Jumat, 13 Juli 2012

DESAKRALISASI/DEPRIVATISASI AGAMA SECARA GLOBAL


DESAKRALISASI/DEPRIVATISASI AGAMA SECARA GLOBAL
( STUDI PEMIKIRAN PETER BEYER TENTANG AGAMA DAN GLOBALISASI )
Oleh : Muh. Irham Roihan

 I.      PENDAHULUAN
Globalisasi yang dikatakan datang bersamaan dengan kapitalisme telah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer, dan sumber kekuatan-kekuatan lainnya. Hadirnya era globalisasi sebagai suatu gerakan massif membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat, seperti hak asasi manusia, demokrasi, feminisme, liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi telah melahirkan masyarakat polisentris yang multi-kultural dan multi-religius. Istilah tersebut menunjukkan bahwa globalisasi telah  menyediakan ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan kooperatif. Globalisasi seolah membuka jalan bagi terciptanya keadilan, demokrasi, perdamaian, integritas, persaudaraan, dan persahabatan di dalam perbedaan.[1] Namun demikian, dibelahan dunia lain tengah terjadi resistensi terhadap kuatnya arus faham globalisasi, hal ini ditandai dengan tumbuhnya semangat dan sikap tidak toleran, yakni munculnya berbagai komunitas primordial yang justru mempertebal kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang sangat radikal. Oleh karena itu, tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama ini.
Di dalam makalah yang membidik pemikiran seorang sosiolog yang bernama Peter Beyer ini, lebih banyak akan menyinggung permasalahan agama yang saat ini dilihat sebagai sesuatu yang sangat sakral dan lebih banyak menekankan pada urusan individu sehingga dengan hal tersebut, agama telah kehilangan relevansinya dengan urusan publik.[2] Inilah yang kemudian dinamakan privatisasi, semua fenomena ini, menurut Peter Beyer terjadi karena munculnya paham pluralisme dalam masyarakat modern. Walhasil, cara beragama masyarakat modern hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat ibadah individual dimana agama hanya berperan sebagai pemenuh kebutuhan spiritual belaka, tidak lagi kebutuhan sosial, padahal agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan publik dalam sebuah masyarakat, bahkan pada masyarakat modern sekalipun. Agama tentunya dapat menjadi sumber inspirasi sebagaimana ia juga membawa serangkaian norma-norma religius yang dapat memberikan pencerahan kepada seluruh ummat manusia.[3] Inilah yang kemudian membuat penulis ingin menggagas suatu konsepsi mengenai deprivatisasi atau desakralisasi agama secara global setelah sebelumnya didiskusikan dengan dosen dan teman-teman santri Pondok Pesantren UII angkatan 2010.
Dengan berbagai permasalahan yang telah diungkapkan diatas, penulis kemudian merumuskan permasalahan tersebut menjadi 3, yaitu :
1)      Bagaimanakah sebenarnya hubungan antara agama dan globalisasi jika ditinjau berdasarkan pengaruh globalisasi terhadap agama dan respon agama terhadap globalisasi?
2)      Apakah privatisasi agama merupakan sebuah konsekuensi globalisasi ?
3)      Apakah privatisasi atau sakralisasi agama harus di deprivatisasi/desakralisasi secara global ?


II.      PEMBAHASAN
A.    Hubungan antara Agama dan Globalisasi
Jika ditinjau berdasarkan pengaruh globalisasi terhadap agama dan respon agama terhadap globalisasi, maka hubungan tersebut dapat dianalisis melalui munculnya 2 bentuk respon agama yang saling berlawanan yaitu Pertama, yang menyatakan bahwa agama-agama bisa saja merambah dan menyatu dengan dunia global. Kedua, yang menyatakan bahwa agama justru menentang dunia global dan tidak ingin menyatu dengan kehadiran globalisasi.[4] Kedua hal yang disebutkan diatas ini, oleh penulis kemudian diistilahkan sebagai paham/jalan universalime dan paham partikularisme/ privatisasi agama.
Masyarakat global saat ini cenderung dicirikan dengan sebuah perselisihan antara partikularisme dan universalisme. Partikularisme adalah penekanan karakteristik yang berbeda dari kelompok tertentu. Perbedaan ini bisa adat, nasional, regional, budaya atau agama. Universalisme adalah penekanan terhadap kesamaan antara orang-orang atau masyarakat atau nilai-nilai yang dilahirkan dari diri kemanusiaan mereka secara umum. Dalam kondisi seperti ini, sebagai bentuk respon dari agama dalam hubungannya dengan globalisasi, ia  dapat mengambil salah satu aturan sebagai berikut :[5]
1)      Agama bisa mengambil peran yang relatif marjinal dalam masyarakat global. Bukan berarti termarjinalkan. Melainkan agama hanya tidak bisa memberikan seperangkat nilai yang menyeluruh dan keyakinan yang bisa dipeluk oleh semua anggota masyarakat, agama mungkin menurun ke dalam peran yang terbatas dan di privatisasi. Menurut Beyer, globalisasi mengarah pada dunia yang didominasi oleh sub-sistem khusus. Dia menyatakan, “begitulah, misalnya, ekonomi kapitalis berjalan demi uang, sistem politik global demi kekuatan birokrasi, sistem keilmuan demi kebenaran yang bisa diverifikasi.” Semua sistem adalah instrumental dalam pengembangan efisiensi dan akhir pencapaian yang rasional. Tidak ada peran pasti untuk agama sebagai sebuah sub-sistem masyarakat global. Ketika ritual keagamaan digunakan karena dilihat sebagai hal yang penting untuk keberhasilan panen, untuk kesehatan yang baik atau keberhasilah militer, ini tidak lagi terjadi. Tanpa sebuah peran global, agama cenderung dibiarkan hanya untuk urusan pribadi seperti ketika berbicara tentang makna kehidupan. Ketika agama masuk ke jalan ini, ia kehilangan peran publiknya dan “privatisasi agama terus berkembang dalam berbagai arah pluralistik di berbagai kemungkinan agama. Tiap orang memilih agama sekte, kultus, deniminasi atau agama utama yang ingin mereka ikuti.Akan tetapi, agama pasti tidak aka jatuh dalam lingkup pribadi.
2)      Sub-sistem utama modernitas dan globalisasi menciptakan banyak masalah. Ekonomi global, ilmu pengetahuan global dan sistem politik global, menawarkan sedikit jalan untuk identitas individu dan kelompok sosial. Identitas cenderung merelatifkan : orang-orang kekurangan merasakan kepribadian yang sangat kuat tentang siapa mereka. Mereka mungkin memiliki sejumlah peran terpisah (seperti peran pekerjaan dan keluarga) tapi tidak ada sumber identitas peran pribadi bagi mereka. Lebih-lebih, dalam sebuah dunia yang plural, dimana budaya dan agama yang berbeda hidup berdampingan dan saling meningkatkan hubungan satu sama lain, menjadi sulit untuk memutuskan budaya mana yang lebih baik dari yang lainnya. Dalam hal ini, agama bisa mengambil satu peran penting menyangkut masalah-masalah ini. Individu-individu dan kelompok sosial bisa menggunakan agama sebagai pusat sumber identitas. Mereka bisa menggunakan agama untuk menegaskan kembali kelebihan mereka dari yang lain. Mereka bisa menggunakan afiliasi agama untuk menggerakkan kelompok untuk mencari kekuatan dan pengaruh dalam satu masyarakat global dimana mereka merasa termarjinalkan dan terabaikan. Sangat sering agama-agama yang menyatakan bahwa perbedaan partikuler erat kaitannya dengan nasionalisme. Dengan demikian, menurut Beyer, Israel, Iran, India dan Jepang semuanya adalah contoh negara-negara dimana agama konservatif atau fundamentalis telah menyatu dengan nasionalisme.
3)      Pilihan ke tiga bagi agama untuk mengusahakan sebuah pendekatan universal. Beyer menyebutnya sebagai pilihan liberal. Dalam hal ini agama berusaha untuk lebih menyeluruh—yaitu mencoba menyatukan kepercayan-kepercayaan yang berbeda. Bukan menekankan perbedaan, melainkan menekankan nilai-nilai dan kepercayaan umum yang  seharusnya disebarkan secara global. Contoh-contoh kepercayaan seperti itu bisa menjadi kepercayaan dalam HAM universal atau dalam konsepsi keadilan sosial. Peter Beyer melihat teologi liberal sebagai sebuah contoh yang bagus dalam perkembangan semacam ini. Walaupun berdasar pada ajaran Katolik, kepentingannya adalah se-politis agama, dengan perhatiannya terhadap kemeralatan kelompok-kelompok yang dirugikan di Amerika Latin. Memang, banyak masalah-masalah kemiskinan bisa dikaitkan dengan penyelenggalaan operasi sistem kapitalis. Contoh lain pendekatan universal adalah environmentalisme agama dimana kelompok-kelompok agama yang berbeda bisa disatukan dengan mencoba menyelamatkan apa yang dianggap sebagai bumi ciptaan ilahi.
Beyer menyimpulkan bahwa globalisasi tidak akan mengarah pada kematian agama. Akan tetapi, ia membatasi pengaruhnya. Ia tidak lagi penting untuk sub-sistem yang kuat seperti ekonomi global, sistem politik dan ilmu pengetahuan. Akan tetapi, ia tetap penting untuk sistem komunikasi, ia lebih bisa berusaha keras untuk mempengaruhi keadaan daripada menciptakannya. Misalnya, Beyer menyatakan bahwa : “Dengan isu kedamaian dan keadilan, banyak agamawan dan organisasi keagamaan akan sangat diikut sertakan dalam masalah-masalah; tapi solusi yang ditawarkan akan bersifat politis, pendidikan, ilmiah, ekonomis, dan medis – berasusmsi, pastinya, bahwa sistem global tidak runtuh bersama dengan lingkungan biologisnya.” Dengan kutipan diatas, sangat jelas bahwa posisi beyer dalam menanggapi realitas sosial, khususnya pengaruh globalisasi terhadap agama pada pilihan yang ketiga dengan tidak menafikkan dua aturan lainnya.
Khusus pada point yang ketiga ini pula penulis sepakat dengan adanya suatu pendekatan universal  yang harus dilakukan oleh agama agar bisa diterima dalam dunia global. Dalam hal ini, penulis memaparkan konsepsi mengenai kristalisasi asas universal ilaihiah. Diskursus baru ini mendefinisikan esensi pluralisme sebagai pengakuan akan kebebasan, perbedaan, dan koeksistensi damai : “Pluralisme menurut filsafatnya yang umum merupakan suatu kebenaran alamiah, suatu hukum universal, suatu pandangan hidup yang legal, dan suatu rahmat ilahi.” Pluralisme sebagai prinsip dasar alam sudah tampak dalam wahyu al-Qur’an ketika memperlakukan manusia secara sama. Tidak ada persamaan di depan hukum.[6] Pada hakikatnya, ini adalah suatu cara memahami rencana ilahi untuk kemanusiaan sebagaimana diwahyukan dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menjelaskan bahwa Tuhan telah menciptakan dunia ini terdiri dari berbagai bangsa, etnik, suku, dan bahasa (Q.S. 30 : 22 dan 48 : 13). Tujuan dari perbedaan ini bukanlah untuk mendorong ketidakharmonisan dan perang melainkan merupakan tanda dari Tuhan bahwa manusia harus berjuang untuk memiliki rasa toleran dan pengertian yang baik. Dengan hal yang demikian, hipotesis awal yang harus dibangun adalah bahwa agama dan globalisasi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mempengaruhi dengan fungsi yang dimiliki masing-masing.

B.     Privatisasi Agama: Sebuah Konsekuensi Globalisasi
Sebagai dampak dari hadirnya globalisasi yang mengakibatkan maraknya paham pluralisme sehingga memunculkan privatisasi agama, penulis teringat suatu kejadian mengerikan yang pernah terjadi di Indonesia, baik kasus Ambon maupun musibah yang menimpa kelompok penganut Ahmadiyah yang menimbulkan korban dan merenggut nyawa banyak orang. Kasus tersebut dilakukan dalam bentuk penyerangan oleh ormas yang mengatasnamakan identitas keagamaan (baca : Islam). Maraknya aktivitas radikalisme pada tahun-tahun belakangan ini sebagai bentuk penentangan yang lebih ekstrim pun tidak dapat dihindari. Hal ini dapat dilihat dari kasus yang sempat terjadi di kawasan kota Bogor, Jawa Barat, yakni kasus diskriminasi yang menimpa Gereja Kristen Indonesia (GKI) Bakal Pos Taman Yasmin. Pemerintah kota Bogor yang dipimpin oleh walikota Diani Budiarto secara sadar dan sengaja mengabaikan putusan Mahkamah Agung dan Ombudsman Republik Indonesia yang secara jelas mengakui keabsahan berdirinya gereja GKI di kompleks Perumahan Taman Yasmin Bogor. Hal ini tentunya dapat terjadi, mengingat bahwa hubungan dekat antara walikota tersebut dengan kelompok-kelompok radikal fundamental intoleran, terutama Forkami dan GARIS sangatlah erat.[7] Penulis sama sekali tidak bermaksud menjustifikasi, akan tetapi kita tentunya sudah paham bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi apabila masyarakat pada umumnya dan walikota pada khususnya memahami hakikat kebersamaan dan toleransi. Ditambah lagi, dengan beredarnya isu bahwa gerakan radikal fundamental tersebut sangat gencar meniupkan api kebencian terhadap jemaat GKI, sehingga asumsi yang beredar tentang walikota pun juga berimplikasi negatif.
Dalam penerapannya, globalisasi memang memiliki dua efek yang kontradiktif. Satu sisi, globalisasi dapat meningkatkan bahaya perselisihan antara budaya yang berbeda bahkan dengan budaya yang sama sekalipun. Di sisi lain, dapat meningkatkan hubungan antara budaya-budaya dan agama-agama dalam mengurangi perbedaan antara mereka yang berarti dapat mengurangi konflik internal maupun eksternal.  Namun dalam tataran empiris, tentunya sisi negatif eksistensi sebuah globalisasi lebih dominan dibandingkan dengan sisi positifnya. Privatisasi yang hadir sebagai sebuah konsekuensi globalisasi merupakan fakta riil dominannya efek negatif globalisasi ini.
Dengan hal yang demikian, oleh Peter Beyer kemudian membidik masalah privatisasi agama dengan menggunakan analisis Luhmann. Analisis tersebut menyangkut profesional dan aturan sosial komplementer dan antara fungsi dan performance agama. Peter Beyer kemudian sampai pada kesimpulan bahwa salah satu faktor penyebab privatisasi adalah adanya paham pluralistik agama diantara individu dalam kehidupan masyarakat modern. Dengan kata lain, paham pluralisme keagamaan telah menghantarkan manusia pada individualisme, termasuk dalam hal kehidupan beragama sehingga menggusur peran publik agama sebagaimana yang banyak digagas oleh sosiolog agama sebelumnya.[8]
Secara keseluruhan, nampak jelas bahwa agama mengalami kesulitan untuk dapat menjadi inspirasi bagi kehidupan masyarakat global sebagaimana pada masa-masa sebelumnya akibat diprivatisasi oleh sekelompok orang, hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya pilihan dalam kehidupan global  lebih beragam dan memenuhi kebutuhan bagi masyarakat modern. Singkatnya, globalisasi telah menjadikan agama sebagai salah satu alternatif, bukan lagi sistem nilai yang mendasari perilaku dalam kehidupan.
Hal ini sejalan dengan pandangan Irwan Abdullah bahwa globalisasi yang ditandai dengan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik sosial. Sebagai konsekuensinya, globalisasi mengimplikasikan perubahan pada banyak hal, termasuk cara orang beragama. Irwan Abdullah menekankan bahwa perubahan ini bukan disebabkan agama itu mengalami kontekstualisasi sehingga menjadi bagian yang menyatu dengan masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh budaya global yang mengkontekstualisasikan agama itu, dengan tata nilai yang berbeda.[9]
Salah satu konsekuensi teoritis penting lainnya ialah adanya perbedaan diantara bagaimana sebuah subsistem berhubungan dengan masyarakat secara keseluruhan dan bagaimana relasinya dengan subsistem lain. Secara resmi, Luhmann menganalisis dalam term yang dinamakan (1) fungsi dan (2) performance. Dalam konteks kekinian, (1) fungsi ini sering merujuk pada aspek ketaatan atau peribadatan, penyucian jiwa, pencarian pencerahan, atau pengorbanan, atau keselamatan. Fungsi ini merupakan fungsi murni, sebagai sesuatu yang ‘sakral‘ mengenai yang transenden  dan aspek yang diklaim oleh institusi keagamaan sebagai suatu dasar otonomi mereka dalam masyarakat modern. Sementara itu,  (2) performance (penampilan) agama secara kontras muncul ketika agama diaplikasikan‘ pada masalah-masalah yang berasal dari sistem sosial namun mengalami kegagalan. Misalnya kemiskinan, penindasan politik, atau keterasingan dalam keluarga. Melalui konsep performance, agama membangun pentingnya hal-hal yang profan dalam kehidupan manusia; tetapi juga, perhatian non-agama mengenai keberagamaan murni, mengekspresikan fakta bahwa masyarakat juga menaruh perhatian pada kondisi otonomi perilaku keberagamaan.

C.    Deprivatisasi/Desakralisasi Agama Secara Global

Sebagai manusia, tentu kita menginginkan perdamaian dengan tolak ukur bahwa semua perbedaan baik dari segi ideologi, sosial, budaya, dan agama haruslah di selesaikan dengan cara-cara yang dewasa yang mampu mengakomodir kebutuhan bersama dalam mengarungi kehidupan di dunia. Dalam hal ini, banyak yang harus disadari dan dilakukan dalam upaya untuk mempertahankan eksistensi agama tanpa mengenyampingkan aspek globalisasi. Hal terpenting yang harus disadari adalah kini masyarakat dunia telah menjadi lebih multi-religius, tidak lagi eksklusif. Realitas sosial ini seharusnya, dengan sendirinya mendorong kita untuk menyingkirkan sikap eksklusif dan mengembangkan orientasi universal terhadap agama sehingga dapat lebih mengakomodir yang lain. Satu pelajaran penting yang dapat dipetik dari arus globalisasi adalah, seluruh masyarakat lambat laun akan menyadari perihal “kemanusiaan sebagai satu keluarga (humanity as a single family)”. Kalimat tersebut tentunya sangat diharapkan dapat menjadi kultur sehingga dapat dengan mudah merambat ke pemahaman setiap individu yang pada akhirnya upaya ini dapat berfungsi untuk menambah peluang kemungkinan efisiensi dan efektifitas peran agama dalam masyarakat global.
Upaya untuk men-deprivatisasi/desakralisasi agama secara global, bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terealisasi. Upaya tersebut tentunya memerlukan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang sebenarnya juga terdapat dalam ajaran agama serta pemahaman terhadap globalisasi yang menjadi tantangan seluruh cendekiawan maupun peneliti yang fokus dibidang agama dan sosial.

III.      KESIMPULAN

Makalah ini dibuat tidak bermaksud untuk memperkuat apalagi mendukung  gagasan Beyer tentang fenomena privatisasi agama, namun lebih merupakan deskripsi dari fenomena yang terjadi dan harus segera diantisipasi. Pengantisipasian yang dimaksud penulis adalah melalui deprivatisasi agama secara global yang selama ini mengeksklusifkan diri kita sebagai manusia tanpa menyadari bahwa kita hidup dalam komunitas sosial yang global.
Agama, sebagai sistem norma dan ideologi harus kembali mampu memerankan dirinya dalam dimensi fungsi dan  performance-nya sehingga agama dapat terbebas dari upaya komodifikasi yang sedikit banyak akan mengakibatkan degradasi peran agama dalam kehidupan  manusia. Dengan kata lain, tampaknya gagasan Cassanova tentang  public religion patut diperhitungkan dalam hal ini. Cassanova mengingatkan bahwa meskipun agama memiliki karakter yang  serba hadir dalam kehidupan manusia, penting dicatat bahwa kehadiran agama itu senantiasa disertai dengan ―dua muka yang di satu sisi secara inheren agama memiliki identitas yang bersifat eksklusif, particularis, dan primordial. Namun pada saat yang bersamaan agama juga kaya akan identitas yang bersifat inklusif, universalist dan transcending. Jadi, untuk memahami penjelasan ini dapat dilakukan dengan memahami posisi agama dan meletakkkannya dalam situasi yang lebih riil—agama secara empirik dihubungkan dengan berbagai persoalan social-kemasyarakatan. Dalam konteks inilah, agama hadir sebagai agama publik, agama yang sejalan dengan kepentingan publik dan persoalan sosial kemasyarakatan.[10]
Dalam pandangan Cassanova, agama dapat mewujud dalam aturan-aturan sosial-kemasyarakatan, paling tidak ia mampu menginternal dalam berbagai macam aturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh sebuah pemerintahan atau negara. Inilah yang diistilahkan oleh Cassanova sebagai public religion. Semua ini menggiring pada sebuah konsep deprivatisasi agama dalam arti mengembalikan hakikat agama yang menjalankan dimensi function dan performace sebagaimana yang tertuang dalam pemikiran Beyer.
Dalam kesimpulan ini,  penulis sangat mengharapkan agar komunitas agama sedunia dapat mendeklarasikan beberapa hal sebagai wujud dari kepedulian terhadap fenomena yang sering melanda eksistensi keberagamaan kita yang sangat memprihatinkan, yaitu yang  pertama, kesadaran akan saling ketergantungan antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungannya. Kedua, komitmen untuk menghormati kehidupan  dan martabat, dan keragaman, sehingga setiap orang diperlakukan secara manusiawi dan setara tanpa kecuali. Ketiga, panggilan untuk mengikatkan diri pada budaya tanpa kekerasan, penghormatan, keadilan, dan perdamaian. Keempat, komitmen untuk berjuang bagi terwujudnya sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang adil, dimana setiap orang mempunyai kesempatan yang sama untuk meraih potensi yang optimal sebagai manusia.
Dengan etika global tersebut diharapkan terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan yang bersanding dengan kebijakan, penerapan teknologi yang didasari oleh kekuatan spiritual, kemajuan industri yang dibarengi dengan perlindungan ekologi, dinamika demokrasi yang dilandasi moral, dan terciptanya masyarakat multi-kultural religius dengan menjungjung semangat persaudaraan. 
Dengan demikian globalisasi dan agama memang tidak dapat dipisahkan, baik secara historis maupun ideologis, maka agama akan selalu ada di balik setiap proses dan peristiwa sosial di era manapun termasuk di era globalisasi ini. Bahkan bisa saja  globalisasi adalah misi agama itu sendiri. Oleh sebab itu adalah relevan membicarakan globalisasi dalam hubungan dengan agama sebagai suatu keharusan untuk meminta pertanggungjawaban moral, etika dan spiritual dari berbagai agama tentang ragam persoalan kemanusiaan dan lingkungan alam yang terjadi dewasa ini. 
Tentunya dukungan harus terus diberikan terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk mempertemukan berbagai pandangan keagamaan, yaitu suatu dialog antar dan lintas agama dalam skala global dalam rangka menemukan dan menebarkan prinsip-prinsip moral, perdamaian dan kemanusiaan, sebagaimana dirindukan oleh umat manusia yang masih berfikir waras secara keseluruhan. 


DAFTAR PUSTAKA

A.          Sumber Utama

Yvonne Yazbeck Haddad, 2002, Agamawan dan Tantangan Pluralisme (Kasus Islam) dalam buku “Agama Empiris : Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial”. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Irwan Abdullah,  2007, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan,  Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Al-Qur’an dan Terjemahanya.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Offline Versi 1.1 Freeware,2010 by Ebta Setiawan.
Jurnal yang ditulis oleh Moch. Fakhruroji, Privatisasi Agama : Globalisasi dan Komodifikasi Agama, di muat dalam http://jurnalkomunikata. files.wordpress.com/2012/01/ privatisasi-agama-moch-fakhruroji.pdf

B.     Sumber Lain

Prof. Dr. Faisal Affif S.E.Spec.Lic, Agama dan Globalisasi, dimuat dalam http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/2272-agama-dan-globalisasi, di akses pada tanggal 08 Juli 2012.
Privatisasi Agama dan Globalisasi dimuat dalam http://mangozie.net/?p=96


Peter Beyer : Globalisasi, Agama, Partikularisme, Universalisme. http://afirmanto.blogspot.com/2011/ 06/peter-beyer-globalisai-agama.html,






[1]  Prof. Dr. Faisal Affif S.E.Spec.Lic, Agama dan Globalisasi, dimuat dalam http://www.fe.unpad.ac.id/id/arsip-fakultas-ekonomi-unpad/opini/2272-agama-dan-globalisasi, di akses pada tanggal 08 Juli 2012.
[2]  Moch. Fakhruroji, Privatisasi Agama : Globalisasi dan Komodifikasi Agama, di muat dalam http://jurnalkomunikata. files.wordpress.com/2012/01/ privatisasi-agama-moch-fakhruroji.pdf, di akses pada tanggal 08 Juli 2012
[3]  Privatisasi Agama dan Globalisasi dimuat dalam http://mangozie.net/?p=96, di akses pada tanggal 08 Juli 2012
[4]  Respon Agama terhadap Globalisasi, dimuat dalam http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/04/respons-agama-terhadap-globalisasi/, diakses pada tanggal 08 Juni 2012
[5]  Peter Beyer : Globalisasi, Agama, Partikularisme, Universalisme. http://afirmanto.blogspot.com/2011/ 06/peter-beyer-globalisai-agama.html, di akses tanggal 09 Juli 2012.
[6]  Dikutip dari artikel yang ditulis oleh Yvonne Yazbeck Haddad dengan tema Agamawan dan Tantangan Pluralisme (Kasus Islam) dalam buku “Agama Empiris : Agama dalam Pergumulan Realitas Sosial”. Pustaka Pelajar : 2002. hlm. 63
[8]  Moch. Fakhruroji, Privatisasi Agama : Globalisasi dan Komodifikasi Agama, di muat dalam  http://jurnalkomunikata. files.wordpress.com/2012/01/ privatisasi-agama-moch-fakhruroji.pdf, di akses pada tanggal 08 Juli 2012. Hlm. 196
[9]   Irwan Abdullah, Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hlm. 107

2 komentar:

  1. assalamualaikum...

    boleh saya bertanya tentang fundamentalisme?
    bagaimana tanggapan anda tentang fundamentalisme?

    BalasHapus
  2. wa'alaikumsalam...
    Sangat boleh mb annisa... menurut sy... Secara definitif istilah fundamentalisme merupakan keimanan yang kuat, tidak goyah, dan biasanya menganut satu kepercayaan yang bersumber dari nash-nash suci...

    BalasHapus