Minggu, 25 Desember 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESA

SEJARAH PERKEMBANGAN JUDICIAL REVIEW DI INDONESA
Oleh    : M. Irham Roihan[1]

            Produk hukum bisa saja memuat isi yang bertentangan atau bahkan keluar dari batas proporsional muatan materi yang telah ditentukan, baik karena ketidaktahuan maupun karena kepentingan kelompok politik yang sifatnya jangka pendek. Judicial review merupakan instrument hukum yang dapat mengawal isi peraturan perundang-undangan melalui uji materi. Ada 2 jalur judicial review di Indonesia, yaitu uji materi UU terhadap UUD yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang menjadi kompetensi Mahkamah Agung.[2]

Judicial Review

            Jika prolegnas berfungsi sebagai penyaring isi sekaligus instrument dan mekanisme yang harus menjamin bahwa politik hokum harus selalu sesuai dengan cita-cita dan tujuan bangsa dan Negara, maka di dalam politik hokum nasional masih disediakan juga institusi dan mekanisme pengujian atas peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, meskipun sebuah peraturan perundang-undangan, khususny UU, tlah diproses sesuai dengan prolegnas, ia masih mungkin untuk diuji lagi konsistensinya dengan UUD atau dengan peraturan yang lebih tinggi melalui judicial review. Judicial review adalah pengujian oleh lembaga yudikaif tentang konsistensi UU terhadap UUD atau peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[3]

            Mauro Capelletti, secara substantif mengartikan judicial review sebagai sebuah proses penerjemahan nilai-nilai yang ditentukan oleh konstitusi melalui sebuah metode tertentu untuk menjadi suatu keputusan tertentu.[4] Proses penerjemahan tersebut terkait dengan pertanyaan questio juris yang juga harus dijalankan oleh para hakim dalam sebuah lembaga kehakiman, hakim tidak hanya memeriksa fakta-fakta (judex factie), tetapi juga mencari, menemukan dan menginterpretasikan hukumnya (judex juris). Artinya, penekanan pada proses interpretasinya ini (proses review) mengakibatkan judicial review menjadi isu yang punya kaitan erat dengan struktur ketatanegaraan suatu negara bahkan hingga ke proses politik pada suatu negara. Konsep ini memiliki hubungan erat dengan struktur tatanegara suatu negara yang menempatkan dan menentukan lembaga mana sebagai pelaksana kekuasaan tersebut.[5] Bahkan lebih jauh, bagaimana proses politik nasional memaknai pelaksanaan pemegang kekuasaan judicial review tersebut.

            Istilah judicial review sesungguhnya merupakan istilah teknis khas hukum tata negara Amerika Serikat yang berarti wewenang lembaga pengadilan untuk membatalkan setiap tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan konstitusi. Pernyataan ini diperkuat oleh Soepomo dan Harun Alrasid, mereka mengatakan di Belanda tidak dikenal istilah judicial review, mereka hanya mengenal istilah hak menguji (toetsingensrecht). Judicial review dimaksudkan menjadi salah satu cara untuk menjamin hak-hak kenegaraan yang dimiliki oleh seorang warga negara pada posisi diametral dengan kekuasaan pembuatan peraturan.

Pengujian oleh hakim itu dapat dilakukan dalam bentuk institutional-formal dan dapat pula dalam bentuk substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri, inilah bentuknya yang secara institutional-formal. Sedangkan dapat juga terjadi pengujian yang dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual, atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.

Sejarah dan Alasan Judicial Review

            Judicial review yang dapat juga disebut sebagai constitutional review ( Jimly Asshiddiqie, 2005 : 15) yang memberikan wewenang kepada Supreme Court  atau  Mahkamah Agung untuk membatalkan sebuah UU karena isinya yang berlawanan dengan konstitusi pertama kalinya terjadi di Amerika Serikat, yakni dilakukan oleh Chief Justice John Marshall pada tahun 1803. Sebelum itu, memang ada kebiasaan tradisional yang memungkinkan hakim menyimpang atau tidak memberlakukan isi suatu UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi. Kebiasaan ini bukan dalam konteks membatalkan suatu UU melainkan sekedar menyimpang atau tidak menerapkan isinya dalam memutus kasus konkrit. Chief Justice John Marshall adalah orang pertama dalam sepanjang sejarah konstitusi dan ketatanegaraan yang melakukan pengujian dan pembatalan suatu UU dalam bentuk judicial review.

            Kisahnya dimulai dari kekalahan Presiden Juohn Adams dari Thomas Jefferson pada pemilihan Presiden Amerika Serikat pada tahun 1800. Sebelum secara resmi menyerahkan jabatannya kepada presiden baru, John Adams mengangkat pejabat-pejabat penting yang oleh lawan-lawan politiknya dianggap sebagai upaya menyelamatkan kedudukan teman-temannya agar  mereka tetap menduduki jabatan penting. John Marshall adalah secretary of state dari Presiden John Adams yang segera diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung atau Chief Justice. Bahkan, sampai tengah malam di hari terakhir sebelum meninggalkan jabatannya ( 3 maret 1801), John Adams masih mengangkat sahabat-sahabatnya dalam jabatan penting seperti menjadi duta besar dan hakim. Termasuk dalam rombongan yang diangkat pada detik-detik terakhir masa jabatan John Adams itu adalah beberapa sahabatnya untuk jabatan hakim perdamaian, yakni William Harper. Karena mendesaknya waktu, maka surat-surat pengangkatan untuk pejabat-pejabat yang disebut sebagai “the midnight judges” itu tak sempat diserahkan kepada yang bersangkutan sampai Adams melepaskan jabatannya secara resmi.

            Begitu memegang jabatannya secara efektif, Presiden Thomas Jefferson memerintahkan Secretary of State yang baru, James Madison, untuk menahan atau tidak menyerahkan surat pengangkatan Marbury dan kawan-kawan sebagai hakim perdamaian yang telah dikeluarkan oleh John Adams itu. Oleh sebab itu, melalui mantan Jaksa Agung yang kemudian menjadi kuasa hukum, yakni Charles Lee, diajukanlah tuntutan oleh Marbury kepada Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall, agar MA menggunakan kewenangannya yang disebut sebagai writ of mandamus, sebagaimana diatur di dalam Section 13 Judiaciary Act 1789, yakni memerintahkan kepada pemerintah untuk segera menyerahkan surat-surat pengangkatan oleh John Adams yang telah disetujui oleh Kongres itu.

            Namun, pemerintah baru di bawah Jefferson menolak untuk menyerahkan surat-surat pengangkatan itu, bahkan mengatakan bahwa writ of mandamus itu tak dapat dikeluarkan. Namun, pemerintah Jefferson juga menolak untuk menjelaskan dan memberikan bukti-bukti mengapa pihaknya menyatakan writ of mandamus tak dapat dikeluarkan. Bahkan, Kongres baru yang kemudian dikuasai oleh kubu Jefferson dari kaum Republik (Lawan John Adams yang dari kaum Federalis) mengesahkan undang-undang yang menunda semua persidangan MA selama lebih dari setahun sehingga persidangan MA tentang itu baru bisa dilangsungkan kembali pada bulan Februari 1803.

            Apa yang dilakukan Marshall untuk memutus kasus itu adalah luar biasa karena keputusannya itu merupakan produk pertama tentang judicial review atas sebuah UU terhadap konstitusi di sepanjang sejarah ketatanegaran dan konstitusi dunia.

            Marshall membuat putusan yang menyatakan bahwa surat-surat keputusan John Adams adalah benar dan William Marbury dan kawan-kawan berhak untuk menerima surat keputusan pengangkatan itu. Tetapi putusan Marshall juga menyatakan bahwa Supreme Court tak berwenang memerintahkan kepada pemerintah untuk menyerahkan surat-surat tersebut. Menurut Marshall, wewenang untuk mengeluarkan writ of mandamus atau memerintahkan untuk menyerahkan surat-surat itu tak bisa dilakukan oleh MA karena Judiciary Act 1789  itu sendiri isinya bertentangan dengan Article III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

            Itu berarti bahwa putusan chief Justice John Marshall yang membatalkan Judiciary Act 1789, karena isinya bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat, adalah judicial review. Padahal, didalam konstitusi Amerika Serikat tidak tercantum ketentuan tentang judicial review. Dan itu adalah judicial review pertama didunia sehingga mendapat sebutan brilian, seperti a landmark decision, the most brilliant innovation, dan the single most important decision in American Constitutional Law (R. Kent Newmyer, 2001).

Judicial Review di Indonesia

            Di Indonesia, gagasan tentang judicial review untuk menjamin konsistensi isi UU terhadap UUD dan konstitusi telah lama muncul, bahkan pernah dimuat didalam konstitusi RIS dan UUDS 1950. Di dalam UUD 1945 yang asli (sebelum diamandemen), ketentuan tentang judicial review tak dimuat sama sekali. Tetapi, dalam UU No.14 tahun 1970 dan TAP MPR No.III/MPR/1978 hal itu diatur, meski tak dapatdiimplementasikan dalam praktik. Barulah setelah diamandemen (pada amandemen ketiga tahun 2001), UUD 1945 memuat ketentuan tentang judicial review yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk tingkat UU terhadap UUD dan oleh Mahkamah Agung untuk peraturan perundang-undangan dibawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

            Pada persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, anggota Muhammad Yamin pernah mengusulkan pemuatan ketentuan didalam UUD tentang hak Mahkamah Agung untuk menguji materiil UU terhadap UUD. Tapi, anggota BPUPKI lain, seperti Soepomo, menolak usul Yamin itu. Menurut Soepomo, para ahli hokum Indonesia kala itu belum mempunyai pengalaman dalam hal pengujian UU. Bagi Soepomo, Negara muda seperti Indonesia ini belum waktunya utnuk mengerjakan persoalan itu. Apalagi, soal pengujian UU itu bukan kewenangan MA melainkan kewenangan semacam pengadilan spesifik, yaitu constitutional hof yang tugasnya memang khusus mengurusi konsistensi peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan konstitusi. Soepomo tampaknya mengikuti pemikiran bahwa lembaga yang menguji materi UU adalah lembaga khusus di luar MA seperti MK. Pembicaraan uji materi oleh MA itu kemudian tak berlanjut karena, setelah mendapat tanggapan Soepomo, Yamin pun meminta agar pembicaraan itu ditunda. Maka, UUD 1945 yang belum diamandemen tidak menyinggung sama sekali judicial review itu.

Dalam konteks judicial review yang berkembang di Indonesia, sealur dengan perkembangan ketatanegaraan kontemporer, di mana judicial reviw menjadi bagian dari fungsi Mahkamah Konstitusi, judicial review dimaknai sebagai kewenangan untuk melakukan pengujian baik secara materil maupun formil suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar, serta kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD.[6] Jadi, secara teoritik judicial review, dalam kerangka peradilan tata negara, dengan pemaknaan yang telah dipersempit seperti di atas, judicial review berarti kewenangan-kewenangan yang di miliki oleh peradilan tata negara (sebuah lembaga judicial), untuk melaksanakan fungsi-fungsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mengenai objek pengujiannya ialah produk-produk legislative (legislative act), yang berupa undang-undang. Dalam system hukum Indonesia yang berkembang saat ini, yang mejadi legislator utama adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), akan tetapi karena pembuatan produk legislasi (UU) membutuhkan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislative, maka pemerintah pun memiliki fungsi sebagai legislator, meski hanya co-legislator. Dalam kapasitasnya sebagai pembentuk undang-undang, kedua organ tersebut (DPR dan Presiden) tidak wenang untuk merubah atau membatalkan suatu produk undang-undang. Pemerintah sendiri justru harus mentaati suatu produk undang-undang, dan DPR menggunakan undang-undang bersangkutan sebagai satndar atau alat control terhadap pemerintah dalam melaksanakan kinerjanya. Persoalannya adalah ketika produk undang-undang tersebut nilai konstitulitasnya bertentanga dengan konstitusi, apakah harus terus dilanjutkan, pelaksanaan dan fungsi kontrolnya. Pada sisi inilah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga judicial mengambil peran, untuk melakukan uji konstitualitas.




[1]  Penulis adalah Mahasiswa Aktif Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, angkatan 2010
[2]  Moh. Mahfud MD, “Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi”. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.122
[3]  Ibid, hlm. 37
[4]  Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal 6
[5]  Bentuk negara federasi akan membuat judicial review juga kadang-kadang dijalankan secara vertikal yakni antara pusat dan daerah. Selain itu, masing-masing negara juga punya pengalaman sendiri dalam mekonstruksi konsepsi judicial review-nya. Ada banyak negara yang menyatukan fungsi ini ke Mahkamah Agung dan demikian juga ada banyak negara yang menempatkannya pada lembaga lainnya yakni Mahkamah Konstitusi atau Dewan Konstitusi.
[6]  Pasal 10 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar