar Negeri
4)         Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS)
5)         Konsorsium asuransi TKI
b.         Sistem yang tidak dapat dipaksakan oleh Negara
4.      Solusi Permasalahan Penempatan TKI
5.      Solusi Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja

BAB III   EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A.       Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
B.        Undang - Undang  No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan
Dan   Perlindungan TKI  Di  Luar Negeri
C.        Undang - Undang No 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
D.       Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
BAB IV   LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS

A.       Landasan Filosofis
B.        Lansasan Yuridis
C.        Landasan Sosiologis
BAB V   JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.       Ketentuan Umum
B.        Tugas, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pemangku Kepentingan
1.         Pemerintah
2.         Non Pemerintah
a.          PPTKIS
b.         Konsorsium Asuransi
C.        Hak Dan Kewajiban TKI        
D.       Jaminan Sosial TKI
1.         Jaminan Keselamatan Kerja
2.         Jaminan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
3.         Jaminan Kematian
4.         Jaminan Atas Upah yang Layak
5.         Jaminan Penempatan
6.         Jaminan Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
E.        Sistem Jaminan Sosial TKI
1.         Program Asuransi TKI
a.       Jenis Program Asuransi
b.      Jangka Waktu Pertanggungan Asuransi TKI
c.       Klaim dan Kelengkapan Dokumen
2.         Program Perlindungan Hukum
a.       Program Perlindungan Hukum terhadap Keselamatan Kerja
b.      Program Perlindungan Hukum atas Upah yang Layak
c.       Program Perlindungan Hukum terhadap Kepastian
Penempatan Kerja
d.      Program Perlindungan Hukum dalam pemutusan hubungan kerja   
F.         Pengawasan
BAB VI   PENUTUP
A.       Kesimpulan
B.        Saran
DAFTAR PUSTAKA



BAB I

PENDAHULUAN

A.          Latar Belakang
Sudah menjadi hal yang mendasar bahwa manusia sebagai makhluk individual membutuhkan berbagai kebutuhan, seperti pangan, sandang, dan papan. Di era globalisasi seperti sekarang, kebutuhan akan sandang, papan dan pangan menjadi semakin sulit untuk dipenuhi karena mulai menipisnya sumber daya alam. Pemenuhan kebutuhan tersebut akhirnya terkadang membuat banyak orang melakukan berbagai tindakan demi mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Berangkat dari ketidakmampuan Negara dalam memberikan pekerjaan dan kesejahteraan bagi warga negaranya membuat sebagian warga negara memutuskan untuk mencari penghasilan di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Pada tahun 2002, berdasar hasil penelitian terdapat beberapa faktor yang memengaruhi migrasi TKI ke luar negeri, di antaranya adalah: faktor sosial, ekonomi, dan politik.[1]  Permasalahan atau faktor pendorong banyaknya TKI yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri pertama, lapangan tenaga kerja dalam negeri yang kurang. Kedua, tentang upah buruh di Indonesia yang sangat kecil juga menjadi alasan tersediri bagi warga Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. TKI yang bekerja di luar negeri memiliki harapan tinggi dalam mengubah kehidupannya ternyata juga memiliki resiko yag tinggi dalam pekerjaanya tersebut. Devisa yang didapatkan oleh negara yang dapat mencapai 60 triliun rupiah setiap tahunnya, pada tahun 2006,[2] ternyata tidak berbanding lurus dengan jaminan hak yang harus didapatkan para TKI dari pemerintah di negara tujuan.
Banyaknya kasus dan permasalahan yang menimpa TKI di negara tujuan menunjukkan bahwa pekerjaan tersebut memang memiliki risiko yang sangat tinggi. Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus TKI yang bermasalah berjumlah 16.064 kasus, dengan penjabaran yaitu di Afrika sebanyak 101 kasus, di Eropa 67 kasus, di Amerika 37 kasus, di Pasifik 93 kasus, di Asia 3.113 kasus, di Malaysia 2.066 kasus, di Timur Tengah 6.345 kasus, dan di Arab Saudi 4.242 kasus.[3] Data ini jelas menunjukkan bahwa hingga saat ini banyak dari warga negara Indonesia yang bekerja dibawah kondisi yang tidak aman di negara tujuan. Meski dalam kondisi yang tidak aman, tidak dapat dipungkiri bahwa minat warga negara Indonesia yang bekerja diluar negeri sangatlah banyak, sehingga pemerintah dalam hal ini seharusnya membuat regulasi khusus dalam mengatasi kondisi yang dialami oleh waraga negara Indonesia di luar negeri.
Pengaturan tentang perlindungan TKI sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI, akan tetapi ternyata dalam Undang-undang ini sangat sedikit sekali pengaturan terkait dengan perlindungan TKI dan itu kurang begitu menunjang terkait jaminan sosial TKI di luar negeri, terutama dalam bidang jaminan perlindungan hukum untuk TKI. Hal ini terbukti dengan banyaknya kasus yang dialami oleh TKI diluar negeri sebagaimana yang telah dipaparkan di atas.
Kurangnya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jaminan sosial yang memberikan perlindungan bagi hak TKI inilah yang menyebabkan TKI bekerja dalam kondisi yang tidak memiliki jaminan kepastian untuk dapat memperoleh hak-hak mereka yang seharusnya didapatkan. Oleh karena itulah, Rancangan perundang-undangan terkait jaminan sosial bagi tenaga kerja di Indonesia ini sangat diperlukan bagi TKI yang bekerja di luar negeri untuk menjamin diperolehnya hak-hak dan perlindungan bagi TKI.
B.           Identifikasi Masalah
               Permasalahan utama yang dialami dalam jaminan sosial tenaga kerja ini dikelompokkan menjadi 5 pokok permasalahan besar, yaitu:
1.      permasalahan keselamatan TKI,
2.      permasalahan kesehatan dan kecelakaan kerja TKI,
3.      permasalahan upah TKI,
4.      permasalahan penempatan TKI, dan
5.      permasalahan pemutusan hubungan kerja TKI.

Kelima pokok masalah diatas, menjadi masalah yang sering dialami oleh TKI saat ini. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, pemerintah seharusnya memberikan jaminan terpenuhinya hak warga negaranya yang sulit dinikmati di luar negeri.
UUD 1945 pasal 1 ayat (3) telah menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga peraturan perundang-undangan menjadi landasan dari segala bentuk pelaksanaan pemerintahan. Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-undang yang mengatur terkait dengan perlindungan TKI diluar negeri, hal ini bisa dilihat dengan adanya UU No. 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, akan tetapi peraturan terkait dengan perlindungan tenaga kerja dalam undang-undang tersebut hanya diatur delapan pasal. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang ini sangatlah diperlukan demi melindungi hak-hak dasar warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya para TKI.
Pembukaan UUD 1945 alinea keenpat memberikan tugas konstitusional kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. tugas tersebutlah yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan RUU Jaminan Sosial TKI ini, selain itu kondisi perundang-undangan yang belum memberikan jaminan sosial TKI dan banyaknya permasalahan yang dihadapi warga negara saat ini menjadikan alasan tersendiri dalam pembentukan RUU Jaminan Sosial TKI ini.
Demi mewujudkan dan memenuhi  atas tugas konstitusional inilah, pemerintah perlu mengatur beberapa lembaga terkait dalam penyelenggaraan dan pelaku ketenagakerjaan Indonesia itu sendiri, yang selanjutnya diharapkan mampu menjamin hak-hak dasar TKI, baik pada saat pra penempatan, ketika penempatan maupun pasca penempatan.

C.          Tujuan Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah diatas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI ini dirumuskan sebagai berikut :
1.      Memaparkan peta permaslahan dan identifikasi masalah yang dihadapi oleh warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya para TKI.
2.      Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi tersebut sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-undang jaminan sosial TKI sebagai dasar hukum penyelesaian permasalahan yang sedang dialami oleh para TKI.
3.      Menganalisa landasan filosofis, yuridis dan sosiologis sebagai dasar pembentukan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.
4.      Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.
Atas dasar inilah, Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI diperlukan untuk disusun dan kemudian diharapkan dapat dijadikan landasan hukum penyelenggaraan dan pelaksanaan dalam memberikan jaminan sosial bagi TKI yang tertib, terpadu, terarah dan aman yang diselenggarakan secara terus menerus dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara di bidang ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri.
D.          Metode Penyusunan Naskah Akademik
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI ini adalah metode yuridis-normatif, yang memusatkan pada kajian tentang norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, baik yang masih berlaku ataupun yang sudah digantikan oleh peraturan perundang-undangan lain. Dengan demikian penelitian yang mendasari tim peneliti naskah akademik ini merupakan penelitian doktrinal yang bersifat memberikan petunjuk dan menjelaskan guna menemukan kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis dari subyek dan obyek hukum dalam situasi kondisi masyarakat tertentu.
Adapun tipe pemaparan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini bersifat deskriptif-analitis, sehingga kajian yang dilakukan dapat menjadi acuan komperehensif  bagi penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah konten analisis. Konten analisis ini didasarkan pada teori-teori yang ada. Konten yang dimaksudkan adalah konten dari sumber primer maupun  sekunder  yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan tersier. Dengan analisa semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai pustaka yang ada dan searah dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis tentang Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.


BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A.          Kajian Teoritis
Hak asasi manusia adalah hak yang memang didapatkan manusia karena seseorang merupakan bagian dari umat manusia. Hak asasi manusia ini umumnya tidak dapat dicabut oleh siapapun, karena hakikatnya seseorang manusia akan tetap menjadi manusia apapun yang dia kerjakan.[4] Dalam perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini, John Lock kemudian membagi  hak atas hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kepemilikan menjadi bagian dari hak yang tidak dapat dicabut lagi sekalipun oleh Negara. Hak tersebut kemudian diserahkan kepengurusannya kepada Negara dengan adanya teori kontrak sosial.[5]
Pemikiran John Locke ini kemudian dapat diidentifikasikan kedalam pemikiran Karel Vasak tentang pembagian ruang lingkup dari hak asasi manusia.[6] Karel Vasak menggolongkan pemikiran John Locke ke dalam  suatu golongan yang disebut Generasi Pertama Hak Asasi Manusia. Hak ini bersifat negatif, yang artinya dalam pemenuhannya, Negara diharapkan tidak banyak ambil bagian. Selain itu, Karel Vasak juga merumuskan dua macam generasi hak asasi manusia lainnya. Generasi kedua yang meliputi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta generasi ketiga hak asasi manusia yang berusaha merumuskan hak atas solidaritas.
Generasi kedua hak asasi manusia menurut Karel Vasak merupakan hak positif, artinya Negara harus menjadi pemeran utama dalam pemenuhan hak ini. Hak dalam generasi kedua ini muncul agar Negara mampu menyediakan kebutuhan dasar setiap anggota dalam masyarakat di Negaranya.
Kaitan antara Negara dan hak asasi manusia tersebut kemudian diperjelas dengan adanya doktrin dari Immanuel Kant.[7] Walaupun dalam pemikirannya Kant lebih mengarah dalam hak generasi pertama, yaitu ketika Negara pasif dalam pemenuhan hak-hak tersebut, namun ada kajian penting dari Kant yang harus mendapat perhatian. Bahwa menurut Kant, unsur-unsur Negara haruslah memiliki unsusr perlindungan terhadap hak asasi manusia dan adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara tersebut. Teori tentang pemisahan kekuasaan kemudian dikembangkan oleh F.J. Stahl dengan menambahkan dua unsur dalam Negara, yaitu setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan serta adanya peradilan administrasi Negara yang berdiri sendiri.[8]
Dengan adanya beberapa doktrin tersebut, kemudian menjadikan erat kaitannya antara pemenuhan hak asasi manusia dengan Negara yang berdasarkan hukum. Bukan karena hak asasi manusia diberikan oleh hukum, namun Negara hukum harus mampu menjamin keberadaan hak asasi manusia. Dalam perkembangannya Negara hukum yang menyentuh hak asasi manusia utamanya generasi kedua kemudian secara perlahan berubah ke arah Negara kesejahteraan. Yaitu, Negara yang berperan aktif utnuk mensejahterahkan rakyatnya.[9]
Negara Indonesia adalah Negara yang berusaha mengusung doktrin tersebut. Hal ini dinyatakan dalam konstitusinya pasal 1 ayat 3 yang mengatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Namun, cita-cita untuk menjadikan Negara Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan sebenarnya telah ada semenjak Negara Indonesia lahir pada tahun 1945. Hal ini dibuktikan dengan adanya alinea keempat pembukaan konstitusi Negara Indonesia.
Indonesia secara yuridis kemudian bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 yang merupakan konstitusi dari Negara Indonesia yang berbunyi,
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[10].

Dengan dicantumkannya hal tersebut dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka Negara Indonesia menjadi berkewajiban secara yuridis untuk mensejahterahkan rakyatnya. Dalam KBBI, kesejahteraan sendiri diartikan sebagai sebagai keadaan sejahtera.[11] Lebih lanjut, dalam kepustakaan yang sama, sejahtera kemudian diartikan sebagai keadaan makmur yaitu tidak kekurangan. Hal ini kemudian menjadi dasar implementasi Negara untuk membuat rakyatnya menggerakkan perekonomian Negara dalam bentuk pengusahaan cipta ataupun karya yang dewasa ini disebut dengan bekerja.
Namun menurut bukti empiris Negara tidak mampu untuk menyediakan lapangan kerja terhadap penduduknya. Oleh karenanya, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk mencari pekerjaan di Negara lain. Atas dasar konsekuensi tersebut serta doktrin yang ada, bahwa Negara kemudian harus tetap bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat tersebut, kendati mereka bekerja di luar negeri. Hal ini diperkuat dengan adanya teori kontrak sosial dalam ranah pemenuhan HAM serta dicantumkannya dalam konstitusi dalam klausa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Jaminan itu kemudian diterapkan dengan pembentukan sistem yang melindungi hak-hak mereka, yang dalam kajian ini adalah hak mereka atas keselamatan dan kecelakaan kerja, upah, kesehatan,  hak mereka  saat terjadi permasalahan pada aspek penempatan, dan ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).

Bagan Kewajiban Negara Dalam Jaminan Sosial TKI




B.           Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip  Penyusunan Norma

Asas yang dimaksud adalah asas yang dalam lingkup jaminan sosial TKI secara keseluruhan yang berlaku dalam rancangan undang-undang yang hendak dibuat. Asas ini merupakan hasil dari penelitian dan kajian dalam pemecahan permasalahan seputar jaminan sosial TKI. Asas ini berfungsi sebagai landasan nilai mengapa dan bagaimana undang-undang yang akan dibuat nantinya akan dilaksanakan. Asas-asas tersebut meliputi :
1.      Asas Kemanusiaan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Berdasarkan asas ini, maka para pihak-pihak yang memiliki kewenangan lebih dalam relasinya dengan para TKI diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, dimana mereka dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau bahkan menimbulkan kematian.

2.      Asas Keadilan
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara. Asas keadilan pada dasarnya merupakan asas yang mengamanatkan agar dalam setiap proses penempatan TKI, setiap pemangku kepentingan tidak merugikan pihak lain dan memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya.
Asas keadilan dalam proses penempatan TKI disini menghendaki agar setiap pemangku kepentingan menyadari bahwa kewajiban untuk tidak merugikan pihak lain serta kewajiban untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya mutlak harus dilaksanakan demi terciptanya keadilan dalam proses penjaminan kesejahteraan TKI baik pada pra-penempatan, masa-penempatan, maupun pada purna-penempatan.  Asas ini bermuara pada upaya pencegahan (preventif) maupun penindakan (repressif) terhadap tindakan-tindakan yang bersifat diskriminatif, perampasan hak, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain.

3.      Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat diskriminatif  berdasarkan latar belakang kehidupan seseorang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, dan status sosial.

4.      Asas Kepastian Hukum
Bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Asas kepastian hukum pada dasarnya merupakan asas yang mengamanatkan agar dalam proses penempatan TKI, para pemangku kepentingan merasakan adanya kepastian pada saat menghadapi persoalan hukum, baik pada saat menuntut hak maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh hukum.    
Asas kepastian hukum dalam proses penempatan TKI disini menghendaki agar para pemangku kepentingan dijamin memperoleh haknya berdasarkan hukum yang berlaku serta dijamin untuk tidak dapat dipersalahkan pada saat melaksanakan kewajiban hukum.
Asas kepastian hukum disini bermuara pada upaya agar perumusan kaedah hukum dalam proses penempatan TKI tidak tumpang tindih, selalu konsisten antara ketentuan hukum yang satu dengan lainnya, serta mencegah perumusan kaedah hukum yang multi-tafsir, serta mencegah terjadinya inkonsistensi dalam law enforcement.

5.      Asas Perlindungan
Asas perlindungan merupakan asas yang mengamanatkan agar hak atas perlindungan setiap calon TKI serta setiap TKI yang sedang dalam masa penempatan maupun pada purna-penempatan dijamin oleh setiap ketentuan hukum yang tercantum dalam undang-undang yang akan mengatur penempatan dan perlindungan TKI.
Asas perlindungan dalam proses penempatan TKI disini menghendaki adanya kewajiban bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses penempatan TKI untuk memberikan perlindungan secara maksimal kepada setiap calon TKI, setiap TKI pada masa-penempatan, maupun pada saat purna-penempatan. Oleh sebab itu, setiap warga Negara Indonesia yang bekerja ke luar negeri wajib diberikan pelayanan dan kemudahan dalam mempersiapkan diri. Selanjutnya, sebelum proses pemberangkatan ke Negara tujuan penempatan, setiap TKI secara mutlak harus dididik dan dilatih sedemikian rupa agar setiap calon TKI benar-benar memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa asing, memiliki ketrampilan dalam melakukan pekerjaannya, sehat jasmani dan rohani, siap secara mental dan spiritual. Pada pra, masa dan purna penempatan dijamin untuk mendapatkan pelayanan di Negara dimanapun mereka berada serta dijamin mendapatkan bantuan maupun advokasi pada saat menghadapi persoalan-persoalan yuridis maupun non-yuridis. Asas perlindungan ini bermuara pada upaya pencegahan agar persoalan-persoalan TKI yang pada saat ini telah bersifat laten dan menyengsarakan TKI, tidak terjadi lagi pada masa mendatang.

6.      Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan disini merupakan asas yang mengamanatkan agar masyarakat, khususnya, para pemangku kepentingan dijamin haknya untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diperlakukan secara diskriminatif.
Asas keterbukaan dalam proses penempatan TKI disini menghendaki agar setiap TKI maupun pihak-pihak yang terkait lainnya memiliki hak untuk tahu segala informasi yang merupakan kepentingannya. Asas Keterbukaan ini bermuara pada upaya pencegahan terjadinya praktek persaingan usaha tidak sehat, percaloan, praktek tindakan diskriminatif, human trafficking, korupsi, kolusi, dan nepotisme.

7.      Asas Efisiensi
Asas efisiensi pada dasarnya merupakan asas yang mengamanatkan agar dalam proses penempatan TKI, para pemangku kepentingan didayagunakan serta dihasilgunakan secara maksimal. Asas ini juga menghendaki agar pelayanan dalam proses penempatan TKI berjalan cepat, tepat, dan ekonomis dengan tetap memperhatikan rasa keadilan bagi para pemangku kepentingan. Asas Efisiensi disini bermuara pada upaya mencegah terjadinya proses penempatan TKI yang berjalan tanpa kepastian akibat hukum yang tidak pasti sehingga menghasilkan praktik percaloan, pengurusan dokumen yang berbelit-belit, biaya tinggi, dan lain sebagainya.

8.      Asas Akuntabilitas
Asas akuntabilitas pada dasarnya merupakan asas yang mengamanatkan agar setiap kegiatan penempatan TKI dan hasil akhir dari kegiatan penempatan TKI harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Asas ini  menghendaki agar setiap kegiatan penempatan TKI dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dari semua pihak yang terkait dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI baik pemerintah maupun swasta.
    Asas akuntabilitas disini bermuara pada upaya agar setiap proses penempatan TKI dilaksanakan dengan menempatkan posisi TKI sebagai manusia dengan segala harkat dan martabatnya. Dengan demikian kaedah-kaedah hukum yang menjamin TKI mendapatkan pelayanan yang maksimal merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

C.          Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada,  Serta Permasalahan TKI
Banyaknya TKI yang berada di luar negeri ternyata tidak sepenuhnya dapat dikontrol oleh Negara, baik terkait dengan keselamatan kerjanya maupun kecelakaan kerja yang dialami oleh warga Negara Indonesia di Negara tujuan.[12] Hal ini tak terlepas dari lemahnya pengaturan perlindungan TKI yang hanya diatur dengan delapan pasal pada undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. Dalam undang-undang tersebut pengaturan lebih didominasi pada masalah penempatan TKI sedangkan dalam aspek perlindungan tidak diatur secara spesifik mengenai hal tersebut. Padahal dalam konsep Negara hukum, Negara hukum diartikan sebagai suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam suatu konstitusi, di mana pemerintah dan yang diperintah harus tunduk pada hukum yang sama. Sehingga hukum diterapkan berdasarkan keadaan yang sama atau berbeda secara rasional tanpa memandang perbedaan dari segi alamiah yang hakikatnya tidak dapat dirubah.[13] Bukan berarti, pandangan terhadap kajian UU No. 39 Tahun 2004 ini memandang dari segi kuantitas. Namun, secara empiris delapan pasal tersebut memang dinyatakan kurang mampu melindungi hak atas TKI.
Misalnya, menurut Jamaluddin Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia mengatakan bahwa data pada tahun 2007 menunjukkan kedatangan TKI ke tanah air mencapai 290.091 orang dan dari jumlah itu yang mengalami kasus sebesar 54.927 orang. Pada tahun 2008, TKI yang terkena kasus meningkat sekitar 25 ribu kasus[14]. Data yang diungkapkan dari serikat buruh migran ini memang belum spesifik digolongkan pada data-data  tiap permasalahan yang ada dalam keselamatan kerja terkait dengan penganiayaan, pemerkosaan serta pembunuhan yang membutuhkan advokasi hukum di Negara tujuan dan kasus kecelakaan kerja yang dialami oleh para TKI dalam kasus lain.
Secara spesifik terdapat enam permasalahan dalam jaminan sosial tenaga kerja, meliputi:

1.      Permasalahan Keselamatan Kerja
a.      Permasalahan Penganiaayaan TKI
Menurut ketua komnas perempuan, Yunianti Chuzifah, yang pernah melakukan riset pada tahun 2006 di arab Saudi terkait dengan tindakan kriminal terutama penganiayaan yang dilakukan oleh majikan terhadap TKI disana menyatakan bahwa kekerasaan yang terjadi di arab Saudi tidak mengherankan sebab sistem sosial dan lingkungan kerja di arab Saudi belum terbentuk baik untuk melindungi para buruh migran disana[15]. Hal ini selain dikarenakan budaya di Arab Saudi yang terkadang masih mengganggap bahwa buruh itu sebagai budak juga sistem tertutup masyarakat disana juga menutup diri dari kontrol pihak asing, sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan disana sangat sulit diungkap dan diketahui oelh pihak pemerintah Indonesia disana.
Tidak adanya pengaturan yang dibuat pemerintah untuk melindungi TKI menjadi masalah utama atas ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani dan menjaga TKI yang bekerja di Negara tujuan, karena pengaturan inilah yang dapat melindungi TKI di Negara tujuan terutama pengaturan terkait dengan Penyedia Jasa Tenaga kerja yang kadang tidak bertanggung jawab atas permasalahan Tenaga kerja yang mereka kirim ke Negara tujuan
Ketiadaan pengaturan yang mengatur tentang Penyedia Jasa TKI dalam perekrutan dan pengiriman tenaga kerja juga menjadi fokus utama permasalahan penganiayaan TKI di Negara tujuan, seharusnya Penyedia jasa inilah yang kemudian bertanggung jawab dan melakukan kontrol secara periodik dengan mitra kerja di Negara tujuan agar para TKI di Negara tujuan dapat diketahui terus perkembanganya, selain itu KBRI sebagai penghubung diplomatic antar Negara juga harus turut membantu pemantauan berkala kondisi tenaga kerja di Negara tujuan agar kondisi para tenaga kerja dapat diketahui dengan pasti dan dipastikan aman.
Pengguna Jasa TKI dalam bekerja tentu memiliki hubungan dengan pihak mitra bisnis di tempat atau Negara tujuan, mitra bisnis yang bekerja sama ini memang buka wilayah dari Negara ini dalam pengaturan segala kebijakannya, akan tetapi kemampuan penyedia jasa TKI dalam mengontrol kondisi TKI di Negara tujuan dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak mitra bisnis terkait agar kondisi para tenaga kerja disana dapat dikontrol dengan baik.
Penyedia jasa  TKI dalam melakukan kerjanya tentunya mendapat keuntungan dari setiap pemberangkatan dan kontrak yang dijalin dengan mitra bisnis terkait dalam penyediaan tenaga kerja, keuntungan inilah yang kadang hanya menjadi tujuan utama para penyedia jasa tenaga kerja di Indonesia sehingga harusnya ada pengaturan yang seimbang, selain mereka mendapat keuntungan dari bisnisnya, tanggung jawab atas TKI yang mendapat perlakuan yang tidak semestinya juga dapat dibebankan kepada penyedia jasa tenaga kerja, hal ini bisa dilakukan dengan kewajiban pemberian bantuan hukum kepada para TKI yang mereka kirimkan ketika mendapat permasalahan hukum terkait dengan penganiayaan.

b.      Permasalahan Pemerkosaan TKI

Kasus Pemerkosaan TKI menjadi hal yang perlu diperhatikan selain banyaknya kasus penganiayaan yang terjadi, tercatat pada tahun,ada 159 bayi dilahirkan oleh TKW di Arab saudi yang merupakan hasil pemerkosaan oleh sesama buruh migran atau hubunga suka sama suka. Kebanyakan para pemerkosa ini tidak mendapat hukuman dengan alasan kurang kuatnya barang bukti[16]. Menurut hasil dari wawancara dengan Drs. A. Habib Ma’sum[17] bahwa TKI yang mengalami kasus pemerkosaan seperti yang banyak diberitakan di media massa disebabkan karena adanya pandangan oleh para majikan di Arab Saudi atau timur tengah bahwa para tenaga kerja tersebut disamakan dengan budak, hal itu dikarenakan adanya biaya yang cukup besar dalam mendatangkan TKI yang mencapai sepuluh juta rupiah untuk setiap TKI.
Dalam tindakan preventif, pemerintah dan beberapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan kerja para TKI di Negara tujuan, terutama timur tengah, ini juga kesulitan dalam melakukan tindakan pencegahan atas tindakan tersebut, pasalnya bangunan dan tempat tinggal penduduk timur tengah sangat tertutup, hal ini berlainan dengan bangunan dan tempat tinggal di beberapa Negara yang sangat terbuka, seperti di Taiwan, Hongkong dan Malaysia.

c.       Permasalahan Pembunuhan terhadap TKI

Ada tiga Negara yang memvonis TKI dengan hukuman mati terbanyak, yang pertama yaitu Malaysia, kemudian Cina dan yang terakhir adalah Arab Saudi, Data dari tahun 1999 hingga 2011 menyebutkan bahwa ada 303 TKI yang terancam hukuman mati, dari 303 kasus. Malaysia menjadi Negara yang memiliki daftar kasus WNI terancam hukuman mati terbanyak dengan jumlah 233 TKI. China berada di peringkat kedua dengan 29 orang TKI, dan Arab Saudi berada di peringkat ketiga dengan 28 orang TKI.
Di bawah ini adalah data kasus ancaman hukuman mati bagi para TKI di Negara tujuan mereka bekerja.
Kasus Berdasarkan Negara:
- Malaysia                          : 233 orang
- China                               : 29 orang
- Arab Saudi                       : 28 orang

Data Berdasarkan Kasus:
- Membunuh             : 85 orang
- Narkoba                  : 209 orang
- Kekerasan               : 1 orang
- Lain-lain                 : 8 orang

Data terakhir di Arab Saudi:
- Dieksekusi                       : 2 orang
- Bebas hukuman mati       : 6orang
- Masih proses pengadilan : 17 orang
- Berhasil dibebaskan         : 3 orang

Berdasarkan kasus di Arab Saudi:
- Membunuh              : 22 orang
- Narkoba                   : 0 orang
- Kekerasan                : 1 orang
- Lain-lain                  : 5 orang

Data terakhir di Malaysia:
- Dieksekusi                       : 0 orang
- Bebas hukuman mati       : 32 orang
-Masih proses pengadilan : 177 orang
- Berhasil dibebaskan       : 24 orang
Berdasarkan kasus di Malaysia:
- Membunuh              : 50 orang
- Narkoba                   : 180orang
- Kekerasan                : 0 orang
- Lain-lain                  : 3 orang
Data terakhir di China:
- Dieksekusi                      : 0 orang
- Bebas hukuman mati      : 9 orang
- Masih proses pengadilan: 20 orang
- Berhasil dibebaskan       : 0 orang
Berdasarkan kasus di China:
- Membunuh              : 0 orang
- Narkoba                   : 29 orang
- Kekerasan                : 0 orang
- Lain-lain                  : 0 orang

Dari data statistik tersebut[18], ada dua hal yang menyebabkan para TKI di Negara tujuan dikenankan ancaman hukuman mati, yaitu karena membunuh dan kasus narkoba. Ada dua kemungkinan yang dapat terjadi atas banyaknya kasus TKI yang mendapat ancaman hukuman mati ini, yang pertama yaitu disebabkan karena ketidaktahuan TKI atas Larangan atau menjauhi segala tindakan yang berhubungan dengan Narkoba yang seharusnya telah diberikan saat pendidikan dan pelatihan TKI oleh Penyalur Jasa TKI atau memang TKI sendiri yang tergiur dengan bisnis terkait dengan Narkoba tersebut.
Sementara dalam kasus ancaman pembunuhan yang disebabkan oleh tindakan TKI yang melakukan pembunuhan, mungkin hal tersebut dapat diselidiki lebih dalam lagi alasan daripada TKI melakukan tindakan pembunuhan yang dilakukan di Negara tujuan tersebut, apapun alasanya Negara memiliki kewajiban dalam melindungi warga Negaranya yang mendapat ancaman hukuman mati di Negara-Negara lain, karena pada dasarnya tugas Negara adalah melindungi warga Negaranya.

2.      Permasalahan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja TKI
a.      Permasalahan Sakit di Tempat Penampungan
Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, tepatnya di bagian kedua pasal 31 ayat 4 dijelaskan mengenai kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri yang salah satunya mengenai pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Maksud dari pemeriksaan kesehatan tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal 48 bahwa pemeriksaan kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI dengan pekerjaan yang akan dilakukan di Negara tujuan.
Ketika berada di penampungan, seorang TKI akan melalui tahap health check-up atau cek kesehatan tidak hanya secara fisik tetapi juga mencakup psikis. Timbulnya permasalahan kesehatan yang menimpa TKI di tempat penampungan seharusnya mampu diidentifikasi melalui cek kesehatan tersebut.
Namun, dalam praktiknya, seorang calon TKI masih mungkin untuk sakit ketika dalam masa penampungan. Padahal, calon TKI yang masih berada di tempat penampungan tidak memiliki akses untuk menadapatkan perawatan kesehatan sebagaimana mestinya yang diatur dalam Undang-undang. Mereka tidak mendapatkan perawatan yang memadai selama berada dalam proses karantina, di samping itu pula ketatnya pengawasan dari petugas PPTKIS dan jadwal kegiatan di penampungan membuat mereka tidak bisa keluar dari penampungan untuk mendapatkan obat yang sesuai dengan penyakit.
b.      Permasalahan Sakit dan Cacat Fisik di Negara Tujuan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri tepatnya Pasal 51 dalam paragraph 5 tentang pengurusan dokumen huruf e, untuk dapat ditempatkan di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi surat keterangan sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang TKI yang mendapatkan kesempatan untuk bekerja di luar negeri adalah sehat secara fisik dan psikis. Namun, dengan adanya check up tersebut, tidak menjamin bahwa TKI akan menjadi sehat selama melaksanakan perjanjian kerja. Hal ini terkait baik kesehatan jiwa maupun raga dari TKI tersebut, bisa saja dipengaruhi oleh lingkungan kerja, perubahan budaya, serta ketidakmampuan dalam beradaptasi di Negara lain.
Hal ini kemudian diperparah dengan sulitnya para TKI untuk mengakses rumah sakit ketika TKI tersebut ketika sakit. Bsalah satu hal yang menjadi penyebab adalah TKI tersebut tidak membawa uang tunai. Padahal sebelumnya ada mekanisme asuransi yang selama ini telah diberlakukan atas dasar peraturan menteri nomor PER.07/MEN/V/2010, yang seharusnya menjamin hal tersebut. Namun dalam tataran praktis, hal tersebut tidak berjalan efektif, karena klaim hanya dapat dilaksanakan di Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masalah-masalah yang didapatkan oleh TKI dalam mendapatkan akses kesehatan di Negara tempatnya bekerja tidak hanya berhenti hingga masa bekerja selesai. Ketika sakit tersebut berujung menjadi sakit permanen atau biasanya berupa cacat tubuh dan gangguan kejiwaan, maka hal itu akan terbawa hingga kembali ke negeri asal.
Tetapi, meski TKI tersebut telah kembali ke Negara asalnya, perawatan medis yang dilakukan telah terlambat atau bahkan mereka tidak mendapatkan perawatan sama sekali. Fasilitas perawatan/pengobatan yang seharusnya diterima TKI tidak disediakan oleh pihak PPTKIS atau pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kepulangan TKI.
Sebagai gantinya, program asuransi yang telah dibayar dan dijanjikan kepada pihak TKI belum tentu menjadi milik TKI tersebut sepnuhnya, meski mereka telah terbukti mengalami gangguan kesehatan yang dibawa dari tempat bekerja. Untuk mengklaim hak atas asuransi tersebut, TKI perlu mengikuti alur atau prosedur birokrasi yang betele-tele dan tak jarang justru merugikan pihak TKI sendiri.
Seperti halnya kasus kecelakaan kerja yang menimpa TKI asal Indramayu, Rokiyah binti Dulkarim (41) yang menderita kelumpuhan akibat tulang belakang patah. Bahkan organ saluran pembuangan urine dan buang air besar pun sama sekali tidak bisa disembuhkan akibat kerusakan pada saraf besarnya. Ia menderita lumpuh sepulang dari Negara Jordan, tempatnya bekerja sebagai Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). Rokiyah pulang dalam keadaan lumpuh karena menderita tulang belakang dan pinggul patah akibat jatuh dari lantai 2 saat membersihkan kaca di rumah majikannya. Akibat tidak jelasnya PPTKIS yang memberangkatkan, Rokiyah pun tidak mendapatkan hak asuransi TKI disamping harus merasakan penderitaan cacat seumur hidup[19].

c.       Permasalahan Kecelakaan Kerja TKI
Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) Kemenakertrans Reyna Usman Ahmadi mengatakan Kecelakaan kerja TKI menurun dari 867 kasus menjadi 732 kasus pada tahun 2011.[20] Meski jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya, bukan berarti ini tidak memerlukan perbaikan dan pembenahan atas kejadian kecelakaan kerja yang dialami oleh TKI tersebut mengingat hal tersebut mampu berdampak pada kesehatan fisik maupun psikis TKI.
Kecelakaan yang dialami oleh TKI ini bisa disebabkan dengan adanya ketidaksesuaian pekerjaan yang harus dilakukan oleh TKI di Negara tujuan dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Dalam kasus kecelakaan kerja yang dialami Kunaesih, TKI PLRT asal Indramayu, Jawa Barat, baru-baru ini yang terjatuh dari lantai 6 tempat bekerjasama di apartemen majikannya di Singapura merupakan bukti dari tidak jelasnya cakupan kerja yang ia lakukan. menurut Direktur Advokasi dan Perlindungan BNP2TKI Kawasan Asia Pasifik dan Amerika H Sadono seharusnya pekerjaan mengelap kaca itu tidak masuk dalam item di Perjanjian Kerja (PK) soalnya profesi itu seharusnya dilakukan oleh teknisi berpengalaman dan pekerjaan itu dilengkapi dengan standar pengamanan yang tinggi.[21]
TKI yang melakukan kegiatan yang tidak diperjanjikan didalam perjanjian kerja tersebut tentunya akan sangat tidak memahami peralatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan kerjanya, karena tidak pernah dilakukan pelatihan akan hal tersebut. selain itu juga tentunya seorang TKI juga tidak dapat menentukan bagaimana penggunaan standarisasi pengamanan dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak diperjanjikan. hal ini sudah tentu akan beresiko terhadap TKI atas kecelakaan kerja yang menimpanya.

3.      Permasalahan Upah TKI
Dalam analisa masalah dalam hak mendapatkan upah TKI ini terdapat masalah induk, yaitu TKI yang tidak digaji[22] dan TKI yang digaji dengan tidak seimbang[23]
a.      Permasalahan Hukum
Masalah ini terkait adakah dasar hukum untuk melindungi hak terhadap upah para TKI ini. Dalam konteks hukum nasional, induk dari perlindungan hukum atas TKI secara spesifik merujuk pada UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan TKI.
Walaupun kemudian diperjelas dengan beberapa aturan organis lainnya seperti Peraturan menteri PER.07/MEN/V/2010 namun hal tersebut tidak serta merta memberikan perlindungan konkrit atas upah. Hal tersebut terjadi akibat Negara tidak mampu memaksakan hukumnya kepada warga Negara asing di Negaranya yang bertindak sebagai majikan yang memberikan upah terhadap TKI. Dalam kaitannya dengan hukum internasional, perjanjian bilateral bisa menjadi suatu acuan dalam pelaksanaan penjaminan hak ini. Namun, MoU utamanya terkait upah standar TKI jarang disepakati oleh kedua belah pihak Negara.[24]

b.      Timbulnya Kesempatan Pengguna Jasa TKI untuk Tidak Memberi Upah Kepada TKI
Kesempatan untuk melakukan hal ini utamanya berada pada pihak pengguna jasa TKI yang karena dasar hukum nya tidak ada kemudian bisa terbebas dari segala tuntutan nantinya, walaupun kemudian ada kontrak, namun hal ini tidak bisa dijadikan penutup dari kesempatan karena tidak ada suatu pihak yang berwenang jika terjadi sengketa.

c.       Kemampuan Pengguna Jasa untuk Melakukan Pelanggaran dalam Tidak Membayar Gaji
Masalah ini muncul karena hukum dan adanya kesempatan, selain itu faktor “pendatang” dari TKI yang dalam hal ini kurang mendapat perlindungan hukum baik karena procedural maupun konteksnya. Selanjutnya masalah  sosialisasi terhadap hak TKI serta cara pengajuan penuntutannya jika terjadi masalah juga sangat bermasalah. Hal ini terkait kepemahaman dari TKI itu sendiri yang kurang matang, maupun BNP2TKI selaku penanggung jawab pembuatan kurikulum pelatihan yang juga memberikan sosialisasi terhadap penanganan dalam munculnya masalah tidak melaksanakan sosialisasi tersebut secara periodik berkala.


4.      Permasalahan Penempatan TKI
a.      Tidak Sesuainya Bidang Kerja yang Telah Dijanjikan Sebelumnya Dalam Kontrak kepada TKI
Persoalan utama TKI di luar negeri adalah maraknya tenaga kerja ilegal. Beberapa dari para TKI tidak tahu bahwa selama ini jalur agen TKI ataupun calo TKI yang selama ini mereka tempuh dalam mengurusi keadministrasian tersebut ternyata illegal. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi pemerintah dalam menyebarluaskan informasi mengenai prosedur dan cara yang di tempuh ketika ingin menjadi TKI.
Permasalahan yang lainnya adalah banyaknya TKI yang menjadi korban karena ketidak sesuaian pekerjaan yang sebelumnya sudah tertera dan ditandatangani dalam kontrak ternyata  TKI tersebut dipekerjakan di sektor lain yang tidak sesuai dengan perjanjian.

b.      Penarikan Pungutan  Tambahan  oleh para TKI setelah kepulangan ke Indonesia
Peraturan administrasi yang berbelit-beli menyebabkan banyaknya peluang untuk melakukan pungutan liar yang di lakukan oleh para pihak luar. Sehingga karena peraturan administrasi yang berbelit belit dan kurangnya pengawasan yang serius dari pemerintah indonesia sehingga menyebabkan TKI menjadi korban.

c.       Pemulangan TKI Dalam Keadaan, Cacat atau Meninggal
Peninggalan tanggung jawab yang dilakukan oleh PPTKIS maupun PPTKIS  menyebabkan ketidakpastian kepulangan TKI di indonesia . karena hal ini banyak para TKI indonesia menjadi korban karena ketidak tanggungjawaban PPTKIS maupun tanggung jawab BNP2TKI untuk serius bertanggung jawab dalam tugas yang seharusnya telah menjadi tanggung jawabnya.



5.      Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) TKI
a.      PHK secara Sepihak
Dalam hal PHK sepihak oleh pihak pengguna diartikan juga sebagai pembatalan kontrak antara pengguna jasa dengan TKI yang dilakukan pra-pemberangkatan atau pra-penempatan. Nasib TKI yang ingin ke luar negeri namun tidak ada kepastian tentang kapannya mereka akan diberangkatkan ke negara tujuan harus ditambah lagi dengan  ketidakjelasan pemutusan hubungan kerja (pemutusan kontrak) secara sepihak. Padahal, banyak di antara mereka yang memperoleh biaya pemberangkatan dari uang pinjaman. Tanpa adanya  pengaturan mengenai hal ini, tentunya akan menjadi permasalahan yang kompleks  untuk diatasi, karena hal ini menyangkut kepentingan hidup para TKI yang ingin mendapatkan penghidupan bagi diri sendiri, dan keluarga.

b.   Permasalahan Moratorium Pemerintah
Nasib para TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara tujuan harus pupus akibat adanya kebijakan pemerintah untuk memberhentikan sementara para TKI (Moratorium). Hal ini tentunya berimplikasi negatif maupun positif pada para TKI yang telah memiliki kontrak dengan pengguna jasa. Dampak negatif dapat dilihat dari kerugian yang dialami oleh para TKI karena sebelumnya telah membayarkan sejumlah premi untuk asuransi. Sedangkan dampak positif dari keputusan pemerintah terkait moratorium atau penghentian sementara TKI sektor rumah tangga  ke  Arab Saudi yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu yang lalu adalah pemerintah mempunyai kesempatan untuk membenahi sistem rekruitmen dan pengiriman TKI ke luar negeri, khususnya untuk sektor informal.
Kebijakan pemerintah ini ditanggapi beragam oleh sejumlah kalangan. Menurut kalangan pengusaha pengerah tenaga kerja, kesempatan moratorium ini berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat,  khususnya di daerah sumber tenaga kerja, seperti di Nusa Tenggara Barat. Mengingat di wilayah ini  terdapat sekitar 280 perusahaan pengerah tenaga kerja, yang mengirimkan sedikitnya 60 ribu TKI  ke luar negeri, dimana lebih dari setengahnya adalah TKI ke Timur Tengah. Moratorium ini juga berpotensi menurunkan  kiriman uang dari luar negeri atau remiten ke NTB, yang selama ini berjumlah  lebih 700 milyar rupiah pertahunnya.  Di sisi lain, kesempatan ini harus dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi kinerja  kementerian tenaga kerja, BNP2TKI, serta KBRI di Arab Saudi, yang dinilai gagal memberi perlindungan  terhadap para TKI sehingga muncullah kebijakan moratorium ini. Kesempatan moratorium ini juga harus dimanfaatkan pemerintah untuk meningkatkan nilai tawar TKI kepada pemerintah dan masyarakat  Arab Saudi.
Pemerintah hingga saat ini terus merumuskan berbagai kebijakan,  untuk mengatasi dampak pelaksanaan moratorium tersebut. Menurut Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, antisipasi dampak moratorium dilakukan semua kantor kementerian,  dengan cara mengefisienkan anggaran guna mendukung peningkatan lapangan kerja.[25]
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana dengan nasib para TKI yang telah mempunyai kontrak dengan pengguna jasa terkait dan yang seharusnya pula telah di berangkatkan ke Negara tujuan, tetapi akibat adanya moratorium pemerintah ini mereka gagal untuk diberangkatkan.

c.       Pemutusan Hubungan Kerja Secara Sepihak oleh Para Majikan
PHK secara sepihak oleh para majikan  dalam pembahasan sub-bab ini diartikan sebagai pembatalan kontrak antara pengguna jasa dengan TKI yang dilakukan pada masa penempatan. Dari data yang didapatkan jumlah TKI korban PHK di luar negeri ternyata cukup besar. Data BNP2TKI periode Januari-Oktober 2009 menyebutkan ada 11.036 orang terkena PHK secara sepihak oleh majikannya.[26]
Atas hal tersebut maka pemerintah bertanggungjawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI diluar negeri. Namun masalah perlindungan TKI di luar negeri amat ditentukan oleh penyiapan mereka di dalam negeri. Hampir 80 persen permasalahan TKI di Negara penempatan bersumber dari kurang bagusnya penyiapan keterampilan TKI di dalam negeri.
Menurut Lisna Poeloengan, selaku Deputi Perlindungan BNP2TKI tentang permasalahan tersebut bahwa perlu adanya penegasan terhadap pentingnya pemangku kepentingan atau stakeholder bekerjasama di Negara penempatan TKI, agar penanganan masalah perlindungan lebih terfokus dan serius.
D.          Solusi Permasalahan
1.  Solusi Permasalahan Keselamatan Kerja
Solusi dari permasalahan yang terjadi dalam kajian jaminan sosial terhadap TKI tentunya bisa dipecahkan dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk dapat mengatur beberapa pihak yang terkait dalam tindak pencegahan maupun penanggulangan dalam segala permasalahan yang ada terkait dengan TKI. Beberapa pihak yang terkait dengan permasalahan diatas dan dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan ini yaitu:
a.      Pihak PPTKIS
Dalam hal penganiayaan yang menimpa terhadap TKI, PPTKIS diharapkan dapat memberikan pelatihan pra penempatan dengan lebih baik, karena hal ini ketidakmampuan TKI dalam bekerja menjadi penyebab terjadinya tindakan penganiayaan terhadap TKI. Pelatihan yang dilakukan dapat berupa pengetahuan budaya, bahasa dan lainya yang sekiranya memiliki kemungkinan terjadinya kesalahpahaman antara majikan dengan TKI tersebut.
            Selain hal di atas PPTKIS juga harus melakukan kontrol dan pengawasan melalui mitra kerjanya diNegara tujuan, hal tersebut mungkin bisa dikerjasamakan dengan KBRI setempat, dan pengawasan terhadap TKI tersebut harus dilakukan secara periodik dan terus menerus. Dalam hal kecelakaan kerja dan keselamatan kerja ini PPTKIS juga diharuskan mengasuransikan TKI yang dikirimkan kepada perusahaan asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah, agar TKI yang mengalami kecelakaan dan keselamatan kerja ini dapat klaim asuransi sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku.
b.      Pemerintah
Keterkaitan pemerintah dalam permasalahan jaminan keselamatan dan kecelakaan kerja ini bisa diwakilkan oleh dua pihak, yang pertama adalah Badan Negara Penempatan dan Perlindungan TKI (BPN2TKI) dan Kedutaan Besar Republik Indonesia. dalam hal kasus penganiayaan ini KBRI diharapkan dapat memberikan tindakan preventif dengan melakukan koordinasi dengan mitra kerja para PPTKIS yang ada di Negara tujuan setempat yang dilakukan secara periodik dan terus menerus. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir adanya praktek penganiayaan yang terjadi terhadap TKI.
KBRI pada dasarnya memiliki kewajiban untuk menjalin dan menjadi perantara hubungan antar dua Negara, tugas yang dimiliki oleh KBRI ini diharapkan mampu mensosialisasikan terhadap Negara setempat bahwa pada dasarnya TKI yang bekerja di Negara tujuan tersebut bukanlah budak, paradigma di Negara timur tengah yang menganggap bahwa pembantu rumah tangga yang bekerja di timur tengah itu sama dengan budak, sehingga dapat diperlakukan dengan sekehendak hatinya merupakan tindakan yang tidak benar, hal ini mungkin dapat meminimalisasi terjadinya kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap TKI yang bekerja di Timur tengah.
BNP2TKI dibentuk dengan dasar hukum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 dan memiliki tugas dalam perlindungan TKI, dalam hal kecelakaan dan keselamatan kerja tentunya peran BNP2TKI ini sangatlah penting sekali. Perlindungan yang dapat dilakukan dan dijalankan oleh BNP2TKI ini dapat berupa jaminan perlindungan hukum yang harus diberikan kepada TKI yang mengalami kasus hukum yang berkaitan dengan kecelakaan kerja maupun keselamatan kerja, baik kasus penganiayaan, pemerkosaan maupun kasus ancaman pembunuhan dan hukuman mati di Negara tujuan.
Selain tindakan jaminan hukum yang diberikan kepada TKI, BNP2TKI juga dapat menindaklanjuti pelaporan dari PPTKIS atau KBRI di Negara tujuan dengan melakukan pemantauan terhadap sistem pengawasan yang dilakukan oleh PPTKIS dan KBRI yang dilakukan secara periodik, sehingga kerja dari BNP2TKI dapat dilakukan dan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
c.       Konsorsium TKI
                 Pihak Konsorsium atau pihak Asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam penjaminan asuransi TKI ini haruslah bertindak aktif dalam memantau proses asuransi yang dilakukan oleh PPTKIS terhadap TKI yang diberangkatkan, supaya tidak ada lagi para TKI yang diberangkatkan tanpa dijaminkan keselamatan dan kecelakaanya kepada pihak asuransi.
2.      Solusi Permasalahan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
              Dalam menghadapi permasalah-permasalah di atas ketika TKI sedang tidak berada di negara asalnya, hal tersebut menjadi beban bagi TKI terutama dalam dua hal. Pertama, tidak adanya uang untuk mengobati penyakit dan yang kedua adalah adanya keterbatasan akses pengobatan (rumah sakit atau apotek). Dalam hal ini, terutama dalam aspek sakit yang sifatnya darurat, baik yang berasal dari penyakit maupun dari kecelakaan kerja, sangat tidak implementatif jika disolusikan dengan solusi yang ada. Hal ini terkait keterlambatan pemberian solusi nantinya, karena hanya bisa mengajukan klaim di Negara Indonesia. Walaupun pihak PPTKIS dapat menjadi kuasa untuk pengajuan klaim tersebut, namun hal ini cenderung akan berbelit-belit.
              Pemikiran tentang solusi terhadap hal ini bermula dari keinginan untuk mampu menjawab atas permasalahan tersebut, dengan efektif, efisien dan implementatif. Dalam hal ini, sistem yang telah ada berusaha untuk disempurnakan sehingga lebih efisien. Sistem yang ada saat ini adalah adanya program asuransi terhadap kesehatan dan kecelakaan kerja. Agar program tersebut dapat berjalan efektif, diperlukan suatu sarana di negara tujuan untuk menjadi pihak yang dapat menerima klaim TKI.
              Solusi yang diberikan secara kongkrit adalah, konsorsium asuransi tersebut kemudian diwajibkan untuk bekerjasama dengan pihak rumah sakit di negara tujuan. Dengan adanya hal ini, TKI yang sakit, secara mudah tinggal menuju rumah sakit yang bekerjasama dengan konsorsium asuransi TKI, dengan menunjukkan bukti kepesertaan asuransi tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun, yang kemudian konsorsium asuransi TKI tersebut nantinya akan ditagih oleh rumah sakit yang bekerjasama dengannya, guna membayar biaya pengobatan TKI yang datang berobat. 

3.      Solusi Permasalahan Upah TKI
Solusi utamanya adalah Negara membuat suatu sistem yang komprehensif, efektif dan efisien serta implementatif yang terintegrasi demi suatu tujuan yaitu penjaminan hak mendapatkan upah. Dalam hal ini, Negara diwajibkan membuat sistem yang kemudian terbagi ke dalam dua ranah, sistem yang dapat diberlakukan karena Negara memiliki daya paksa, dan yang kedua sistem yang dapat diberlakukan walau Negara tidak memiliki daya paksa. Perbedaan mencolok dari kedua sistem ini adalah hal-hal yang dapat dipaksa Negara atau tidak.
a.      Sistem yang dapat dipaksakan oleh Negara
Sistem ini timbul akibat Negara secara yuridis memiliki yurisdiksi terhadap pengaturan hukum, pelaksanaannya, serta mengadili permasalahan di dalam wilayah teritorialnya, atau yang ditentukan lain menurut hukum kebiasaan Internasional dan perjanjian internasional baik yang sudah dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasiakan. Beberapa pihak yang terikat karenanya dalam konteks ini adalah, TKI itu sendiri, Menakertrans, BNP2TKI, KBRI, PPTKIS, serta konsorsium TKI yang dapat dipaksa Negara agar menjadi solusi dalam timbulnya kasus ini.
1)      TKI
Merupakan individu yang terdaftar secara legal untuk bekerja di luar negeri agar mendapat suatu upah dari pengguna jasanya. Dalam hal ini, Negara mampu memaksa TKI untuk melakukan tindakan preventif dan represif atas kasus tidak diberikan upah padanya. Tindakan preventif ini meliputi pelatihan kepada TKI serta sosialisasi terkait upah merupakan hak yang harus dipertahankan. Pelatihan diberikan agar pengguna jasa puas terhadap TKI sehingga membayarkan upahnya secara seimbang sesuai dengan kontrak. Selain itu Negara memaksa TKI untuk mengikuti suatu program asuransi jika sengketa upah terjadi di luar perkiraan.
Tindakan represif meliputi hal-hal yang dipaksa oleh Negara di lakukan oleh  TKI baik secara mandiri maupun dengan bantuan PPTKIS selaku penanggung jawab atas keberangkatan TKI. TKI diwajibkan segera menyelesaikan sengketanya, baik secara personal maupun secara mediasi dengan majikannya. Dalam hal ini, TKI diwajibkan melapor kepada PPTKIS yang memberangkatkannya, atau KBRI di Negara tempat bekerja.

2)      Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
Menakertrans adalah menteri tenaga kerja dan transmigrasi yang dipaksa oleh Negara baik secara preventif maupun represif dalam kaitannya pemberian upah. TIndakan preventif yang dipaksa Negara adalah penunjukan konsorsium asuransi yang akuntabel dan transparan guna menjadi perusahaan resmi asuransi TKI yang diwajibkan Negara beserta prosedur resmi pencairan dana klaim yang akuntabel, selain itu mengusulkan kemenlu merumuskan MoU tentang upah untuk disetujui oleh Negara tujuan TKI, Tindakan represif dari menteri ini baru dilakukan atas dasar kewenangannya untuk turut bertanggung jawab ketika TKI mengalami masalah dalam hal pemberian uppah.BNP2TKI
BNP2TKI Adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah yang dalam konteks ini sebagai badan yang melindungi tercapainya hak-hak TKI terutama dalam masalah upah. Tindakan preventif yang dilaksanakan oleh BNP2TKI adalah  dengan melakukan koordinasi terkait kewenangannya dengan menakertrans dalam hal perlindungan TKI. Selain itu juga mengadakan penyuluhan, pelatihan terhadap TKI. Sedangkan tindakan represif meliputi menyiapkan bersama-sama KBRI team mediasi maupun advokasi jika terjadi sengketa pelik antara para pihak serta meminta pertanggung jwaban PPTKIS sebagai penyalur dalam bentuk penuntutan kontrak kepada media jasa.

3)      Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)/Perwakilan Pemerintah di Luar Negeri
Merupakan perwakilan Negara di luar negeri dalam hal melindungi kepentingan warga Negaranya dalam pemenuhan hak yang ditanggung oleh Negara. Tindakan Preventif dari KBRI adalah dengan melaksanakan pendataan utnuk setiap KBRI yang masuk ke dalam wilayah Negara tujuan, sehingga dapat dilakukan pemantaun secara berkala terhadap Negara tujuan. Sedangkan untuk tindakan represifnya adalah melakukan mediasi, serta advokasi yang bekerjasama dengan BNP2TKI dan PPTKIS. Dalam hal pendanaan advokasi serta mediasi, KBRI meminta klaim atas nama TKI dalam hal pencairan dananya.

4)      Perusahaan Pengerah TKI Swasta (PPTKIS)
Merupakan penyalur jasa TKI yang betanggung jawab secara mandiri dengan sistemnya sendiri berdasarkan pengawasan pemerintah untuk melindungi TKI yang dia kirimkan. Tindakan preventif yang dilaksanakan PPTKIS sangat banyak, mulai dari memastikan kontrak yang diterima TKI aplikatif serta sesuai dengan standard upah berdasar MoU atau berdasar keputusan menteri, dan sesuai menurut hukum, kemudian memastikan seluruh administrasi terkait asuransi penjamin upah TKI telah dilakukan. Kemudian secara berkala melakukan kontak dengan TKI atau media jasa terkait pemberian upah TKI tersebut. Tindakan represifnya adalah, melaporkan kepada BNP2TKI dan turut serta dalam proses mediasi maupun advokasi jika terjadi sengketa. Jika berakhir pelik, maka PPTKIS bertanggung jawab untuk membantu pencairan premi atas upah dengan menyertakan syarat-syarat yang dibutuhkan.

5)      Konsorsium asuransi TKI
Konsorsium Asuransi TKI adalah suatu perusahaan asuransi baik komulatif mapun individual yang ditunjukm pemerintah berdasarkan asas transparansi dan akuntabel. TIndakan preventif yang dilakukan adalah dengan menerima uang premi dari TKI yang kemudian dikembangkan untuk mendapatkan modal, membuat dengan persetujuan menteri prosedur pembayaran premi maoupun klaim. Sedangkan tindakan represifnya asalah menyediakan dana klaim apapun yang terjadi kepada TKI yang mengajukan klaim dengan telah memenuhi semua persyaratan yang ada.

b.      Sistem yang tidak dapat dipaksakan oleh Negara
Sistem ini utamanya berusaha mengikat pihak-pihak di luar naungan Negara yang masih memiliki hubungan hukum dengan TKI sehingga terciptanya perlindungan terhadap TKI. System ini mengamanatkan PPTKIS untuk selalu memantau TKI dengan perantara KBRI serta media jasa mereka di luar negeri. Selain itu, menggunakan KBRI sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pemantauan terhadap pemberian upah TKI.
4.      Solusi Permasalahan Penempatan TKI
   Solusi yang dapat ditawarkan dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:
a.             Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PPTKIS dan juga pihak duta besar RI  secara periodik  agar dapat lebih melindungi dan mengawasi para TKI. Sehingga hal ini akan bisa  menimalisir hal hal yang  dapat merugikan TKI seperti halnya penipuan terhadap TKI , kepastian pekerjaan yang didapatkna sesuai dengan kontrak yang berlaku.
b.            Perlu adanya penertiban dan pengawasan PPTKIS yang dillakukan oleh BNP2TKI terhadap perilaku penipuan terhadap para TKI.
c.             Agar tidak terjadi pungutan tambahan liar yang dilakukan oleh oknum tertentu maka  perlu adanya untuk Membuat sistematika administrasi yang efektif,efisien dan implementatif oleh pemerintah.
d.            Pemerintah harus siap untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap siaapun para pihak yang telah melanggarnya.
e.             Pelu adanya  jaminan kompensasi para TKI. Bagi mereka para TKI yang pulang di indonesia dalam keadaan yang tidak baik, baik itu cacat, sakit ataupun meninggal.
f.             Adanya jaminan perlindungan hukum kepada para  TKI yang telah dirugikan oleh pihak majikan atau pihak lain.
5.      Solusi Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja
a.      Adanya Jaminan Kepastian Kontrak dan Sosialisasi Mekanisme Klaim Asuransi
Salah satu penyebab hak-hak yang sering dilanggar oleh oknum yang bertindak sewenang-wenang ialah karena tidak adanya jaminan kepastian kontrak. Dalam hal ini, TKI seharusnya ditekankan atas kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dalam kontrak di samping diberi pengetahuan juga atas hak-hak atau fasilitas yang akan mereka dapatkan ketika sedang dalam masa bekerja.
Dengan adanya kesempatan bagi para TKI untuk mengetahui adanya jaminan atas kontrak yang akan mereka lalui, maka para TKI tersebut akan merasa memiliki tanggung jawab yang mesti dijalankan dengan baik. Dengan begitu, sangat penting adanya sosialisasi atau pemberitahuan akan informasi mengenai jaminan kepastian kontrak ini terutama dalam pembekalan para TKI selama masa karantina oleh PJTKI. 
Selain itu, jika TKI telah diberi bekal pengetahuan akan hak-hak, kewajiban dan konsekuensi yang mereka dapatkan ketika mengalami PHK ditempat kerja, maka TKI tersebut akan mengerti akan kompensasi yang dapat mereka tuntut dari para majikan atau atasan tempat mereka bekerja. Demikian pula halnya dari pihak perusahaan penyalur jasa TKI yang bertanggung jawab atas pemberangkatan dan kehidupan TKI selama di luar negeri. Perusahaan tersebut harus siap mencairkan dana yang merupakan kompensasi atau hak dari para TKI tersebut, baik berupa dana asuransi atau dana yang telah disepakati antara perusahaan dengan TKI sebelum pemberangkatan berlangsung. Maka TKI tidak perlu repot dalam menuntut klaim atas dana tersebut, karena prosesnya akan panjang dan memberatkan para TKI yang telah kehilangkan pekerjaan. Jadi, para perusahaan penyalur seharusnya dengan kesadaran sendiri dan tanpa menunggu klaim dari pihak TKI telah siap mengeluarkan dana yang sesuai dengan yang mesti diterima oleh para TKI yang telah di PHK. Dengan demikian, PHK yang menimpa TKI tidak akan berdampak negatif terhadap kelanjutan kehidupan TKI tersebut dan TKI tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan kompensasi-kompensasi yang mereka dapatkan.

b.      Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PPTKIS dan juga pihak duta besar RI  secara periodik  agar dapat lebih melindungi dan mengawasi para TKI yang di PHK
PHK tidak boleh terjadi secara sepihak tanpa adanya kejelasan yang diberikan kepada TKI. Seharusnya setiap PHK yang dijatuhkan kepada TKI, memiliki alasan atau latar belakang yang masuk akal sehingga para TKI bisa membela dan mempersiapkan diri ketika PHK tersebut dijatuhkan. Demikian pula pemberitahuan PHK sepihak yang dilakukan oleh majikan para TKI, harus menghubungi dan mengklarifikasi masalah tersebut kepada para penyelenggara atau pengirim TKI dalam hal ini juga harus berintegrasi dengan pihak perwakilan pemerintah di negara penempatan sehingga pihak-pihak yang terkait dalam pemberangkatan dan pengadaan TKI juga dapat mengoreksi kekurangan-kekurangan yang menyebabkan terjadinya PHK terseut disamping mencegah terjadinya hal yang lebih buruk yang dapat menimpa TKI tersebut.
Seharusnya kontrak antara pengguna jasa dengan TKI yang telah disepakati bersama berjalan sesuai dengan isi kontrak tersebut. TKI yang telah dijanjikan akan berangkat pada waktu dan cara yang telah ditentukan mesti mendapatkan kepastian sesuai dengan isi kontrak yang telah disetujui bersama. Adapun jika pembatalan pemberangkatan itu harus terjadi, maka pemberitahuan akan informasi tersebut mesti disampaikan jauh-jauh hari kepada TKI.
c.       Adanya jaminan klaim asuransi bagi TKI yang telah memenuhi semua persyaratan dan jaminan perlindungan hukum kepada para  TKI yang telah dirugikan oleh pihak majikan atau pihak lain.
Jika birokrasi berjalan lancar dan tidak ada kesalahpahaman antara perusahaan pemberangkatan, calon majikan dan penyedia jasa TKI, seharusnya tidak secara sepihak membatalkan keberangkatan TKI. Adapun ketika pemberangkatan yang sedianya akan dilakukan oleh seorang TKI kemudian dibatalkan secara tiba-tiba, maka pihak yang bertanggung jawab (dalam hal ini lebih dibebankan kepada PJTKI) harus berbicara secara langsung kepada TKI dan menyampaikan alasan adanya pembatalan pemberangkatan yang disertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima oleh TKI tersebut karena tidak jadi berangkat. Seharusnya jika terjadi pembatalan pemberangkatan yang benar-benar di luar kesalahan dari TKI itu sendiri, maka TKI berhak menerima kompensasi atas hal tersebut. Maka dalam hal ini, pentingnya asuransi yang disediakan oleh pemerintah dapat mengurangi beban para TKI yang sudah siap berangkat, namun ternyata terjadi pembatalan.
Moratorium yang menjadi kebijakan pemerintah hendaknya tidak memberatkan para TKI yang memang mendapatkan hak untuk berangkat luar negeri untuk bekerja. Mengingat bahwa dalam negeri pun belum siap mengadakan lapangan kerja yang sesuai dengan jumlah angkatan kerja yang ada. Moratorium tidak perlu diadakan jika para TKI telah mendapatkan pengawasan yang cukup dari perwakilan pemerintah yang ada di luar negeri tempat mereka bekerja. Para pengawas tersebut tentu harus menguasai isi kontrak yang sedang dijalankan oleh TKI tersebut agar mampu mengidentifikasi hal-hal yang diluar kontrak untuk tidak dikerjakan oleh para TKI.  Sehingga pemerintah tidak perlu menerapkan kebijakan moratorium yang akan merugikan sejumlah TKI yang telah siap untuk bekerja di luar negeri. Namun alangkah lebih baik jika pemerintah lebih bertindak tegas dalam pengawasan atau kontrol kinerja dari TKI tersebut ketika meraka telah ditempatkan di Negara penerima. Sehingga penganiayaan atau kekerasan yang terjadi dapat diidentifikasi oleh pemerintah dan pemerintah dapat melayangkan gugatan atas nama TKI terhadap pelaku penganiayaan atau kekerasan tersebut.
Dengan begitu, jumlah penganiayaan atau kekerasan dapat berkurang karena adanya ketegasan dari pemerintah untuk menindaklanjuti setiap tindakan yang menyimpang yang ditujukan kepada TKI. Hal itu lebih baik daripada mengadakan moratorium yang dapat menyebabkan membengakaknya angka pengangguran di Indinesia di samping beban pemerintah akan bertambah akibat berkurangnya penghasil utama devisa yang tak lain adalah TKI itu sendiri.
Seharusnya PHK terhadap TKI tidak perlu terjadi jika semua pihak yang terkait berkomitmen untuk memajukan kesejahteraan para TKI baik ketika mereka masih berada di dalam negeri (dalam karantina) maupun ketika berada di Negara tempat mereka bekerja.

BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

Dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI perlu diperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan yang berada di atas undang-undang yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan yang setara dengan undang-undang, yang memiliki hubungan dengan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI. Dengan menganalisis hubungan tersebut, dapat dirancang pasal-pasal di dalam RUU Jaminan Sosial TKI yang dipengaruhi oleh atau mempengaruhi peraturan perundang-undangan lainnya yang setara. Selain itu, dalam hal diperlukan pengecualian tertentu, dapat digunakan asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti hukum yang mengatur hal khusus harus didahulukan berlakunya daripada hukum yang mengatur hal umum. Asas ini hanya dapat diberlakukan apabila hukum yang mengatur hal umum dan hukum yang mengatur hal khusus memiliki peringkat yang sederajat, yaitu dalam hal ini berbentuk undang-undang. Hubungan antara materi muatan Rancangan Undang-undang Jaminan Sosial TKI dengan berbagai peraturan perundang-undangan dapat digambarkan dalam matriks sebagai berikut:

A.          Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945[27]
Sebagaimana diketahui bahwa dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 dicantumkan tujuan konstitusional Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah                    “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan landasan hukum normatif tersebut secara tegas telah mengamanatkan upaya perlindungan dan jaminan sosial, terutama yang dikaitkan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia bagi para TKI. Demi tercapainya suatu landasan melindungi segenap bangsa indonesia yang diikuti segenap bangsa indonesia dan memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia maka diperlukannya suatu jaminan sosial yang dapat memberikan rasa keadian bagi para Tenaga Kerja Indonesia yang merupakan masyarakat indonesia yang berjuang untuk mendapatkan kesejahteraan , dan mendapatkan jaminan perlindungan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Karena pada dasarnya TKI mempunyai hak untuk mendapatkan Jaminan Sosial yang merupakan hak setiap warga negara juga diamanatkan dalam UUD 1945  yaitu :
·         pasal 27 Ayat 2 menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
·         pasal 27 ayat 2 : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
·         pasal 28 D ayat 2 : “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
·         pasal 28 E ayat 1 : “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

Dari keterangan beberapa pasal dalam UUD 1945 sudah tepat lah bagaimana negara sangat mendukung dan, menegaskan bahwa perlindungan dan jaminan sosial TKI sangat terkait erat dengan masalah nya dengan ketidak mampuan pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan. Dalam konteks  ini juga selanjutnya akan berdampak pula pada para TKI yang ingin mendapatkan kehidupan yang layak untuk mendapatkan kesejahteraan dengan mencari pekerjaan di luar negeri. Hal ini  akan menjadi permasalahan untuk masalah perlindungan hak hak mereka di luar negeri. Maka dari itu untuk mengatasi hal tersebut perlu untuk dibuatnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Sehingga hak hak mereka akan terjamin dan terlindungi pada  masa Pra penempatan, penempatan maupun purna penempatan. Tujuan yang lainnya adalah untuk mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan dan jaminan sosial kepada TKI yang lebih menyeluruh kepada setiap warga negaranya, maka dari itu di perlukannya untuk membuat RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia (JAMSOS TKI) yang memberikan efisiensi dan efektivitas yang lebih optimal. 

B.           Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri[28]
Di dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan TKI di luar negeri terdapat pada  :
1.            Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang berbunyi: “Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan     mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Dalam melaksanakan tugas, Pemerintah dapat melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.            Pasal 6 yang berbunyi : “Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri “
3.            Pasal 7 yang berbunyi : “Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas  Pemerintah berkewajiban:
a.        menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang berangkat melalui penempatan TKI, maupun yang berangkat secara mandiri;
b.        mengawasi pelaksanaan penempatan calon TKI;
c.        membentuk dan mengembangkan sistem informasi penempatan       calon TKI di       luar negeri;
d.        melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan; dan
e.        memberikan perlindungan kepada TKI selama masa sebelum pemberangkatan,   masa penempatan, dan masa purna penempatan.
4.            Pasal 77 yang berbunyi :
a.             Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b.            Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan purna penempatan.
Berdasarkan keterangan pasal di atas disebutkan pasal tentang perlindungan TKI dan hak haknya yang harus di peroleh maka ini merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk melindungi segenap masyarakatnya termasuk juga para TKI. Karena ini adalah tanggung jawab pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada para TKI maka hal ini harus didukung dengan pembuatan RUU Jaminan Sosial TKI . Sehingga TKI akan dapat  terjamin hak haknya pada  masa pra penempatan, saat penempatan maupun purna penempatan.
Di dalam Bab VI mengenai perlindungan  TKI, masih sedikit sekali pasal yang mengatur perlindungan terhadap TKI di luar negeri. Hanya delapan pasal saja yang mengatur tentang hal tersebut. Karena itu perlu dibentuknya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia demi untuk terjaminnya hak hak termasuk dalam hal perlindungan TKI. Sehingga dalam  hal ini dapat meminimalisir kerugian yang akan di dapatkan oleh TKI setelah terbentuknya UU mengenai Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.

C.          Undang – Undang Nomor 3 tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja[29]
Di dalam Undang Undang Nomor 3 tahun 1992 sebelumnya sudah mengatur tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Melihat dari undang undang tersebut yang ruang lingkupnya lebih didasarkan pada pengaturan jaminan sosial tenaga kerja nasional, maka dari itu sebagai bentuk perlindungan jaminan sosial, para Tenaga kerja Indonesia pun perlu dan dan memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial. Hal ini juga mengacu terhadap undang undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1992 diantaranya :
1.            Pasal 3
a.                Untuk memberikan perlindungan kepada tenaga kerja diselenggarakan program jaminan social tenaga kerja yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.
b.               Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan sosial tenaga kerja.
2.            Pasal 4
Program jaminan social tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.

Selain itu hal ini juga mengacu terhadap Penjelasan Umum terhadap Undnag Undang no 3 tahun 1992 yaitu : “Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Melihat dari penjelasan umum dan pasal tersebut di tulisakan bahwa setiap tenaga kerja berhak memiliki atas Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan sebagai bentuk perlindungan terhadap Tenaga Kerja, maka dari itu  perlu untuk dibuatkannya suatu bentuk perlindungan terhadap TKI yang berua Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia hal ini perlu karena menimbang dan menitik beratkan pada konteks ruang lingkup terhadap Tenaga Kerja Indonesia yang memiliki status kedudukan wilayah yang berbeda dengan tenaga kerja nasional, karena status kedudukan wilayah Tenaga Kerja Indonesia berada di luar wilayah NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia ) maka perlu untuk dibuatkan suatu bentuk perlindungan dan jaminan terhadap Tenaga Kerja Indonesia karena melihat para TKI butuh suatu jaminan yang bentuknya langsung diatur oleh pemerinah Republik Indonesia. Sehingga mereka mendapat status hukum yang jelas tentang suatu bentuk penjaminan  yang diberikan oleh pemerintah kepada Tenaga Kerja Indonesia.

D.          Undang – Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan[30]
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.[31] Begitu pula Tenaga Kerja Indonesia yang juga memiliki hak untuk mendapatkan suatu pekerjaan yang layak. Hal ini di dapatkan para Tenaga Kerja Indonesia memutuskan untuk pergi bekerja di luar negeri karena mereka merasa bahwa pekerjaan yang ada di dalam negeri di rasa belum memenuhi untuk kebutuhan hidup mereka. Meskipun begitu TKI mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya untuk mendapatkan kesejahtearaan yang layak. Hal ini juga di jelaskan dalam pasal 31 Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu  “Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.”
Di dalam pasal tersebut jelas menyebutkan bahwa TKI memiliki dan diberikan hak untuk memilih dan mendapatkan pekerjaan dimanapun mereka inginkan termasuk di luar negeri. Maka dari itu demi mendukungnya hal tersebut perlu diadakannya suatu perlindungan yang layak terhadap para TKI demi membantu memenuhi kebutuhan kesejahteraan mereka. Termasuk dengan dibuatkannya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia yang bertujuan untuk melindungi seluruh hak dan kewajiban TKI ketika masa pra penempatan, penematan, maupun purna penempatan. Sehingga para TKI kan terjamin seluruh hak haknya.


BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A.       Landasan Filosofis
Pada dasarnya,  negara bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak rakyatnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori kontrak sosial yang dinyatakan dalam pemikiran J.J. Rousseou. Teori kontrak sosial menurutnya secara luas dapat diartikan bahwa, masyarakat sepakat untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah, dan mengakui kekuasaan yang dimilikinya dengan syarat dipenuhinya hak-hak masyarakat sebagai suatu hubungan timbal balik atas hal tersebut. Dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi hak-hak masyarakat tersebut, pemerintah memiliki tiga kewajiban utama, yaitu untuk memenuhi hak-hak tersebut, melindunginya, dan menghargai keberadaan hak-hak tersebut.Salah satu hak yang paling penting adalah hak untuk mendapatkan kesejahteraan. Dalam hal ini, negara cenderung harus bersifat aktif, artinya negara harus sekuat mungkin berusaha untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut.
Indonesia adalah sebuah negara yang secara tersirat mengakui teori kontrak sosial, hal ini didasarkan dengan adanya pemilu bahwa secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah bersepakat untuk memilih penguasa, yang kemudian untuk dituruti sehingga mereka dapat diberikan hak-haknya.
Hal tersebut kemudian diperjelas dalam tataran ideologis negara yaitu pancasila, bahwa Indonesia dalam pasal kelima memiliki cita-cita untuk mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan adanya tataran ideologis tersebut, kendati pancasila bersifat hirarki komulatif pada sila yang lain, tujuan negara dapat secara jelas dipahami substansinya adalah menciptakan suatu tataran yang adil menurut nilai sosial.
Keabstrakan nilai dalam pancasila tersebut kemudian berusaha dilakukan konkritisasi dalam norma konstitusi. Konstitusi sendiri merupakan sumber hukum utama, sehingga setiap kegiatan negara dalam melaksanakan kewajibannya, secara yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan dengan perbandingan konstitusi.Konstitusi negara Indonesia terdiri dari dua bagian, yang pertama pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan yang kedua adalah batang tubuh dari Undang-Undang Dasar tersebut.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945terdapat sebuah alinea yang mencantumkan konkritisasi cita-cita bangsa yang berbunyi,
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….”
Akhirnya, menjadi jelaslah secara yuridis, bahwa salah satu fokus bangsa Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum yang artinya memajukan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu instrumen memajukan kesejahteraan umum dewasa ini adalah dengan bekerja. Karenadalam bekerja hasil dari pekerjaan dapat kemudian ditukarkan atau untuk membeli kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Ketika kebutuhan terpenuhi, maka disitulah kesejahteraan ada. Dalam perkembangannya, bekerja meliputi dua jenis yaitu bekerja untuk mengekstrak alam dan yang kedua bekerja untuk orang lain. Dalam zaman ini, bekerja untuk orang lain menjadi lebih umum secara kuantitas yang dikarenakan semakin sempitnya geospasial untuk mengekstrak alam.
            Beberapa hal tersebut kemudian menghasilkan konsekuensi tambahan kepada negara, bahwa negara juga memiliki tanggung jawab pula untuk memenuhi hak masyarakatnya atas pekerjaan yang layak. Namun dalam praktik empiris, negara Indonesia tidak mampu untuk memenuhi hak atas pekerjaan yang layak tersebut. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan pendorong, masyarakat berinisiatif untuk bekerja di luar teritorial negara Indonesia yang selanjutnya disebut negara tujuan.
            Hal ini kemudian menjadi rumit, karena sulitnya memberikan perlindungan kepada masyarakat yang bekerja di negara tujuan.Kesulitan itu terjadi karena pemerintah tidak dapat memaksakan produk hukumnya pada negara lain berdasar pada customary law dalam hukum internasional. Padahal dalam pembukaan Undnag-Undang Dasar 1945 alinea keempat juga dirumuskan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam melindungi masyarakatnya yang tercantum dalam klausa “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia”.
            Dengan adanya kewajiban tersebut, namun sulit diterapkan dalam tataran empiris dalam pembahsan ini, pemerintah kemudian diwajibkan untuk dapat membangun suatu sistem baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam instrumen administrasi negara yang efisien dan efektif serta mampu diaplikasikan sehingga tujuan negara dalam hal ini dapat terlaksana, yaitu mampu melindungi masyarakat Indonesia yang bekerja di negara tujuan sehingga mendapatkan haknya yaitu sejahtera namun tetap tidak meninggalkan aspek perlindungan terhadap warga negaranya tersebut.
B.        Landasan Yuridis
Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesia merupakan negara hukum, maka hal ini menghadirkan konsekuensi bahwa negara Indonesia dalam segala aspek kenegaraan mengharuskan adanya suatu tataran hukum sebagai dasar pelaksanannya.Berkaitan dengan hal itu, maka perlu ada konkritisasi nilai dari Pancasila terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang berujung pada harus dipenuhinya atas pekerjaan yang layak.
Konkritisasi nilai yang dimaksud, adalah untuk terbentuknya suatu norma hukum, sehingga persepsi antara masyarakat dan pemerintah dapat sepemahaman yang akan mempermudah penilaian apakah pemerintah telah melaksanakannya atau belum melaksanakannya. Konkritisasi terkait hal tersebut utamanya mendasar pada konstitusi pula, tepatnya pada bagian batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 27 ayat (2), 28 D ayat (2), serta pasal 28 E ayat (1), yang berturut-turut berbunyi,
·         Pasal 27 ayat (2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagikemanusiaan.
·         Pasal 28 D ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
·         Pasal 28 E ayat (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Dengan adanya hak untuk rakyat yang dituliskan pada kontitusi selaku sumber hukum dalam negara Indonesia tersebut, maka menimbulkan kewajiban yang harus dipangku oleh negara.
Dalam praktiknya, hasil konkrittisasi nilai tersebut dalam bentuk norma hukum belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hal tersebut, menciptakan perlunya dibentuk suatu peraturan organis sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 sebagai peraturan yang bersifat regelling, maupun tindakan administrasi negara lain yang bersifat beschikking. Saat ini, pengaturan organis mengenai ketenagakerjaan sebagai instrumen mencapai kesejahteraan telah dibuat dalam tataran regelling yaitu undang-undang nomor  13 tahun 2003, yang kemudian untuk perlindungan sosial tenaga kerja sendiri diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 1992. Kedua instrumen organis tersebut, senyatanya belum cukup memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja Indonesia di negara tujuan. Selain kurang spesifik terhadap tenaga kerja Indonesia, system tersebut tidak dapat diaplikasikan di negara tujuan. Hal inilah yang kemudian mendasari terbentuknya undang-undang nomor 39 Tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang diharapkan mampu menutupi kekosongan hukum.
Namun, tidak dapat dipungkiri, undang-undnag tersebut senyatanya lebih fokus mengurusi dalam bidang penempatan tenaga kerja Indonesia saja, sedangkan untuk perlindungan hanya mencakup delapan pasal saja. Walaupun tidak dipandang dalam segi kuantitatif, delapan pasal tersebut ternyatakurang dapat memberikan perlindungan yang konkrit. Hal tersebut terjadi akibat kewenangan yang diberikan pada pemerintah kemudian menjadi atributif bebas. Artinya pemerintah mendapatkan kewenangan dari undang-undang namun untuk tataran pelaksanaannya tergantung ketentuan pemegang kewenangan itu sendiri. Hal ini dapat menjadi masalah, karena kewenangan yang demikian rawan disalahgunakan, sedangkan dasar pengujiannya terhadap tindakan administratif tersebut menjadi cukup abstrak karena didasarkan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

C.       Landasan Sosiologis
Sudah menjadi suatu kewajaran, bahwa dengan hadirnya suatu undang-undang dalam suatu negara akan menimbulkan dampak sosiologis dalam penerapannya. Terutama bagi negara yang berusaha menjalankan supremacy of law, misalnya negara Indonesia. Dalam kajian tentang tenaga kerja, Indonesia telah membuat berbagai instrumen hukum, misalnya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, uu nomor 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja, serta lebih spesifik untuk tenaga kerja indonesia dibentuklah undang-undang nomor 39 tahun 2004.
Dalam kajian mengenai instrumen hukum tenaga kerja indonesia, difokuskan pada undang-undang nomor 39 tahun 2004. Padahal, menurut kajian yuridis, undang-undang tersebut tidak mampu untuk melindungi hak atas pekerjaan jika diterapkan secara langsung sehingga membutuhkan aturan teknis untuk melakukannya, sebut saja Peraturan Menteri Nomor PER.07/MEN/V/2010 tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Perlu diketahui bahwa asuransi sendiri adalah salah satu dari solusi perlindungan sosial bagi tenaga kerja Indonesia sehingga diusahakan dapat tetap terjamin haknya.
Dampak sosiologis dari peraturan menteri tersebut menjadikan calon tenaga kerja Indonesia harus membayar paling sedikit Rp. 400.000,00 untuk dapat diberangkatkan sebagai tenaga kerja Indonesia. Belum lagi biaya lain-lain yang membuat seakan-akan, untuk bekerja, calon tenaga kerja Indonesia diwajibkan untuk membayar sejumlah uang terlebih dahulu.
Permasalahan yang muncul dari dijalankannya undang-undang tersebut tidak hanya dalam masalah asuransi saja. Katakanlah dalam bidang keselamatan kerja, dalam undang-undang tersebut hanya memberikan perlindungan secara represif yaitu penggantirugian dengan asuransi. Walaupun Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia juga telah diamanatkan untuk dibentuk dengan peraturan presiden, namun hal tersebut dirasakan kurang efektif. Hal tersebut dibuktikan harus dibentuknya satgas oleh presiden untuk menangani kasus
Selain masalah keselamatan, masalah upah menjadi kajian yang cukup panas dalam tataran sosial. Jelas saja, dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 tidak dicantumkan satupun klausa tentang hal ini. Selama ini, upah didasarkan pada MoU bilateral antara Indonesia dengan negara tujuan atau dengan penentuan harga pasar. Lebih lanjut walaupun telah terikat dalam perjanjian kerja, perlindungan dalam hal ini belum penuh dapat dirasakan. Karena dalam fakta empiris, tetap saja masalah upah ini terus terjadi, terkait tidak diberinya upah, maupun tidak diberinya upah sesuai perjanjian kerja.
Disamping itu, terdapat pula masalah tentang kesehatan. Apapun keadaannya, kesehatanadalah hal yang terpenting dalam kehidupan manusia. Terutama bagi tenaga kerja Indonesia, yang bekerja di negara asing tanpa sanak saudara, akan sangat kesulitan jika sampai dinyatakan sakit. Undang-undang nomor 39 tahun 2004 hanya mengatur pemberian asuransi dalam masalah ini, padahal tersbut jelas tidak efektif jika klaim harus diajukan di Indonesia. Sehingga dibutuhkannya peraturan yang lebih efektif dan aplikatif terhadap masalah ini.
Kegiatan administrasi yang bermasalah pun tidak dicover dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 ini. Misalkan ada oknum yang melakukan ‘pungutan liar’, terdapatnya calo yang semakin memperbanyak biaya yang harus dibayarkan oleh calon tenaga kerja indonesia. Hal ini kemudian menjadi semakin tidak rasional, ketika seseorang bekerja untuk mendapatkan penghasilan, kemudian malah diwajibkan untuk disuruh membayar biaya yang sangat besar bagi orang yang awalnya tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada menjadi tenaga kerja Indonesia.
Masalah lainnya adalah tentang pemutusan hubungan kerja oleh pengguna jasa tenaga kerja Indonesia, hal ini juga hanya ditanggapi secara represif dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 yaitu dengan menggunakan asuransi. Namun bukan itu yang diharapkan dari tenaga kerja Indonesia, karena calon tenaga kerja Indonesia bukan hanya menginginkan uang secara praktis yang kemudian dapat segera habis. Namun lebih kearah memiliki pekerjaan, sehingga keterjaminan kesejahteraan dapat terjadi secara kontinyu.
            Dan masalah yang terpenting adalah jika tenaga kerja Indonesia terkena kasus hukum di negara tujuan, baik karena kesalahannya sendiri maupun bukan. Sudah menjadi suatu kew ajaran bahwa KBRI sebagai wakil pemerintahan di negara tujuan untuk melindungi seluruh warga negara Indonesia di negara tersebut. Namun, munculnya undang-undang nomor 39 tahun 2004 mengharuskan dibentuknya badan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang harusnya turut mengambil peran dalam hal perlindungan hukum. Apalagi, dalam tataran empiris, Thailand misalnya, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia sudah jelas tidak memiliki KBRI. Walaupun ada perwakilan pemerintahan di sana, namun hal tersebut tidak menjadi alasan pembenar bahwa  badan penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia tetap harus bertanggung jawab atas perlindungan hukum atas tenaga kerja Indonesia ini.



BAB V

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

 MUATAN UNDANG-UNDANG


A.    Ketentuan Umum
            Rancangan undang-undang ini akan memuat beberapa istilah, akronim, maupun singkatan yang akan dicantumkan dalam ketentuan umum meliputi :
1.      Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah.
2.      Calon Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
3.      Jaminan Sosial Tenaga KerjaIndonesiaJaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh tenaga kerja indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
4.      Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta yang selanjutnya disebut PPTKIS adalah badan usaha  swasta yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk melakukan penempatan Tenaga Kerja Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
5.      Mitra Usaha adalah instansi atau badan usaha berbentuk badan hukum di negara tujuan yang bertanggung jawab menempatkan TKI pada Pengguna.
6.      Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah, Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan TKI.
7.      Pemerintah adalah perangkat  Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden, Menteri, BNP2TKI, BP3TKI dan perwakilan Republik Indonesia di Negara tujuan.
8.      Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
9.      Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut BNP2TKI merupakan lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang berkedudukan di Ibukota Negara.
10.  Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut BP3TKI merupakan Unit pelaksana teknis BNP2TKI yang bertugas memberikan kemudahan pelayanan dalam proses penempatan dan penyiapan seluruh dokumen penempatan TKI.
11.  Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia  adalah perwakilan pemerintah di Negara tujuan meliputi KBRI atau perwakilan lain diluar negeri yang dibentuk oleh pemerintah untuk melindungi warga Negara Indonesia.
12.  Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengguna jasa kepada tenaga kerja Indonesia untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang ditetapkan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengguna jasa dengan tenaga kerja Indonesia.
13.  Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan Mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara tujuan.
14.  Perjanjian Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI   swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
15.  Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna jasa yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
16.  Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar negeri.
17.  Kecelakaan kerjaadalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
18.  Cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
19.  Asuransi adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran TKI guna memberikan jaminan sosial bagi TKI.
20.  Konsorsium asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi sebagai satu  kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota, untuk menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian konsorsium.
21.  Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang akan menjadi pelaksana penempatan TKI swasta.
Sedangkan asas yang digunakan dalam Rancangan Undang Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah :
1.      Asas Kemanusiaan.
2.      Asas Keadilan.
3.      Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum.
4.      Asas Kepastian Hukum.
5.      Asas Perlindungan.
6.      Asas Keterbukaan.
7.      Asas Efisiensi.
8.      Asas Akuntabilitas.

Tujuan dari diadakannya Jaminan sosial TKI adalah untuk melindungi calon TKI atau TKI untuk memperoleh hak-hakya dalam masa pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan.
B.     Tugas, Tanggung Jawab, dan Kewajiban Pemangku Kepentingan
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab dalam rancangan undang-undang yang dibuat meliputi tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari pihak pemerintah maupun pihak swasta atau non pemerintah dalam bentuk PPTKI dan Konsorsium Asuransi
1.      Pemerintah
a.       Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi jaminan sosial Tenaga Kerja Indonesia.
b.      Dalam melaksanakan tugas, perangkat Pemerintah saling berkoordinasi dalam pembagian tugas sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
c.       Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan atas jaminan sosial  TKI.
d.      Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, pemerintah memiliki kewajiban:
1)      menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI, baik yang diberangkatkan melalui PPTKIS, maupun yang berangkat secara mandiri.
2)      mengawasi pelaksanaan jaminan sosial TKI.
3)      menciptakan sistem jaminan sosial tki yang efektif dan efisien serta implementatif menurut peraturan perundang-undangan.
4)      membentuk dan mengembangkan sistem pengaduan terpadu  bagi TKI di luar negeri.
5)      melakukan upaya diplomatik untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan jaminan sosial TKI secara optimal di negara tujuan; dan.
6)      memberikan jaminan sosial kepada TKI dalam masa pra penempatan, masa  penempatan, dan masa purna penempatan.

2.      Non Pemerintah

Tugas, wewenang, dan tanggung jawab non pemerintah dibebankan pada PPTKIS dan Konsursium Asuransi.
a.      PPTKIS
1)      PPTKIS  yang mendapatkan izin tertulis berupa SIPPTKI dari menteri memiliki tugas untuk memberikan jaminan sosial kepada tenaga kerja Indonesia.
2)      PPTKIS bertanggung jawab atas jaminan sosial TKI yang ditempatkan oleh PPTKIS tersebut.
3)      Dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, PPTKIS berkewajiban menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI yangditempatkan oleh PPTKIS tersebut dalam masa pra penempatan, masa  penempatan, dan masa purna penempatan.
4)      PPTKIS berkewajiban mendaftarkan TKI dalam program jaminan asuransi TKI.
5)      PPTKIS bertanggungjawab untuk melaporkan kondisi TKI kepada BNP2TKI secara periodik.
6)      PPTKIS berkewajiban melakukan komunikasi dengan mitra usaha diluar negeri terkait kondisi TKI di negara tujuan.

b.      Konsorsium Asuransi TKI

1)      Konsorsium asuransi TKI yang ditunjuk oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan memiliki tugas untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam penyelesaian permasalahan jaminan sosial TKI masa pra penempatan, penempatan dan purna penempatan.
2)      Konsorsium asuransi  bertanggung jawab atas jaminan sosial TKI dalam program asuransi jaminan sosial TKI.
3)      Konsorsium asuransi TKI wajib mengadakan kerjasama dengan pihak rumah sakit di negara tujuan dalam melaksanakan jaminan sosial TKI.
           
C.       Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Indonesia
1.         Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk :
a.          bekerja di luar negeri,
b.         memperoleh jaminan sosial yang diberikan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan,
c.          memperoleh informasi yang benar mengenai sistem jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah,
d.         memperoleh informasi yang benar mengenai status, perjanjian kerja kerja, upah, asuransi, dan pelatihan yang layak sesuai dengan bidang pekerjaan didalam perjanjian kerja,
e.          memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli, KTKLN dan tanda bukti kepesertaan asuransi,
f.          memperoleh upah sesuai dengan standar upah minimum yang berlaku di negara tujuan atau sesuai dengan perjanjian kerja,
g.         memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri, dan
h.         memperoleh kesempatan yang sama dalam melakukan klaim asuransi atas tidak terpenuhinya jaminan sosial.
2.      Setiap calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :
a.          menaati peraturan perundang-undangan baik di dalam negeri maupun di negara tujuan,
b.         mengikuti asuransi kepada PPTKIS yang telah ditetapkan pemerintah,
c.          menaati dan melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan perjanjian kerja,
d.         membayar biaya jaminan sosial TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
e.          mengikuti prosedur dalam sistem jaminan sosial, dan
f.          memberitahukan atau melaporkan kedatangan, keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara tujuan.

D.       Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia
            Jaminan Sosial tenaga kerja Indonesia diperuntukkan kepada calon TKI yang telah memenuhi persyaratan sebagai TKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan calon TKI/TKI yang telah terdaftar dalam asuransi, yang melingkupi:
1.         Jaminan Keselamatan Kerja
TKI yang berhak menerima jaminan atas keselamatan kerja adalah TKI yang terganggu keselamatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan  yaitu :
a)      TKI yang mengalami penganiayaan,
b)      TKI yang mengalami kekerasan seksual, dan
c)      TKI yang mendapatkan ancaman pidana mati

2.         Jaminan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
TKI yang mengalami gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan berhak menerima jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja.
a.       TKI yang berhak mendapatkan Jaminan Kesehatan kerja meliputi :
1)         TKI yang sakit,
2)         TKI yang mengalami gangguan jiwa, dan
3)         TKI yang mengalami cacat fisik;
b.      TKI yang berhak mendapatkan Jaminan Kecelakaan meliputi :
1)         TKI yang mengalami kecelakaan saat jam kerja,  dan
2)         TKI yang mengalami kecelakaan bukan saat jam kerja.
3.         Jaminan Kematian
a.       Ahli waris TKI yang meninggal dunia berhak atas jaminan kematian.
b.      Ahli waris TKI yang mendapatkan jaminan kematian meliputi :
1)         Keluarga, dan
2)         Pihak-pihak lain yang ditetapkan oleh perundang-undangan sebagai ahli waris.
4.         Jaminan atas Upah yang Layak
a.       TKI yang tidak diberi upah atau diberi upah tetapi tidak sesuai dengan perjanjian kerja berhak menerima jaminan upah yang layak.
b.      TKI yang mendapatkan Jaminan upah yang layak meliputi :
1)         TKI yang bekerja sesuai dengan perjanjian kerja tanpa diberi upah
2)         TKI yang bekerja sesuai dengan perjanjian kerja tidak di beri upah sesuai dengan perjanjian kerja.
5.         Jaminan Penempatan
TKI yang mendapatkan Jaminan Penempatan meliputi :
a.       TKI yang gagal berangkat bukan karena kesalahan calon TKI,
b.      TKI tidak mendapatkan informasi yang benar mengenai status ketenagakerjaannya di negara penerima TKI,
c.       TKI yang kehilangan atas kepemilikan dan penyitaan dokumen kewarganegaraan,
d.      TKI mendapatkan pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah diatur, dan
e.       TKI yang pemulangannya bermasalah.
6.         Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja.
a.       TKI yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan tidak sesuai perjanjian kerja yang terjadi bukan karena berakhirnya masa kerja dalam perjanjian kerja berhak menerima jaminan dalam pemutusan hubungan kerja.
b.      Pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada calon TKI/TKI. dalam hal terjadinya pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh pemerintah.

E.        Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia
Program jaminan sosial TKI diselenggarakan  untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi dan jaminan bantuan hukum.
1.         Program Asuransi TKI
a.      Jenis Program Asuransi TKI meliputi :
1)         Program asuransi TKI jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja
a)         Program asuransi TKI  jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja meliputi jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja saat pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan, dan
b)         Jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja tersebut meliputi risiko sakit dan cacat baik di dalam dan di luar jam kerja.
2)         Program asuransi TKI  jaminan kematian
Program asuransi TKI  jaminan kematian meliputi jaminan kematian saat pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan.


3)         Program asuransi TKI jaminan atas upah yang layak
Program asuransi TKI  jaminan atas Upah yang layak meliputi jaminan atas upah yang layak  sesuai dengan perjanjian kerja dan risiko upah tidak dibayar.
4)         Program asuransi TKI jaminan kepastian penempatan
a)         Program asuransi TKI selama penempatan meliputi pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan.
b)         Jaminan penempatan kerja tersebut meliputi :
·         risiko yang terjadi dalam hal TKI dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain yang tidak sesuai dengan perjanjian penempatan,
·         risiko gagal ditempatkan bukan karena kesalahan TKI,
·         risiko kerugian atas tindakan pihak lain selama perjalanan pulang ke daerah asal, dan
·         TKI yang pemulangannya bermasalah.
5)         Program Asuransi TKI jaminan dalam pemutusan hubungan kerja.
a)         Program asuransi TKI jaminan dalam pemutusan hubungan kerja meliputi pra penempatan,  dan masa penempatan.
b)         Jaminan dalam hal pemutusan hubungan kerja meliputi Pemutusan Hubungan Kerja  secara perseorangan maupun massal sebelum berakhirnya perjanjian kerja.

b.      Jangka Waktu Pertanggungan Asuransi TKI
1)         Jangka waktu pertanggungan asuransi TKI diatur sebagai berikut:
a)         pra penempatan, selama 5 (lima) bulan sejak terdaftar pada konsorsium TKI pada program pra penempatan,
b)         masa penempatan, paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan
c)         Purna penempatan, paling lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya perjanjian kerja yang terakhir atau TKI sampai ke daerah asal.
2)         Dalam hal TKI melakukan perpanjangan perjanjian kerja, maka jangka waktu pertanggungan asuransi TKI sesuai dengan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja.
c.       Klaim dan Kelengkapan Dokumen
Calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah menurut peraturan perundang-undangan mengajukan klaim asuransi kepada konsorsium asuransi TKI. Klaim tersebut diajukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan setelah terjadinya risiko yang dipertanggungkan dalam sistem penjaminan sosial. Jika  pengajuan klaim melewati jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka hak menuntut klaim dinyatakan gugur.
Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan melampirkan persyaratan :
1)         Umum.
a)         surat pengajuan klaim ditandatangani oleh calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah dan bermeterai cukup,
b)         Tanda bukti kepesertaan asuransi asli,
c)         foto copy identitas diri calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah, dan/atau
d)        surat keterangan asli dari ahli waris yang sah diketahui kepala desa/kelurahan domisili ahli waris dalam hal klaim diajukan oleh ahli waris.
2)         Khusus program asuransi jaminan sosial kesehatan dan kecelakaan kerja.
a)         Jika Sakit dan Cacat
·         surat keterangan dari rumah sakit, dan
·         rincian biaya pengobatan dan perawatan dari rumah sakit atau Puskesmas.
b)         Jika Meninggal dunia
·         surat keterangan kematian dari rumah sakit, atau
·         surat keterangan dari Perwakilan R.I. setempat.
c)         Jika Upah tidak dibayar secara layak
·         surat perjanjian kerja asli, dan
·         surat keterangan dari Perwakilan Pemerintah  RI di negara tujuan.
d)        Jika Gagal ditempatkan bukan karena kesalahan calon TKI.
·         surat keterangan dari kepala dinas kabupaten/kota setempat,
·         perjanjian penempatan.
e)         Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara perseorangan maupun secara masal sebelum berakhirnya perjanjian kerja.
·         surat perjanjian kerja,
·         perjanjian penempatan,
·         surat keterangan PHK dari pengguna, dan
·         surat keterangan Perwakilan R.I. di negara tujuan.

2.         Program Perlindungan Hukum
Jenis Program Perlindungan Hukum TKI meliputi :
a.       Program perlindungan hukum terhadap keselamatan kerja
Program perlindungan hukum TKI atas jaminan keselamatan kerja meliputi jaminan keselamatan kerja saat pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan.
b.      Program perlindungan hukum atas upah yang layak
Program perlindungan hukum TKI atas jaminan Upah yang layak, meliputi jaminan atas upah yang layak  sesuai dengan perjanjian kerja dan risiko upah tidak dibayar.
c.       Program perlindungan hukum terhadap kepastian penempatan kerja
Program perlindungan hukum TKI selama penempatan meliputi pra penempatan, masa penempatan dan purna penempatan, yaitu:
1)         TKI yang kehilangan kepemilikan dan penyitaan dokumen kewarganegaraan, dan
2)         TKI yang mendapatkan pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah diatur;
d.      Program perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja.
Program perlindungan hukum TKI dalam pemutusan hubungan kerja secara sepihak baik  perseorangan maupun secara massal sebelum berakhirnya perjanjian kerja, meliputi pra penempatan,  dan masa penempatan.
BNP2TKI yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan wajib memberikan perlindungan bantuan hukum untuk menyelesaikan permasalahan jaminan sosial TKI dalam masa pra penempatan, penempatan dan purna penempatan. Kemudian BNP2TKI dan BP3TKI juga wajib membuat sistem pengawasan terhadap jaminan sosial TKI yang dilakukan secara periodik dan terus menerus untuk mengawasi kondisi TKI di negara tujuan yang ketentuan tentang teknis tata pelaksanaannya diatur dalam peraturan menteri.

F.        Pengawasan

Adapun Pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial calon TKI/TKI dilaksanakan oleh pemerintah. Pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial TKI di luar negeri dilaksanakan oleh Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di negara tujuan dan tata teknis pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial TKI diatur dalam peraturan pemerintah.


BAB VI
PENUTUP

A.          Simpulan

Program jaminan sosial TKI sangat diperlukan dalam perlindungan atas hak-hak dasar yang dimiliki oleh TKI. Permasalahan Jaminan sosial TKI yang seharusnya diberikan  demi menjaga hak-hak dasar warga negara Indonesia yang berada diluar negeri tersebut dikelompokkan menjadi 5 permasalahan pokok meliputi jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, jaminan atas Upah yang layak, jaminan kepastian penempatan dan jaminan dalam pemutusan hubungan kerja.
Jaminan keselamatan kerja TKI yang diberikan oleh negara ialah jaminan bantuan hukum terhadap TKI yang mengalami penganiayaan, kekerasan seksual, dan ancaman hukuman mati. Bantuan hukum tersebut diberikan oleh BNP2TKI sebagai badan perlindungan hukum TKI dan pelaksanaan pelaporan kondisi TKI kepada BNP2TKI dilakukan oleh PPTKIS. Dalam hal jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, TKI diberikan program jaminan asuransi yang dalam pelaksanaan atau klaimnya dibantu oleh PPTKIS kepada konsorsium asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah. Jaminan asuransi kesehatan tersebut meliputi sakit dan cacat, sementara jaminan kecelakaan kerjanya meliputi pada saat jam kerja dan di luar jam kerja.
Program jaminan sosial Jaminan atas Upah yang layak merupakan perlindungan atas hak TKI yang telah dijamin oleh UUD 1945. Program jaminan atas Upah tersebut berikan dalam bentuk program asuransi dan bantuan hukum terhadap TKI yang tidak diberikan upah yang layak sesuai dengan perjanjian kerja maupun tidak diberikan upah sama sekali, sementara dalam jaminan sosial atas kepastian penempatan, Pemerintah juga memberikan dua program yang yaitu program asuransi dan bantuan hukum bagi para TKI yang mengalami ketidaksesuaian bidang kerja yang telah dijanjikan sebelumnya dalam Perjanjian kerja, Penarikan pungutan  tambahan kepada para TKI setelah kepulangan ke negara asal, dan Pemulangan TKI dalam keadaan, cacat atau meninggal.
TKI yang terlibat dalam permasalahan pemutusan hubungan sepihak yang meliputi pemutusan hubungan sepihak tanpa alasan yang jelas, moratorium pemerintah yang memberhentikan sementara para TKI, dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak oleh para majikan oleh karena itu, Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PJTKI dan juga pihak perwakilan pemerintah RI di negara tujuan secara periodik agar dapat lebih melindungi dan mengawasi para TKI. selain itu, Pihak konsorsium diharapkan dapat menyediakan dana klaim kepada TKI yang telah memenuhi semua persyaratan dan adanya jaminan perlindungan bantuan hukum kepada para  TKI yang telah dirugikan oleh pihak majikan atau pihak lain.
Jaminan sosial TKI yang telah dirumuskan diatas ini diharapkan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, agar hak-hak TKI dapat terpenuhi sesuai dengan amanat Undang-undang Dasar 1945 dan pemerintah dapat melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia.
B.           Saran
Materi muatan yang telah dituliskan dalam naskah akademik ini telah menjelaskan bahwa pada dasarnya jaminan sosial terhadap TKI merupakan tujuan dalam pembentukan negara, amanat konstitusional serta hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh setiap individu dalam memilih pekerjaannya. Oleh karena itu, Pengaturan tentang Jaminan sosial TKI tersebut harus diatur dalam Undang-undang. Pengaturan tentang jaminan sosial TKI dalam Undang-undang ini merupakan sesuatu yang prinsipil, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat teknis diatur dengan peraturan pelaksana.
Penyusunan naskah akademik rancangan Undang-undang jaminan sosial TKI yang dibuat oleh pemerintah, sebaiknya perlu memperhatikan pendapat dari berbagai pihak yang terlibat dalam proses penyelenggaraan jaminan sosial TKI dan badan-badan yang dibentuk untuk tugas penempatan dan pengawasan TKI. Hal ini merupakan wujud dari asas keterbukaan agar semua pihak dapat dengan jelas mengetahui dan memberikan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan jaminan sosial bagi TKI.

DAFTAR PUSTAKA

A.          Peraturan Perundang-Undangan
Undang - undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang - undang  No 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan Dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
Undang - undang No 3 Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang - undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

B.           Buku, Jurnal, Dan Laporan Penelitian

Abdurrahman Muslan, 2006 Ketidak Patuhan TKI Sebuah Efek Diskriminasi Hukum, Malang, Universitas Muhammadiyyah Malang.
Budiman Arief, 1996, Teori Negara Kekuasaan Dan Teknologi, Jakarta, PT.Gramedia.
Craig John D.R dan S. Michael Lynk, 2007, Globalization and The Future of Labour Law, United Kingdom, Cambridge University Press
Fuady Munir, 2009 Teori Negara Hukum Modern, Bandung, PT Refika Aditama.
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kurde Arfawie Nukhtoh, 2005, Teori Negara Hukum,  Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
K.M Smith Rhona dan Njal Hostmaelingen, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Islam Indonesia.
Leslie L. Douglas, 1979,  Labor Law In a Nutshell, United States of Ameica, ST. Paul Minn West Publishing
Maryoto Boedi dkk, 1995, Laporan Penelitian Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri,  Jakata, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI.

C.          Sumber Lain

AB, Muhaimin Usul Penyesuaian Upah TKI di Saudi, di muat dalam <http://www.antarakl.com/index.php/naker/48-muhaimin-usul-penyesuaian-upah-tki-di-saudi>, di akses tanggal 16 januari 2012
Aditia Maruli, Kasus Penganiayaan TKI Akan Terus Terjadi, dimuat dalam <http://www.antaranews.com/berita/1291444605/kasus-penganiayaan-tki-akan-terus-terjadi>, di akses pada tanggal 6 januari 2012

Agus Dwi Darmawan, Penganiayaan TKI di Arab Saudi Sulit Diungkap, di muat dalam  <http://nasional.vivanews.com/news/read/189155-penganiayaan-tki-di-arab-saudi-sulit-diungkap>, di akses pada tanggal 6 januari 2012.

Agus Zaeroni, TKI Masuk RS Jiwa, Korban Disuntik di muat dalam <http://www.indosiar.com/fokus/tki-masuk-rs-jiwa-korban-disuntik-gila_48783.html>, di akses tanggal 16 Januari 2011.

Darwis, Inilah Daftar TKI yang Segera Dihukum Gantung, di muat dalam <,http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/06/21/inilah-daftar-tki-yang-segera-dihukum-gantung>, di akses pada tanggal 11 januari 2011.

Erna Rochan, Permasalahan TKI, dimuat dalam <http://naromacan.blogspot.com/2010/12/permasalahan-tki_11.html> diakses pada tanggal 12 Januari 2012

Kampung TKI, Nasib TKI Pasca Moratorium, di muat dalam <http://kampungtki.com/baca/31372> di akses tanggal tanggal 9 januari 2012

Kampung TKI, TKI di PHK-Sepihak, di muat dalam <http://kampungtki.com/baca/6636>,  di akses tanggal  9 januari 201

Kampung TKI, Perjanjian Kerja TKI PLRT Harus Lebih Jelas, di muat dalam <http://kampungtki.com/baca/32867>, di akses tanggal 11 Januari 2012.


Neneng Zubaidah, Kasus Kekerasan Terhadap TKI Menurun, di muat dalam <http://news.okezone.com/read/2012/01/09/337/554268/kasus-kekerasan-terhadap-tki-menurun>, diakses tanggal 11 Januari 2012.


Ririn Agustia, Arab Saudi Belum Setujui Standar Upah TKI, di muat dalam <http://www.tempo.co/read/news/2011/10/02/173359450/Arab-Saudi-Belum-Setujui-Standar-Upah-TKI> di akses tanggal oktober 2011.


Tabloid diplomasi, Data Kasus WNI di Luar Negeri,  di muat dalam <http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/117-januari-2011/1016-data-kasus-wni-di-luar-negeri.html> diakses tanggal 12 januari 2012.


Universitas Muhammadiyah Surakarta (Internet). Surakarta  , Data Kasus WNI di Luar Neger , di muat dalam <http://etd.eprints.ums.ac.id/12394/2/BAB_1.pdf>, diakses pada tanggal 12 januari 2012.






[1] http://etd.eprints.ums.ac.id/12394/2/BAB_1.pdf diakses pada tanggal 12 Januari 2012.
[2] Erna, Permasalahan TKI, dimuat dalam http://naromacan.blogspot.com/2010/12/permasalahan- tki_11.html diakses pada tanggal 12 januari 2012.
[3] Tabloid Diplomasi edisi januari 2011, data kasus WNI di luar negeri, dalam situs http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/117-januari-2011/1016-data-kasus-wni-di-luar-negeri.html  diakses pada tanggal 12 januari 2012
[4] Jack Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice dikutip dari  buku Hukum Hak Asasi Manusia karangan Rhona K.M. Smith, dkk. PUSHAM UII. 2008. Hlm. 11
[5] John Locke, The second Treaties of Civil Government an a Letter Concerning Toleration. Ibid. Hlm 12
[6] Karel Vasak, “A 30-Year Struggle. The Sustained Efforts to Give Force of Law to teh Universal Declaration of Human Rights.” Ibid. Hlm 14
[7] Immanuel Kant. Dikutip dari buku Teori Negara Hukum, Teori Konstitusi, dan Teori Demokrasi. Karangan Nukhtikoh Arfawie Kurde. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005. Hlm 16
[8] F.J. Stahl. Ibid. Hlm 17
[10] Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 alinea 4
[11] Alwi, Hasan., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka) 2003.
[12] Boedi Maryoto dan tim kerja. Laporan Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri. 1997. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI. Hlm. 1
[13] Munir Fuady. Teori Negara Hukum. PT refika aditama. Bandung 2009. Hlm 2.
[17] Drs. A. Ma’sum adalah direktur administrasi/keuangan di PPTKIS PT. Dian Yogya Perdana
[21] http://kampungtki.com/baca/32867 diakses tanggal 11 Januari 2012.
[23] ibid
[25]  http://kampungtki.com/baca/31372, dengan Artikel berjudul Nasib TKI pasca Moratorium. Di akses pada hari    senin, tanggal 9 januari 2012
[26]  http://kampungtki.com/baca/6636, dengan artikel berjudul  “11.036 TKI di-PHK sepihak”. Di akses pada hari    senin, tanggal 9 januari 2012

[27]  Pasal 34   ayat (2) merupakan hasil Perubahan (amandemen) UUD 1945 Tahun 2002.
[28]  Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2004 no 133
[29]  Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 No 3468
[30]  Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003  No 4279
[31]  Penjelasan Umum Undang Undang No 13 tahun 2003

3 komentar:

  1. KISAH NYATA..............
    Ass.Saya IBU SERI HASTUTI.Dari Kota Surabaya Ingin Berbagi Cerita
    dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
    saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
    saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
    internet dan menemukan nomor Ki Dimas,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
    awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Dimas alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
    sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
    Dimas Taat Pribadi di nmr 081340887779 Kiyai Dimas Taat Peribadi,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.


    KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
    BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!


    ((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))


    Pesugihan Instant 10 MILYAR
    Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :

    Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
    Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
    dll

    Syarat :

    Usia Minimal 21 Tahun
    Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
    Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
    Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
    Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda

    Proses :

    Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
    Harus siap mental lahir dan batin
    Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
    Pada malam hari tidak boleh tidur

    Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :

    Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
    Ayam cemani : 2jt
    Minyak Songolangit : 2jt
    bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt

    Prosedur Daftar Ritual ini :

    Kirim Foto anda
    Kirim Data sesuai KTP

    Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR

    Kirim ke nomor ini : 081340887779
    SMS Anda akan Kami balas secepatnya

    Maaf Program ini TERBATAS hanya untuk 25 Orang saja..

    BalasHapus
  2. Kami Hadir Untuk Menjalin Tali Silatuh Rahmi,Guna Untuk Membantu Para Masyarakat Di Muka Bumi Ini ,Dengan Segala Permasalahan Yang Ada,Karena Di Dalam Masyarakat Yang Kita Tahu Saat Sekarang Ini,Masih Banyak Masyarakat Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan,Untuk Itu,Izinkan Saya Mbah Karwo Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Karwo Mbah memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei, maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Karwo Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 300.000 Paket 3D Sebesar Rp. 500.000 Paket 4D Sebesar Rp. 700.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0852-3162-7267 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0852-3162-7267

    BalasHapus
  3. Sy tidak tau apa ini cara kebetulan saja atau gimana. Yg jelas sy berani sumpah kalau sy berbohon. Kebetulan saja buka internet dpt nomer ini +6282354640471 Awalnya memang takut hubungi nomer trsbut. Setelah baca-baca artikel nya. ada nama Mbah Suro katanya sih.. bisa bantu orang mengatasi semua masalah nya. baik jalan Pesugihan maupun melalui anka nomer togel. Setelah dengar arahan nya bukan jg larangan agama atau jlan sesat. Tergantung dri keyakinan dan kepercayaan sja. Syukur Alhamdulillah benar2 sudah terbukti sekarang.

    BalasHapus