DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
B. Identifikasi
Masalah
C. Tujuan
Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
D. Metode
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis
B.
Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip
Penyusunan Norma
1. Asas
Kemanusiaan
2. Asas
Keadilan
3. Asas
Kesamaan Kedudukan Dalam Hukum
4. Asas
Kepastian Hukum
5. Asas Perlindungan
6. Asas
Keterbukaan
7. Asas
Efisiensi
8. Asas
Akuntabilitas
C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi
Yang Ada,
serta Permasalahan Tenaga Kerja Indonesi
1. Permasalahan Keselamatan
Kerja
a.
Permasalahan
Penganiayaan TKI
b.
Permasalahan
Pemerkosaan TKI
c.
Permasalahan
Pembunuhan TKI
2. Permasalahan
Kesehatan Dan
Kecelakaan Kerja
a.
Permasalahan
Sakit Di Tempat Penampungan
b.
Permasalahan
Sakit dan Cacat Fisik di Negara Tujuan
c.
Permasalahan
Kecelakaan Kerja
3. Permasalahan Upah Tenaga Kerja Indonesia
a.
Permasalahan
Hukum
b.
Timbulnya Kesempatan Pengguna
Jasa TKI untuk Tidak Memberi Upah Kepada TKI
c.
Kemampuan Pengguna Jasa untuk
Melakukan Pelanggaran dalam Hal Tidak
Membayar Gaji
4.
Permasalahan Penempatan
Tenaga Kerja Indonesia
a.
Tidak Sesuainya Bidang Kerja
yang Telah Dijanjikan Sebelumnya
Dalam Kontrak kepada TKI
b.
Penarikan pungutan tambahan
oleh para TKI setelah kepulangan
ke Indonesia
c.
Pemulangan TKI Dalam Keadaan,
Cacat atau Meninggal
5. Permasalahan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) TKI
a.
PHK secara Sepihak Pra Penempatan
b.
Permasalahan
Moratorium Pemerintah
c.
PHK
secara Sepihak Pada Masa Penempatan
D.
Solusi Permasalahan
1. Solusi Permasalahan Keselamatan Kerja
a.
Pihak
PPTKIS
b.
Pihak
Pemerintah
c.
Pihak Konsorsium
TKI
2. Solusi Permasalahan Kesehatan Dan Kecelakaan Kerja
3. Solusi Permasalahan Upah TKI
a.
Sistem yang
dapat dipaksakan oleh Negara
1)
TKI
2)
Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans)
3)
Kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI)/Perwakilan
Pemerintah di Luar Negeri
4)
Perusahaan
Pengerah TKI Swasta (PPTKIS)
5)
Konsorsium asuransi TKI
b.
Sistem yang
tidak dapat dipaksakan oleh Negara
4. Solusi Permasalahan Penempatan TKI
5. Solusi Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja
BAB
III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A.
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
B.
Undang - Undang No 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan
Dan Perlindungan TKI Di Luar Negeri
C.
Undang - Undang No 3
Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja
D.
Undang-Undang No 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, YURIDIS, DAN SOSIOLOGIS
A.
Landasan Filosofis
B.
Lansasan Yuridis
C.
Landasan Sosiologis
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Ketentuan Umum
B.
Tugas, Tanggung Jawab dan Kewajiban Pemangku Kepentingan
1.
Pemerintah
2.
Non Pemerintah
a.
PPTKIS
b.
Konsorsium Asuransi
C.
Hak Dan Kewajiban TKI
D.
Jaminan Sosial TKI
1.
Jaminan Keselamatan Kerja
2.
Jaminan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
3.
Jaminan Kematian
4.
Jaminan Atas Upah yang Layak
5.
Jaminan Penempatan
6.
Jaminan Dalam Pemutusan Hubungan Kerja
E.
Sistem Jaminan Sosial
TKI
1.
Program Asuransi TKI
a.
Jenis Program Asuransi
b.
Jangka Waktu Pertanggungan Asuransi TKI
c.
Klaim dan Kelengkapan Dokumen
2.
Program Perlindungan Hukum
a.
Program Perlindungan Hukum terhadap
Keselamatan Kerja
b. Program Perlindungan Hukum
atas Upah yang Layak
c.
Program Perlindungan Hukum
terhadap Kepastian
Penempatan
Kerja
d.
Program Perlindungan Hukum
dalam pemutusan hubungan kerja
F.
Pengawasan
BAB
VI PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah menjadi hal yang mendasar bahwa manusia sebagai
makhluk individual membutuhkan berbagai kebutuhan, seperti pangan, sandang, dan
papan. Di era globalisasi seperti sekarang,
kebutuhan akan sandang, papan dan pangan menjadi
semakin sulit untuk dipenuhi karena mulai menipisnya sumber daya alam. Pemenuhan kebutuhan tersebut akhirnya terkadang membuat banyak orang
melakukan berbagai tindakan demi mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Berangkat dari ketidakmampuan Negara
dalam memberikan pekerjaan dan kesejahteraan bagi warga negaranya membuat
sebagian warga negara memutuskan untuk mencari penghasilan di luar negeri sebagai
Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Pada
tahun 2002, berdasar hasil penelitian
terdapat beberapa faktor yang memengaruhi migrasi TKI ke luar negeri, di
antaranya adalah: faktor sosial, ekonomi, dan politik.[1]
Permasalahan atau faktor pendorong
banyaknya TKI yang memutuskan untuk bekerja di luar negeri pertama, lapangan
tenaga kerja dalam negeri yang kurang. Kedua, tentang upah buruh di Indonesia
yang sangat kecil juga menjadi alasan tersediri bagi warga Indonesia dalam
pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. TKI
yang bekerja di luar negeri memiliki harapan tinggi dalam mengubah kehidupannya
ternyata juga memiliki resiko yag tinggi dalam pekerjaanya tersebut. Devisa yang didapatkan oleh negara yang
dapat mencapai 60 triliun
rupiah setiap tahunnya, pada tahun 2006,[2]
ternyata tidak berbanding lurus dengan jaminan hak yang harus didapatkan para TKI dari pemerintah di negara tujuan.
Banyaknya
kasus dan permasalahan yang menimpa TKI di negara tujuan menunjukkan bahwa
pekerjaan tersebut memang memiliki risiko
yang sangat tinggi. Data pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kasus TKI yang
bermasalah berjumlah 16.064 kasus, dengan
penjabaran yaitu di Afrika sebanyak 101 kasus, di Eropa
67 kasus, di Amerika 37 kasus, di Pasifik 93 kasus, di Asia 3.113 kasus, di
Malaysia 2.066 kasus, di Timur Tengah 6.345 kasus, dan di Arab Saudi 4.242
kasus.[3]
Data ini jelas menunjukkan bahwa hingga
saat ini banyak dari warga negara Indonesia yang bekerja dibawah kondisi yang tidak
aman di negara tujuan.
Meski dalam kondisi yang tidak aman, tidak dapat dipungkiri bahwa minat warga
negara Indonesia yang bekerja diluar negeri sangatlah banyak, sehingga
pemerintah dalam hal ini seharusnya membuat regulasi khusus dalam mengatasi
kondisi yang dialami oleh waraga negara Indonesia di luar negeri.
Pengaturan
tentang perlindungan TKI sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan
Perlindungan TKI, akan tetapi ternyata dalam Undang-undang ini sangat sedikit
sekali pengaturan terkait dengan perlindungan TKI dan itu kurang begitu menunjang terkait jaminan sosial TKI di luar negeri,
terutama dalam bidang jaminan perlindungan hukum untuk TKI. Hal ini terbukti
dengan banyaknya kasus yang dialami oleh TKI diluar negeri sebagaimana yang
telah dipaparkan di atas.
Kurangnya peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang jaminan sosial yang memberikan perlindungan bagi hak TKI inilah yang
menyebabkan TKI bekerja dalam kondisi yang tidak memiliki jaminan kepastian
untuk dapat memperoleh hak-hak mereka yang seharusnya didapatkan. Oleh karena
itulah, Rancangan perundang-undangan terkait jaminan sosial bagi tenaga kerja
di Indonesia ini sangat diperlukan bagi TKI yang bekerja di luar negeri untuk
menjamin diperolehnya hak-hak dan perlindungan bagi TKI.
B.
Identifikasi Masalah
Permasalahan
utama yang dialami dalam jaminan sosial tenaga kerja ini dikelompokkan menjadi
5 pokok permasalahan besar, yaitu:
1.
permasalahan keselamatan TKI,
2.
permasalahan kesehatan dan kecelakaan kerja TKI,
3.
permasalahan upah TKI,
4.
permasalahan penempatan TKI, dan
5.
permasalahan pemutusan hubungan kerja TKI.
Kelima pokok
masalah diatas, menjadi masalah yang sering dialami oleh TKI saat ini. Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, pemerintah seharusnya
memberikan jaminan
terpenuhinya hak warga negaranya yang sulit dinikmati di luar negeri.
UUD 1945 pasal 1
ayat (3) telah menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga
peraturan perundang-undangan menjadi landasan dari segala bentuk pelaksanaan
pemerintahan. Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-undang yang mengatur
terkait dengan perlindungan TKI diluar negeri, hal ini bisa dilihat dengan
adanya UU No.
39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, akan
tetapi peraturan
terkait dengan perlindungan tenaga kerja dalam undang-undang tersebut
hanya diatur delapan pasal. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang ini sangatlah diperlukan demi
melindungi hak-hak dasar warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya para TKI.
Pembukaan UUD 1945 alinea keenpat memberikan tugas
konstitusional kepada pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia. tugas tersebutlah yang menjadi pertimbangan
dalam pembentukan RUU Jaminan Sosial
TKI ini, selain itu kondisi
perundang-undangan yang belum memberikan jaminan sosial TKI dan banyaknya
permasalahan yang dihadapi warga negara saat ini menjadikan alasan tersendiri
dalam pembentukan RUU Jaminan
Sosial TKI ini.
Demi
mewujudkan dan memenuhi atas tugas konstitusional
inilah, pemerintah perlu
mengatur beberapa lembaga terkait dalam penyelenggaraan dan pelaku
ketenagakerjaan Indonesia itu
sendiri,
yang selanjutnya diharapkan mampu menjamin hak-hak dasar TKI, baik pada saat
pra penempatan, ketika
penempatan maupun pasca penempatan.
C.
Tujuan Dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan
ruang lingkup identifikasi masalah diatas, maka tujuan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang
Jaminan Sosial TKI ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Memaparkan
peta permaslahan dan identifikasi masalah yang dihadapi oleh warga negara
Indonesia di luar negeri, khususnya para TKI.
2. Merumuskan
permasalahan hukum yang
dihadapi tersebut sebagai alasan pembentukan Rancangan Undang-undang jaminan
sosial TKI sebagai dasar hukum penyelesaian permasalahan yang sedang dialami oleh
para TKI.
3. Menganalisa
landasan filosofis, yuridis dan sosiologis sebagai dasar pembentukan Rancangan
Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.
4. Merumuskan
sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.
Atas
dasar inilah, Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI diperlukan untuk
disusun dan kemudian diharapkan dapat dijadikan landasan hukum penyelenggaraan
dan pelaksanaan dalam memberikan jaminan sosial bagi TKI yang tertib, terpadu,
terarah dan aman yang diselenggarakan secara terus menerus dalam rangka memberikan perlindungan kepada
warga negara di bidang ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri.
D.
Metode
Penyusunan Naskah Akademik
Metode yang digunakan dalam penyusunan Naskah
Akademik Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI ini adalah metode
yuridis-normatif, yang memusatkan pada kajian tentang norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan, baik yang masih berlaku ataupun
yang sudah digantikan oleh peraturan perundang-undangan lain. Dengan demikian
penelitian yang mendasari tim peneliti naskah akademik ini merupakan penelitian
doktrinal yang bersifat memberikan petunjuk dan menjelaskan guna menemukan
kaidah hukum yang menentukan apa yang menjadi hak dan kewajiban yuridis dari
subyek dan obyek hukum dalam situasi kondisi masyarakat tertentu.
Adapun
tipe pemaparan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini bersifat
deskriptif-analitis, sehingga kajian yang dilakukan dapat menjadi acuan komperehensif
bagi penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini
adalah konten analisis.
Konten analisis ini didasarkan pada
teori-teori yang ada. Konten
yang dimaksudkan adalah konten
dari sumber primer maupun sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan
tersier. Dengan analisa
semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai pustaka
yang ada dan searah
dengan objek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih
obyektif dan sistematis tentang Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI.
BAB
II
KAJIAN
TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A.
Kajian Teoritis
Hak asasi manusia adalah hak yang memang didapatkan manusia karena
seseorang merupakan bagian dari umat manusia. Hak asasi manusia ini umumnya
tidak dapat dicabut oleh siapapun, karena hakikatnya seseorang manusia akan
tetap menjadi manusia apapun yang dia kerjakan.[4] Dalam
perkembangan pemikiran mengenai hak asasi manusia ini, John Lock kemudian
membagi hak atas hidup, hak atas
kebebasan, dan hak atas kepemilikan menjadi bagian dari hak yang tidak dapat
dicabut lagi sekalipun oleh Negara. Hak tersebut kemudian diserahkan
kepengurusannya kepada Negara dengan adanya teori kontrak sosial.[5]
Pemikiran John Locke ini kemudian dapat diidentifikasikan kedalam
pemikiran Karel Vasak tentang pembagian ruang lingkup dari hak asasi manusia.[6] Karel
Vasak menggolongkan pemikiran John Locke ke dalam suatu golongan yang disebut Generasi Pertama
Hak Asasi Manusia. Hak ini bersifat negatif, yang artinya dalam pemenuhannya, Negara
diharapkan tidak banyak ambil bagian. Selain itu, Karel Vasak juga merumuskan
dua macam generasi hak asasi manusia lainnya. Generasi kedua yang meliputi
hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya serta generasi ketiga hak asasi manusia
yang berusaha merumuskan hak atas solidaritas.
Generasi kedua hak asasi manusia menurut Karel Vasak merupakan hak
positif, artinya Negara harus menjadi pemeran utama dalam pemenuhan hak ini.
Hak dalam generasi kedua ini muncul agar Negara mampu menyediakan kebutuhan
dasar setiap anggota dalam masyarakat di Negaranya.
Kaitan antara Negara dan hak asasi manusia tersebut kemudian diperjelas
dengan adanya doktrin dari Immanuel Kant.[7]
Walaupun dalam pemikirannya Kant lebih mengarah dalam hak generasi pertama,
yaitu ketika Negara pasif dalam pemenuhan hak-hak tersebut, namun ada kajian
penting dari Kant yang harus mendapat perhatian. Bahwa menurut Kant,
unsur-unsur Negara haruslah memiliki unsusr perlindungan terhadap hak asasi
manusia dan adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara tersebut. Teori tentang
pemisahan kekuasaan kemudian dikembangkan oleh F.J. Stahl dengan menambahkan
dua unsur dalam Negara, yaitu setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan serta adanya peradilan administrasi Negara yang
berdiri sendiri.[8]
Dengan adanya beberapa doktrin tersebut, kemudian menjadikan erat
kaitannya antara pemenuhan hak asasi manusia dengan Negara yang berdasarkan
hukum. Bukan karena hak asasi manusia diberikan oleh hukum, namun Negara hukum
harus mampu menjamin keberadaan hak asasi manusia. Dalam perkembangannya Negara
hukum yang menyentuh hak asasi manusia utamanya generasi kedua kemudian secara
perlahan berubah ke arah Negara kesejahteraan. Yaitu, Negara yang berperan
aktif utnuk mensejahterahkan rakyatnya.[9]
Negara Indonesia adalah Negara yang berusaha mengusung doktrin tersebut.
Hal ini dinyatakan dalam konstitusinya pasal 1 ayat 3 yang mengatakan bahwa Negara
Indonesia adalah Negara hukum. Namun, cita-cita untuk menjadikan Negara
Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan sebenarnya telah ada semenjak Negara
Indonesia lahir pada tahun 1945. Hal ini dibuktikan dengan adanya alinea
keempat pembukaan konstitusi Negara Indonesia.
Indonesia
secara yuridis kemudian
bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya yang tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4 yang merupakan konstitusi dari Negara Indonesia yang
berbunyi,
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia[10].
Dengan dicantumkannya hal tersebut dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, maka Negara Indonesia menjadi berkewajiban secara yuridis untuk
mensejahterahkan rakyatnya. Dalam KBBI, kesejahteraan sendiri diartikan sebagai
sebagai keadaan sejahtera.[11] Lebih
lanjut, dalam kepustakaan yang sama, sejahtera kemudian diartikan sebagai
keadaan makmur yaitu tidak kekurangan. Hal ini kemudian menjadi dasar implementasi Negara untuk membuat rakyatnya menggerakkan
perekonomian Negara dalam bentuk pengusahaan cipta ataupun karya yang dewasa
ini disebut dengan bekerja.
Namun menurut bukti empiris
Negara tidak mampu untuk menyediakan lapangan kerja terhadap penduduknya. Oleh
karenanya, masyarakat secara mandiri berinisiatif untuk mencari pekerjaan di
Negara lain. Atas dasar konsekuensi tersebut serta doktrin yang ada, bahwa Negara kemudian harus tetap bertanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat
tersebut, kendati mereka bekerja di luar negeri. Hal ini diperkuat dengan adanya teori kontrak
sosial dalam ranah pemenuhan HAM serta dicantumkannya dalam konstitusi dalam
klausa “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Jaminan itu
kemudian diterapkan dengan pembentukan sistem yang melindungi hak-hak mereka,
yang dalam kajian ini adalah hak mereka atas keselamatan dan kecelakaan kerja,
upah, kesehatan, hak mereka saat terjadi permasalahan pada aspek
penempatan, dan ketika terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK).
Bagan Kewajiban Negara Dalam Jaminan Sosial TKI
B.
Asas-Asas Dan Prinsip-Prinsip Penyusunan Norma
Asas yang dimaksud adalah asas yang dalam lingkup jaminan sosial TKI secara keseluruhan yang berlaku
dalam rancangan
undang-undang yang hendak dibuat. Asas ini merupakan hasil dari penelitian dan kajian dalam pemecahan permasalahan seputar jaminan
sosial TKI. Asas ini berfungsi sebagai landasan nilai mengapa dan bagaimana
undang-undang yang akan dibuat nantinya akan dilaksanakan. Asas-asas tersebut meliputi :
1.
Asas Kemanusiaan
Bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan
penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara
dan penduduk Indonesia secara proporsional. Berdasarkan
asas ini, maka para pihak-pihak yang memiliki kewenangan lebih dalam relasinya
dengan para TKI diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, dimana
mereka dilarang menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu atau bahkan menimbulkan kematian.
2.
Asas Keadilan
Bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga Negara. Asas keadilan pada dasarnya merupakan asas yang
mengamanatkan agar dalam setiap proses penempatan TKI, setiap pemangku
kepentingan tidak merugikan pihak lain dan memberikan kepada setiap orang apa
yang menjadi haknya.
Asas keadilan dalam proses penempatan TKI disini
menghendaki agar setiap pemangku kepentingan menyadari bahwa kewajiban untuk
tidak merugikan pihak lain serta kewajiban untuk memberikan kepada setiap orang
apa yang menjadi haknya mutlak harus dilaksanakan demi terciptanya keadilan
dalam proses penjaminan kesejahteraan TKI
baik pada pra-penempatan, masa-penempatan, maupun pada purna-penempatan. Asas ini bermuara pada upaya pencegahan (preventif) maupun
penindakan (repressif) terhadap tindakan-tindakan yang bersifat
diskriminatif, perampasan hak, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan,
dan lain-lain.
3.
Asas Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
Bahwa setiap materi
muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat
diskriminatif berdasarkan latar belakang
kehidupan seseorang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, dan
status sosial.
4.
Asas Kepastian
Hukum
Bahwa setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui
jaminan kepastian hukum. Asas kepastian hukum pada dasarnya merupakan asas yang
mengamanatkan agar dalam proses penempatan TKI, para pemangku kepentingan
merasakan adanya kepastian pada saat menghadapi persoalan hukum, baik pada saat
menuntut hak maupun pada saat melaksanakan kewajiban yang dibebankan oleh
hukum.
Asas kepastian hukum dalam proses penempatan TKI
disini menghendaki agar para pemangku kepentingan dijamin memperoleh haknya
berdasarkan hukum yang berlaku serta dijamin untuk tidak dapat
dipersalahkan pada saat melaksanakan
kewajiban hukum.
Asas kepastian
hukum disini bermuara pada upaya agar perumusan kaedah hukum dalam proses
penempatan TKI tidak tumpang tindih, selalu konsisten antara ketentuan hukum
yang satu dengan lainnya, serta mencegah perumusan kaedah hukum yang
multi-tafsir, serta mencegah terjadinya inkonsistensi dalam law enforcement.
5.
Asas
Perlindungan
Asas perlindungan
merupakan asas yang mengamanatkan agar hak atas perlindungan setiap calon TKI
serta setiap TKI yang sedang dalam masa penempatan maupun pada purna-penempatan
dijamin oleh setiap ketentuan hukum yang tercantum dalam undang-undang yang akan mengatur penempatan dan
perlindungan TKI.
Asas perlindungan
dalam proses penempatan TKI disini menghendaki adanya kewajiban bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses penempatan
TKI untuk memberikan perlindungan secara maksimal kepada
setiap calon TKI, setiap TKI pada masa-penempatan, maupun pada saat purna-penempatan. Oleh sebab itu, setiap warga Negara
Indonesia yang bekerja ke luar negeri wajib diberikan pelayanan dan kemudahan
dalam mempersiapkan diri. Selanjutnya, sebelum
proses pemberangkatan ke Negara tujuan penempatan, setiap TKI secara mutlak
harus dididik dan dilatih sedemikian rupa agar setiap calon TKI benar-benar
memiliki kemampuan berbicara dalam bahasa asing, memiliki ketrampilan dalam
melakukan pekerjaannya, sehat jasmani dan rohani, siap secara mental dan
spiritual. Pada pra, masa dan purna penempatan dijamin untuk mendapatkan
pelayanan di Negara dimanapun mereka berada serta dijamin mendapatkan bantuan maupun advokasi pada saat menghadapi persoalan-persoalan
yuridis maupun non-yuridis. Asas perlindungan
ini bermuara pada upaya pencegahan agar persoalan-persoalan TKI yang pada saat
ini telah bersifat laten dan menyengsarakan TKI, tidak terjadi lagi pada masa
mendatang.
6. Asas
Keterbukaan
Asas keterbukaan disini merupakan asas yang mengamanatkan
agar masyarakat, khususnya, para pemangku kepentingan dijamin haknya untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diperlakukan secara
diskriminatif.
Asas keterbukaan dalam proses penempatan TKI disini
menghendaki agar setiap TKI maupun pihak-pihak yang terkait lainnya memiliki
hak untuk tahu segala informasi yang merupakan kepentingannya. Asas Keterbukaan
ini bermuara pada upaya pencegahan terjadinya praktek persaingan usaha tidak
sehat, percaloan, praktek tindakan diskriminatif, human trafficking,
korupsi, kolusi, dan nepotisme.
7.
Asas Efisiensi
Asas efisiensi pada dasarnya merupakan asas yang mengamanatkan
agar dalam proses penempatan TKI, para pemangku kepentingan didayagunakan serta
dihasilgunakan secara maksimal. Asas ini juga menghendaki agar pelayanan dalam
proses penempatan TKI berjalan cepat, tepat, dan ekonomis dengan tetap
memperhatikan rasa keadilan bagi para pemangku kepentingan. Asas Efisiensi
disini bermuara pada upaya mencegah terjadinya proses penempatan TKI yang
berjalan tanpa kepastian akibat hukum yang tidak pasti sehingga menghasilkan
praktik percaloan, pengurusan dokumen yang berbelit-belit, biaya tinggi, dan
lain sebagainya.
8.
Asas Akuntabilitas
Asas akuntabilitas pada dasarnya merupakan asas yang
mengamanatkan agar setiap kegiatan penempatan TKI dan hasil akhir dari kegiatan
penempatan TKI harus dipertanggung-jawabkan kepada masyarakat. Asas ini menghendaki agar setiap kegiatan penempatan
TKI dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab dari semua pihak yang terkait
dalam pelaksanaan penempatan dan perlindungan TKI baik pemerintah maupun
swasta.
Asas akuntabilitas
disini bermuara pada upaya agar setiap proses penempatan TKI dilaksanakan
dengan menempatkan posisi TKI sebagai manusia dengan segala harkat dan
martabatnya. Dengan demikian kaedah-kaedah hukum yang menjamin TKI mendapatkan
pelayanan yang maksimal merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat diabaikan
begitu saja.
C.
Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi
Yang Ada, Serta Permasalahan TKI
Banyaknya
TKI yang berada di luar
negeri ternyata tidak sepenuhnya dapat dikontrol
oleh Negara, baik terkait dengan keselamatan kerjanya maupun kecelakaan kerja
yang dialami oleh warga Negara Indonesia di Negara tujuan.[12]
Hal ini tak terlepas dari lemahnya
pengaturan perlindungan TKI yang hanya diatur dengan delapan pasal pada undang-undang nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
TKI di Luar Negeri. Dalam
undang-undang tersebut pengaturan lebih didominasi pada masalah
penempatan TKI sedangkan dalam aspek perlindungan tidak
diatur secara spesifik mengenai hal tersebut. Padahal dalam konsep Negara hukum, Negara hukum diartikan
sebagai suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang
tersusun dalam suatu konstitusi, di mana pemerintah dan yang diperintah harus
tunduk pada hukum yang sama. Sehingga hukum diterapkan berdasarkan keadaan yang
sama atau berbeda secara rasional tanpa memandang perbedaan dari segi alamiah
yang hakikatnya tidak dapat dirubah.[13]
Bukan berarti, pandangan terhadap kajian UU No. 39 Tahun 2004 ini memandang
dari segi kuantitas. Namun, secara empiris delapan pasal tersebut memang
dinyatakan kurang mampu melindungi hak atas TKI.
Misalnya,
menurut Jamaluddin
Suryahadikusuma dari Serikat Buruh Migran Indonesia mengatakan bahwa data pada
tahun 2007 menunjukkan kedatangan TKI ke tanah air mencapai 290.091 orang dan
dari jumlah itu yang mengalami kasus sebesar 54.927 orang. Pada tahun 2008, TKI yang terkena kasus meningkat sekitar 25 ribu
kasus[14]. Data
yang diungkapkan dari serikat buruh migran ini memang belum spesifik
digolongkan pada data-data tiap
permasalahan yang ada dalam keselamatan kerja terkait dengan penganiayaan,
pemerkosaan serta pembunuhan yang membutuhkan advokasi hukum di Negara tujuan
dan kasus kecelakaan kerja yang dialami oleh para TKI dalam kasus lain.
Secara
spesifik terdapat enam permasalahan dalam jaminan sosial tenaga kerja,
meliputi:
1.
Permasalahan
Keselamatan Kerja
a.
Permasalahan
Penganiaayaan TKI
Menurut ketua komnas
perempuan, Yunianti Chuzifah, yang pernah melakukan riset pada tahun 2006 di
arab Saudi terkait dengan tindakan kriminal terutama penganiayaan yang
dilakukan oleh majikan terhadap TKI disana menyatakan bahwa kekerasaan yang
terjadi di arab Saudi tidak mengherankan sebab sistem sosial dan lingkungan
kerja di arab Saudi belum terbentuk baik untuk melindungi para buruh migran
disana[15]. Hal ini selain dikarenakan budaya di Arab Saudi yang terkadang masih mengganggap bahwa buruh itu
sebagai budak juga sistem tertutup masyarakat disana juga menutup diri dari
kontrol pihak asing, sehingga kejahatan-kejahatan yang dilakukan disana sangat
sulit diungkap dan diketahui oelh pihak pemerintah Indonesia disana.
Tidak adanya pengaturan
yang dibuat pemerintah untuk melindungi TKI menjadi masalah utama atas
ketidakberdayaan pemerintah dalam menangani dan menjaga TKI yang bekerja di Negara
tujuan, karena pengaturan inilah yang dapat melindungi TKI di Negara tujuan
terutama pengaturan terkait dengan Penyedia Jasa Tenaga kerja yang kadang tidak
bertanggung jawab atas permasalahan Tenaga kerja yang mereka kirim ke Negara
tujuan
Ketiadaan pengaturan
yang mengatur tentang Penyedia Jasa TKI dalam perekrutan dan pengiriman tenaga
kerja juga menjadi fokus utama permasalahan penganiayaan TKI di Negara tujuan,
seharusnya Penyedia jasa inilah yang kemudian bertanggung jawab dan melakukan
kontrol secara periodik dengan mitra kerja di Negara tujuan agar para TKI di Negara
tujuan dapat diketahui terus perkembanganya, selain itu KBRI sebagai penghubung
diplomatic antar Negara juga harus turut membantu pemantauan berkala kondisi
tenaga kerja di Negara tujuan agar kondisi para tenaga kerja dapat diketahui
dengan pasti dan dipastikan aman.
Pengguna Jasa TKI dalam
bekerja tentu memiliki hubungan dengan pihak mitra bisnis di tempat atau Negara
tujuan, mitra bisnis yang bekerja sama ini memang buka wilayah dari Negara ini
dalam pengaturan segala kebijakannya, akan tetapi kemampuan penyedia jasa TKI
dalam mengontrol kondisi TKI di Negara tujuan dapat dilakukan dengan bekerja
sama dengan pihak mitra bisnis terkait agar kondisi para tenaga kerja disana
dapat dikontrol dengan baik.
Penyedia jasa TKI dalam melakukan kerjanya tentunya
mendapat keuntungan dari setiap pemberangkatan dan kontrak yang dijalin dengan
mitra bisnis terkait dalam penyediaan tenaga kerja, keuntungan inilah yang
kadang hanya menjadi tujuan utama para penyedia jasa tenaga kerja di Indonesia
sehingga harusnya ada pengaturan yang seimbang, selain mereka mendapat
keuntungan dari bisnisnya, tanggung jawab atas TKI yang mendapat perlakuan yang
tidak semestinya juga dapat dibebankan kepada penyedia jasa tenaga kerja, hal
ini bisa dilakukan dengan kewajiban pemberian bantuan hukum kepada para TKI
yang mereka kirimkan ketika mendapat permasalahan hukum terkait dengan
penganiayaan.
b.
Permasalahan
Pemerkosaan TKI
Kasus Pemerkosaan TKI
menjadi hal yang perlu diperhatikan selain banyaknya kasus penganiayaan yang
terjadi, tercatat pada tahun,ada 159 bayi dilahirkan
oleh TKW di Arab saudi yang merupakan hasil pemerkosaan oleh sesama buruh
migran atau hubunga suka sama suka. Kebanyakan para pemerkosa ini tidak
mendapat hukuman dengan alasan kurang kuatnya barang bukti[16].
Menurut hasil dari wawancara dengan Drs. A. Habib Ma’sum[17]
bahwa
TKI yang mengalami kasus pemerkosaan seperti yang banyak diberitakan di media
massa disebabkan karena adanya pandangan oleh para majikan di Arab Saudi atau timur
tengah bahwa para tenaga kerja tersebut disamakan dengan budak, hal itu
dikarenakan adanya biaya yang cukup besar dalam mendatangkan TKI yang mencapai
sepuluh juta rupiah untuk setiap TKI.
Dalam tindakan preventif, pemerintah dan
beberapa pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas keselamatan kerja para TKI
di Negara tujuan, terutama timur tengah, ini juga kesulitan dalam melakukan
tindakan pencegahan atas tindakan tersebut, pasalnya bangunan dan tempat
tinggal penduduk timur tengah sangat tertutup, hal ini berlainan dengan
bangunan dan tempat tinggal di beberapa Negara yang sangat terbuka, seperti di
Taiwan, Hongkong
dan Malaysia.
c. Permasalahan Pembunuhan terhadap TKI
Ada tiga Negara yang memvonis TKI dengan
hukuman mati terbanyak, yang pertama yaitu Malaysia, kemudian Cina dan yang terakhir
adalah Arab Saudi, Data dari tahun 1999 hingga 2011 menyebutkan bahwa ada 303 TKI
yang terancam hukuman mati, dari 303 kasus. Malaysia menjadi Negara yang
memiliki daftar kasus WNI terancam hukuman mati terbanyak dengan jumlah 233
TKI. China berada di peringkat kedua dengan 29 orang TKI, dan Arab Saudi berada
di peringkat ketiga dengan 28 orang TKI.
Di bawah ini adalah
data kasus ancaman hukuman mati bagi para TKI di Negara tujuan mereka bekerja.
Kasus
Berdasarkan Negara:
-
Malaysia : 233
orang
-
China :
29 orang
-
Arab Saudi : 28
orang
|
Data
Berdasarkan Kasus:
-
Membunuh : 85 orang
-
Narkoba : 209 orang
-
Kekerasan : 1 orang
-
Lain-lain : 8 orang
|
Data
terakhir di Arab Saudi:
-
Dieksekusi : 2
orang
- Bebas hukuman mati : 6orang
-
Masih proses pengadilan : 17 orang
-
Berhasil dibebaskan : 3 orang
|
Berdasarkan
kasus di Arab Saudi:
-
Membunuh : 22 orang
-
Narkoba : 0 orang
-
Kekerasan : 1 orang
-
Lain-lain : 5 orang
|
Data
terakhir di Malaysia:
-
Dieksekusi : 0
orang
-
Bebas hukuman mati : 32 orang
-Masih proses pengadilan : 177 orang
-
Berhasil dibebaskan : 24 orang
|
Berdasarkan
kasus di Malaysia:
- Membunuh : 50 orang
-
Narkoba : 180orang
-
Kekerasan : 0 orang
- Lain-lain : 3 orang |
Data
terakhir di China:
-
Dieksekusi : 0
orang
-
Bebas hukuman mati : 9 orang
- Masih proses pengadilan: 20 orang - Berhasil dibebaskan : 0 orang |
Berdasarkan
kasus di China:
- Membunuh : 0 orang
-
Narkoba : 29 orang
-
Kekerasan : 0 orang
-
Lain-lain : 0 orang
|
Dari data statistik tersebut[18],
ada dua hal yang menyebabkan para TKI di Negara tujuan dikenankan ancaman
hukuman mati, yaitu karena membunuh dan kasus narkoba. Ada dua kemungkinan yang
dapat terjadi atas banyaknya kasus TKI yang mendapat ancaman hukuman mati ini,
yang pertama yaitu disebabkan karena ketidaktahuan TKI atas Larangan atau
menjauhi segala tindakan yang berhubungan dengan Narkoba yang seharusnya telah
diberikan saat pendidikan dan pelatihan TKI oleh Penyalur Jasa TKI atau memang TKI
sendiri yang tergiur dengan bisnis terkait dengan Narkoba tersebut.
Sementara dalam kasus ancaman pembunuhan
yang disebabkan oleh tindakan TKI yang melakukan pembunuhan, mungkin hal tersebut dapat
diselidiki lebih dalam lagi alasan daripada TKI melakukan tindakan pembunuhan
yang dilakukan di Negara tujuan tersebut, apapun alasanya Negara memiliki
kewajiban dalam melindungi warga Negaranya yang mendapat ancaman hukuman mati
di Negara-Negara lain, karena pada dasarnya tugas Negara adalah melindungi
warga Negaranya.
2. Permasalahan
Kesehatan
dan Kecelakaan
Kerja
TKI
a. Permasalahan Sakit di Tempat Penampungan
Dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan
Perlindungan TKI di Luar Negeri, tepatnya di bagian kedua pasal 31 ayat 4
dijelaskan mengenai kegiatan pra penempatan TKI di luar negeri yang salah
satunya mengenai pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Maksud dari pemeriksaan
kesehatan tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal 48 bahwa pemeriksaan
kesehatan dan psikologi bagi calon TKI dimaksudkan untuk mengetahui dengan
kesehatan dan tingkat kesiapan psikis serta kesesuaian kepribadian calon TKI
dengan pekerjaan yang akan dilakukan di Negara tujuan.
Ketika berada di
penampungan, seorang TKI akan melalui tahap health
check-up atau cek kesehatan tidak hanya secara fisik tetapi juga mencakup
psikis. Timbulnya permasalahan kesehatan yang menimpa TKI di tempat penampungan
seharusnya mampu diidentifikasi melalui cek kesehatan tersebut.
Namun, dalam praktiknya, seorang calon TKI masih mungkin untuk sakit ketika
dalam masa penampungan. Padahal, calon
TKI yang masih berada di tempat penampungan tidak memiliki akses untuk menadapatkan
perawatan kesehatan sebagaimana mestinya yang diatur dalam Undang-undang.
Mereka tidak mendapatkan perawatan yang memadai selama berada dalam proses karantina, di samping itu pula ketatnya
pengawasan dari petugas PPTKIS dan jadwal kegiatan di penampungan membuat
mereka tidak bisa keluar dari penampungan untuk mendapatkan obat yang sesuai
dengan penyakit.
b.
Permasalahan
Sakit dan Cacat Fisik di Negara Tujuan
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 mengenai Penempatan dan Perlindungan
TKI di Luar Negeri tepatnya Pasal 51 dalam paragraph 5 tentang pengurusan
dokumen huruf e, untuk dapat ditempatkan
di luar negeri, calon TKI harus memiliki dokumen yang meliputi surat keterangan
sehat berdasarkan hasil-hasil pemeriksaan kesehatan dan psikologi. Sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang TKI yang mendapatkan
kesempatan untuk bekerja di luar negeri adalah sehat secara fisik dan psikis. Namun, dengan adanya check up tersebut, tidak menjamin bahwa
TKI akan menjadi sehat selama melaksanakan perjanjian kerja. Hal ini terkait
baik kesehatan jiwa maupun raga dari TKI tersebut, bisa saja dipengaruhi oleh
lingkungan kerja, perubahan budaya, serta ketidakmampuan dalam beradaptasi di Negara
lain.
Hal ini kemudian diperparah
dengan sulitnya para TKI untuk mengakses rumah sakit ketika TKI tersebut ketika
sakit. Bsalah satu hal yang menjadi penyebab adalah TKI tersebut tidak membawa
uang tunai. Padahal sebelumnya ada mekanisme asuransi yang selama ini telah
diberlakukan atas dasar peraturan menteri nomor PER.07/MEN/V/2010, yang
seharusnya menjamin hal tersebut. Namun dalam tataran praktis, hal tersebut
tidak berjalan efektif, karena klaim hanya dapat dilaksanakan di Indonesia.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
masalah-masalah yang didapatkan oleh TKI dalam mendapatkan akses kesehatan di
Negara tempatnya bekerja tidak hanya berhenti hingga masa bekerja selesai.
Ketika sakit tersebut berujung menjadi sakit permanen atau biasanya berupa
cacat tubuh dan gangguan kejiwaan, maka hal itu akan terbawa hingga kembali ke
negeri asal.
Tetapi, meski TKI
tersebut telah kembali ke Negara asalnya, perawatan medis yang dilakukan telah
terlambat atau bahkan mereka tidak mendapatkan perawatan sama sekali. Fasilitas
perawatan/pengobatan yang seharusnya diterima TKI tidak disediakan oleh pihak
PPTKIS atau pemerintah Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab atas
kepulangan TKI.
Sebagai gantinya,
program asuransi yang telah dibayar dan dijanjikan kepada pihak TKI belum tentu
menjadi milik TKI tersebut sepnuhnya,
meski mereka telah terbukti mengalami gangguan kesehatan yang dibawa dari
tempat bekerja. Untuk mengklaim hak atas asuransi tersebut, TKI perlu mengikuti
alur atau prosedur birokrasi yang betele-tele dan tak jarang justru merugikan
pihak TKI sendiri.
Seperti halnya kasus kecelakaan kerja yang menimpa TKI asal
Indramayu, Rokiyah binti Dulkarim (41) yang menderita kelumpuhan akibat tulang
belakang patah. Bahkan organ saluran pembuangan urine dan buang air besar pun
sama sekali tidak bisa disembuhkan akibat kerusakan pada saraf besarnya. Ia
menderita lumpuh sepulang dari Negara Jordan, tempatnya bekerja sebagai Penata
Laksana Rumah Tangga (PLRT). Rokiyah pulang dalam keadaan lumpuh karena
menderita tulang belakang dan pinggul patah akibat jatuh dari lantai 2 saat membersihkan
kaca di rumah majikannya. Akibat tidak jelasnya PPTKIS yang memberangkatkan,
Rokiyah pun tidak mendapatkan hak asuransi TKI disamping harus merasakan
penderitaan cacat seumur hidup[19].
c. Permasalahan Kecelakaan Kerja TKI
Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga
Kerja (Binapenta) Kemenakertrans Reyna Usman Ahmadi mengatakan Kecelakaan kerja
TKI menurun dari 867 kasus menjadi 732 kasus pada tahun 2011.[20]
Meski jumlah ini menurun dari tahun sebelumnya, bukan berarti ini tidak
memerlukan perbaikan dan pembenahan atas kejadian kecelakaan kerja yang dialami
oleh TKI tersebut mengingat hal
tersebut mampu berdampak pada kesehatan fisik maupun psikis TKI.
Kecelakaan yang dialami oleh TKI ini
bisa disebabkan dengan adanya ketidaksesuaian pekerjaan yang harus dilakukan
oleh TKI di Negara tujuan dengan perjanjian kerja yang telah disepakati. Dalam
kasus kecelakaan kerja yang dialami Kunaesih, TKI PLRT asal Indramayu, Jawa
Barat, baru-baru ini yang terjatuh dari lantai 6 tempat bekerjasama di
apartemen majikannya di Singapura merupakan bukti dari tidak jelasnya cakupan
kerja yang ia lakukan. menurut Direktur Advokasi dan Perlindungan BNP2TKI
Kawasan Asia Pasifik dan Amerika H Sadono seharusnya pekerjaan mengelap kaca
itu tidak masuk dalam item di Perjanjian Kerja (PK) soalnya profesi itu
seharusnya dilakukan oleh teknisi berpengalaman dan pekerjaan itu dilengkapi
dengan standar pengamanan yang tinggi.[21]
TKI yang melakukan
kegiatan yang tidak diperjanjikan didalam perjanjian kerja tersebut tentunya
akan sangat tidak memahami peralatan yang akan digunakan dalam pelaksanaan
kerjanya, karena tidak pernah dilakukan pelatihan akan hal tersebut. selain itu
juga tentunya seorang TKI juga tidak dapat menentukan bagaimana penggunaan
standarisasi pengamanan dalam pelaksanaan kegiatan yang tidak diperjanjikan.
hal ini sudah tentu akan beresiko terhadap TKI atas kecelakaan kerja yang
menimpanya.
3.
Permasalahan Upah TKI
Dalam analisa masalah dalam hak
mendapatkan upah TKI ini terdapat masalah induk, yaitu TKI yang tidak digaji[22]
dan TKI yang digaji dengan tidak seimbang[23].
a.
Permasalahan Hukum
Masalah ini terkait adakah dasar hukum
untuk melindungi hak terhadap upah para TKI ini. Dalam konteks hukum nasional,
induk dari perlindungan hukum atas TKI secara spesifik merujuk pada UU No. 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan perlindungan TKI.
Walaupun kemudian diperjelas dengan
beberapa aturan organis lainnya seperti Peraturan menteri PER.07/MEN/V/2010 namun hal tersebut
tidak serta merta memberikan perlindungan konkrit atas upah. Hal tersebut terjadi
akibat Negara tidak mampu memaksakan hukumnya kepada warga Negara asing di
Negaranya yang bertindak sebagai majikan yang memberikan upah terhadap TKI.
Dalam kaitannya dengan hukum internasional, perjanjian bilateral bisa menjadi
suatu acuan dalam pelaksanaan penjaminan hak ini. Namun, MoU utamanya terkait
upah standar TKI jarang disepakati oleh kedua belah pihak Negara.[24]
b.
Timbulnya
Kesempatan Pengguna Jasa TKI untuk Tidak Memberi Upah Kepada TKI
Kesempatan untuk melakukan hal ini
utamanya berada pada pihak pengguna jasa TKI yang karena dasar hukum nya tidak
ada kemudian bisa terbebas dari segala tuntutan nantinya, walaupun kemudian ada
kontrak, namun hal ini tidak bisa dijadikan penutup dari kesempatan karena
tidak ada suatu pihak yang berwenang jika terjadi sengketa.
c. Kemampuan
Pengguna Jasa untuk Melakukan Pelanggaran dalam Tidak Membayar Gaji
Masalah ini muncul
karena hukum dan adanya
kesempatan, selain itu faktor “pendatang” dari TKI yang dalam hal ini kurang
mendapat perlindungan hukum baik karena procedural maupun konteksnya.
Selanjutnya masalah sosialisasi terhadap
hak TKI serta cara pengajuan penuntutannya jika terjadi masalah juga sangat
bermasalah. Hal ini terkait kepemahaman dari TKI itu sendiri yang kurang
matang, maupun BNP2TKI selaku penanggung jawab pembuatan kurikulum pelatihan
yang juga memberikan sosialisasi terhadap penanganan dalam munculnya masalah
tidak melaksanakan sosialisasi tersebut secara periodik berkala.
4. Permasalahan Penempatan TKI
a. Tidak Sesuainya Bidang Kerja yang Telah Dijanjikan Sebelumnya Dalam
Kontrak kepada TKI
Persoalan utama TKI di luar negeri adalah maraknya
tenaga kerja ilegal. Beberapa dari para TKI tidak tahu bahwa selama ini jalur
agen TKI ataupun calo TKI yang selama ini mereka tempuh dalam mengurusi keadministrasian tersebut ternyata illegal. Hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi
pemerintah dalam menyebarluaskan informasi mengenai prosedur dan cara yang di
tempuh ketika ingin menjadi TKI.
Permasalahan yang lainnya adalah banyaknya
TKI yang menjadi korban karena ketidak sesuaian pekerjaan yang sebelumnya sudah
tertera dan ditandatangani dalam kontrak ternyata TKI tersebut dipekerjakan di sektor lain yang tidak sesuai dengan perjanjian.
b. Penarikan
Pungutan Tambahan oleh para TKI setelah kepulangan ke Indonesia
Peraturan administrasi yang berbelit-beli menyebabkan
banyaknya peluang untuk melakukan pungutan liar yang di lakukan oleh para pihak
luar. Sehingga karena peraturan administrasi yang berbelit belit dan kurangnya
pengawasan yang serius dari pemerintah indonesia sehingga menyebabkan TKI
menjadi korban.
c. Pemulangan
TKI Dalam Keadaan, Cacat atau Meninggal
Peninggalan tanggung jawab yang dilakukan oleh PPTKIS maupun PPTKIS menyebabkan ketidakpastian kepulangan TKI di
indonesia . karena hal ini banyak para TKI indonesia menjadi korban karena
ketidak tanggungjawaban PPTKIS maupun
tanggung jawab BNP2TKI untuk serius bertanggung jawab dalam tugas yang
seharusnya telah menjadi tanggung jawabnya.
5.
Permasalahan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) TKI
a.
PHK secara Sepihak
Dalam hal PHK sepihak oleh pihak pengguna diartikan
juga sebagai pembatalan kontrak antara pengguna jasa dengan TKI yang dilakukan
pra-pemberangkatan atau pra-penempatan. Nasib TKI yang ingin ke luar negeri
namun tidak ada kepastian tentang kapannya mereka akan diberangkatkan ke negara
tujuan harus ditambah lagi dengan ketidakjelasan pemutusan hubungan kerja (pemutusan kontrak) secara
sepihak. Padahal, banyak di antara mereka yang memperoleh biaya pemberangkatan
dari uang pinjaman. Tanpa adanya pengaturan mengenai hal ini, tentunya akan
menjadi permasalahan yang kompleks untuk
diatasi, karena hal ini menyangkut kepentingan hidup para TKI yang ingin
mendapatkan penghidupan bagi diri sendiri, dan keluarga.
b. Permasalahan Moratorium Pemerintah
Nasib para TKI yang seharusnya diberangkatkan ke negara tujuan harus
pupus akibat adanya kebijakan pemerintah untuk memberhentikan sementara para
TKI (Moratorium). Hal ini tentunya berimplikasi negatif maupun positif pada
para TKI yang telah memiliki kontrak dengan pengguna jasa. Dampak negatif dapat
dilihat dari kerugian yang dialami oleh para TKI karena sebelumnya telah
membayarkan sejumlah premi untuk asuransi. Sedangkan dampak positif dari keputusan
pemerintah terkait moratorium atau penghentian sementara TKI sektor rumah
tangga ke Arab Saudi yang disampaikan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono beberapa waktu yang lalu adalah pemerintah mempunyai kesempatan untuk
membenahi sistem rekruitmen dan pengiriman TKI ke luar negeri, khususnya untuk
sektor informal.
Kebijakan pemerintah ini ditanggapi beragam oleh sejumlah kalangan.
Menurut kalangan pengusaha pengerah tenaga kerja, kesempatan moratorium ini
berpotensi menimbulkan gejolak di masyarakat, khususnya di daerah sumber
tenaga kerja, seperti di Nusa Tenggara Barat. Mengingat di wilayah ini
terdapat sekitar 280 perusahaan pengerah tenaga kerja, yang mengirimkan
sedikitnya 60 ribu TKI ke luar negeri, dimana lebih dari setengahnya
adalah TKI ke Timur Tengah. Moratorium ini juga berpotensi menurunkan
kiriman uang dari luar negeri atau remiten ke NTB, yang selama ini
berjumlah lebih 700 milyar rupiah pertahunnya. Di sisi lain,
kesempatan ini harus dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait untuk mengevaluasi
kinerja kementerian tenaga kerja, BNP2TKI, serta KBRI di Arab Saudi, yang
dinilai gagal memberi perlindungan terhadap para TKI sehingga muncullah
kebijakan moratorium ini. Kesempatan moratorium ini juga harus dimanfaatkan
pemerintah untuk meningkatkan nilai tawar TKI kepada pemerintah dan
masyarakat Arab Saudi.
Pemerintah hingga saat ini terus merumuskan
berbagai kebijakan, untuk mengatasi dampak pelaksanaan moratorium
tersebut. Menurut Muhaimin Iskandar selaku Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, antisipasi dampak moratorium dilakukan semua kantor kementerian,
dengan cara mengefisienkan anggaran guna mendukung peningkatan lapangan kerja.[25]
Namun, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
dengan nasib para TKI yang telah mempunyai kontrak dengan pengguna jasa terkait
dan yang seharusnya pula telah di berangkatkan ke Negara tujuan, tetapi akibat
adanya moratorium pemerintah ini mereka gagal untuk diberangkatkan.
c. Pemutusan
Hubungan Kerja Secara Sepihak oleh Para Majikan
PHK secara sepihak oleh para majikan dalam pembahasan sub-bab ini diartikan sebagai
pembatalan kontrak antara pengguna jasa dengan TKI yang dilakukan pada masa
penempatan. Dari data yang didapatkan jumlah TKI korban PHK di luar negeri
ternyata cukup besar. Data BNP2TKI
periode Januari-Oktober 2009 menyebutkan ada 11.036 orang terkena PHK secara
sepihak oleh majikannya.[26]
Atas hal tersebut maka pemerintah bertanggungjawab
untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI diluar negeri. Namun masalah perlindungan TKI di luar negeri amat
ditentukan oleh penyiapan mereka di dalam negeri. Hampir 80 persen permasalahan TKI di Negara penempatan bersumber
dari kurang bagusnya penyiapan keterampilan TKI di dalam negeri.
Menurut Lisna
Poeloengan, selaku Deputi Perlindungan BNP2TKI tentang permasalahan tersebut
bahwa perlu adanya penegasan terhadap pentingnya pemangku kepentingan atau
stakeholder bekerjasama di Negara penempatan TKI, agar penanganan masalah
perlindungan lebih terfokus dan serius.
D.
Solusi Permasalahan
1. Solusi Permasalahan
Keselamatan Kerja
Solusi dari permasalahan yang terjadi dalam kajian jaminan sosial terhadap TKI tentunya bisa dipecahkan
dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk dapat mengatur
beberapa pihak yang terkait dalam tindak pencegahan maupun penanggulangan dalam
segala permasalahan yang ada terkait dengan TKI. Beberapa pihak yang terkait
dengan permasalahan diatas dan dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan
ini yaitu:
a. Pihak PPTKIS
Dalam hal penganiayaan yang menimpa terhadap TKI, PPTKIS
diharapkan dapat memberikan pelatihan pra penempatan dengan lebih baik, karena
hal ini ketidakmampuan TKI dalam bekerja menjadi penyebab terjadinya tindakan
penganiayaan terhadap TKI.
Pelatihan yang dilakukan dapat berupa pengetahuan budaya, bahasa dan lainya
yang sekiranya memiliki kemungkinan terjadinya kesalahpahaman antara majikan dengan TKI tersebut.
Selain hal di atas
PPTKIS juga harus melakukan kontrol dan pengawasan melalui mitra kerjanya diNegara
tujuan, hal tersebut mungkin bisa dikerjasamakan dengan KBRI setempat, dan
pengawasan terhadap TKI tersebut harus dilakukan secara periodik dan terus
menerus. Dalam hal kecelakaan kerja dan keselamatan kerja ini PPTKIS
juga diharuskan mengasuransikan TKI yang dikirimkan kepada perusahaan asuransi
yang ditunjuk oleh pemerintah, agar TKI yang mengalami kecelakaan dan keselamatan
kerja ini dapat klaim asuransi sebagaimana telah diatur dalam perundang-undangan
yang berlaku.
b. Pemerintah
Keterkaitan pemerintah dalam permasalahan jaminan keselamatan dan
kecelakaan kerja ini bisa diwakilkan oleh dua pihak, yang pertama adalah Badan Negara
Penempatan dan Perlindungan TKI (BPN2TKI) dan Kedutaan Besar Republik
Indonesia. dalam hal kasus penganiayaan ini KBRI diharapkan dapat memberikan
tindakan preventif dengan melakukan koordinasi dengan mitra kerja para PPTKIS
yang ada di Negara tujuan setempat
yang dilakukan secara periodik dan terus menerus. Hal ini diharapkan dapat meminimalisir
adanya praktek penganiayaan yang terjadi terhadap TKI.
KBRI pada dasarnya memiliki kewajiban untuk menjalin dan menjadi
perantara hubungan antar dua Negara, tugas yang dimiliki oleh KBRI ini
diharapkan mampu mensosialisasikan terhadap Negara setempat bahwa pada dasarnya
TKI yang bekerja di Negara tujuan tersebut bukanlah budak, paradigma di Negara
timur tengah yang menganggap bahwa pembantu rumah tangga yang bekerja di timur
tengah itu sama dengan budak, sehingga dapat diperlakukan dengan sekehendak
hatinya merupakan tindakan yang tidak benar, hal ini mungkin dapat
meminimalisasi terjadinya kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi terhadap TKI
yang bekerja di Timur tengah.
BNP2TKI dibentuk dengan dasar
hukum Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 2004 dan memiliki tugas dalam perlindungan TKI, dalam hal
kecelakaan dan keselamatan kerja tentunya peran BNP2TKI ini sangatlah penting
sekali. Perlindungan yang dapat dilakukan dan dijalankan oleh BNP2TKI ini dapat
berupa jaminan perlindungan hukum yang harus diberikan kepada TKI yang
mengalami kasus hukum yang berkaitan dengan kecelakaan kerja maupun keselamatan
kerja, baik kasus penganiayaan, pemerkosaan maupun kasus ancaman pembunuhan dan
hukuman mati di Negara tujuan.
Selain tindakan jaminan hukum yang diberikan kepada TKI,
BNP2TKI juga dapat menindaklanjuti pelaporan dari PPTKIS atau KBRI di Negara
tujuan dengan melakukan pemantauan terhadap sistem pengawasan yang dilakukan
oleh PPTKIS dan KBRI yang dilakukan secara periodik, sehingga kerja dari
BNP2TKI dapat dilakukan dan berjalan dengan sebagaimana mestinya.
c. Konsorsium TKI
Pihak
Konsorsium atau pihak Asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah dalam penjaminan
asuransi TKI ini haruslah bertindak aktif dalam memantau proses asuransi yang
dilakukan oleh PPTKIS terhadap TKI yang diberangkatkan, supaya tidak ada lagi
para TKI yang diberangkatkan tanpa dijaminkan keselamatan dan kecelakaanya
kepada pihak asuransi.
2.
Solusi Permasalahan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
Dalam menghadapi
permasalah-permasalah di atas ketika TKI sedang tidak berada di negara asalnya, hal tersebut menjadi beban bagi TKI
terutama dalam dua hal. Pertama, tidak
adanya uang untuk mengobati penyakit dan yang kedua adalah adanya keterbatasan akses pengobatan (rumah sakit atau
apotek). Dalam hal ini, terutama dalam aspek sakit yang sifatnya darurat, baik yang
berasal dari penyakit maupun dari kecelakaan kerja, sangat tidak implementatif
jika disolusikan dengan solusi yang ada. Hal ini terkait keterlambatan
pemberian solusi nantinya, karena hanya bisa mengajukan klaim di Negara
Indonesia. Walaupun pihak PPTKIS dapat menjadi kuasa untuk pengajuan klaim
tersebut, namun hal ini cenderung akan berbelit-belit.
Pemikiran
tentang solusi terhadap hal ini bermula dari keinginan untuk mampu menjawab
atas permasalahan tersebut, dengan efektif, efisien dan implementatif. Dalam
hal ini, sistem yang telah ada berusaha untuk disempurnakan sehingga lebih
efisien. Sistem yang ada saat ini adalah adanya program asuransi terhadap
kesehatan dan kecelakaan kerja. Agar program tersebut dapat berjalan efektif,
diperlukan suatu sarana di negara tujuan untuk menjadi pihak yang dapat
menerima klaim TKI.
Solusi
yang diberikan secara kongkrit adalah, konsorsium asuransi tersebut kemudian
diwajibkan untuk bekerjasama dengan pihak rumah sakit di negara tujuan. Dengan
adanya hal ini, TKI yang sakit, secara mudah tinggal menuju rumah sakit yang
bekerjasama dengan konsorsium asuransi TKI, dengan menunjukkan bukti
kepesertaan asuransi tersebut tanpa dipungut biaya sepeserpun, yang kemudian
konsorsium asuransi TKI tersebut nantinya akan ditagih oleh rumah sakit yang
bekerjasama dengannya, guna membayar biaya pengobatan TKI yang datang berobat.
3. Solusi Permasalahan Upah TKI
Solusi utamanya adalah Negara membuat suatu sistem
yang komprehensif, efektif dan efisien serta implementatif yang terintegrasi
demi suatu tujuan yaitu penjaminan hak mendapatkan upah. Dalam hal ini, Negara
diwajibkan membuat sistem yang kemudian terbagi ke dalam dua ranah, sistem yang
dapat diberlakukan karena Negara memiliki daya paksa, dan yang kedua sistem
yang dapat diberlakukan walau Negara tidak memiliki daya paksa. Perbedaan
mencolok dari kedua sistem ini adalah hal-hal yang dapat dipaksa Negara atau
tidak.
a. Sistem
yang dapat dipaksakan oleh Negara
Sistem ini timbul akibat Negara secara yuridis
memiliki yurisdiksi terhadap pengaturan hukum, pelaksanaannya, serta mengadili
permasalahan di dalam wilayah teritorialnya, atau yang ditentukan lain menurut
hukum kebiasaan Internasional dan perjanjian internasional baik yang sudah
dikodifikasikan maupun yang tidak dikodifikasiakan. Beberapa pihak yang terikat
karenanya dalam konteks ini adalah, TKI itu sendiri, Menakertrans, BNP2TKI,
KBRI, PPTKIS, serta konsorsium TKI yang dapat dipaksa Negara agar menjadi
solusi dalam timbulnya kasus ini.
1)
TKI
Merupakan individu yang terdaftar secara legal
untuk bekerja di luar negeri agar mendapat suatu upah dari pengguna jasanya.
Dalam hal ini, Negara mampu memaksa TKI untuk melakukan tindakan preventif dan
represif atas kasus tidak diberikan upah padanya. Tindakan preventif ini
meliputi pelatihan kepada TKI serta sosialisasi terkait upah merupakan hak yang
harus dipertahankan. Pelatihan diberikan agar pengguna jasa puas terhadap TKI
sehingga membayarkan upahnya secara seimbang sesuai dengan kontrak. Selain itu
Negara memaksa TKI untuk mengikuti suatu program asuransi jika sengketa upah
terjadi di luar perkiraan.
Tindakan represif meliputi hal-hal yang dipaksa oleh Negara di lakukan
oleh TKI baik secara mandiri maupun
dengan bantuan PPTKIS selaku penanggung jawab atas keberangkatan TKI. TKI
diwajibkan segera menyelesaikan sengketanya, baik secara personal maupun secara
mediasi dengan majikannya. Dalam hal ini, TKI diwajibkan melapor kepada PPTKIS
yang memberangkatkannya, atau KBRI di Negara tempat bekerja.
2) Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Menakertrans)
Menakertrans adalah menteri tenaga kerja dan
transmigrasi yang dipaksa oleh Negara baik secara preventif maupun represif
dalam kaitannya pemberian upah. TIndakan preventif yang dipaksa Negara adalah
penunjukan konsorsium asuransi yang akuntabel dan transparan guna menjadi
perusahaan resmi asuransi TKI yang diwajibkan Negara beserta prosedur resmi
pencairan dana klaim yang akuntabel, selain itu mengusulkan kemenlu merumuskan
MoU tentang upah untuk disetujui oleh Negara tujuan TKI, Tindakan represif dari
menteri ini baru dilakukan atas dasar kewenangannya untuk turut bertanggung
jawab ketika TKI mengalami masalah dalam hal pemberian uppah.BNP2TKI
BNP2TKI Adalah badan yang dibentuk oleh pemerintah yang dalam konteks
ini sebagai badan yang melindungi tercapainya hak-hak TKI terutama dalam
masalah upah. Tindakan preventif yang dilaksanakan oleh BNP2TKI adalah dengan melakukan koordinasi terkait
kewenangannya dengan menakertrans dalam hal perlindungan TKI. Selain itu juga
mengadakan penyuluhan, pelatihan terhadap TKI. Sedangkan tindakan represif
meliputi menyiapkan bersama-sama KBRI team mediasi maupun advokasi jika terjadi
sengketa pelik antara para pihak serta meminta pertanggung jwaban PPTKIS
sebagai penyalur dalam bentuk penuntutan kontrak kepada media jasa.
3) Kedutaan
Besar Republik Indonesia (KBRI)/Perwakilan Pemerintah di Luar
Negeri
Merupakan perwakilan Negara di luar negeri dalam
hal melindungi kepentingan warga Negaranya dalam pemenuhan hak yang ditanggung
oleh Negara. Tindakan Preventif dari KBRI adalah dengan melaksanakan pendataan
utnuk setiap KBRI yang masuk ke dalam wilayah Negara tujuan, sehingga dapat
dilakukan pemantaun secara berkala terhadap Negara tujuan. Sedangkan untuk
tindakan represifnya adalah melakukan mediasi, serta advokasi yang bekerjasama
dengan BNP2TKI dan PPTKIS. Dalam hal pendanaan advokasi serta mediasi, KBRI
meminta klaim atas nama TKI dalam hal pencairan dananya.
4)
Perusahaan Pengerah TKI
Swasta (PPTKIS)
Merupakan penyalur jasa TKI yang betanggung jawab secara mandiri dengan
sistemnya sendiri berdasarkan pengawasan pemerintah untuk melindungi TKI yang
dia kirimkan. Tindakan preventif yang dilaksanakan PPTKIS sangat banyak, mulai
dari memastikan kontrak yang diterima TKI aplikatif serta sesuai dengan
standard upah berdasar MoU atau berdasar keputusan menteri, dan sesuai menurut
hukum, kemudian memastikan seluruh administrasi terkait asuransi penjamin upah
TKI telah dilakukan. Kemudian secara berkala melakukan kontak dengan TKI atau
media jasa terkait pemberian upah TKI tersebut. Tindakan represifnya adalah,
melaporkan kepada BNP2TKI dan turut serta dalam proses mediasi maupun advokasi jika
terjadi sengketa. Jika berakhir pelik, maka PPTKIS bertanggung jawab untuk
membantu pencairan premi atas upah dengan menyertakan syarat-syarat yang
dibutuhkan.
5) Konsorsium
asuransi TKI
Konsorsium Asuransi TKI adalah suatu perusahaan
asuransi baik komulatif mapun individual yang ditunjukm pemerintah berdasarkan
asas transparansi dan akuntabel. TIndakan preventif yang dilakukan adalah
dengan menerima uang premi dari TKI yang kemudian dikembangkan untuk
mendapatkan modal, membuat dengan persetujuan menteri prosedur pembayaran premi
maoupun klaim. Sedangkan tindakan represifnya asalah menyediakan dana klaim
apapun yang terjadi kepada TKI yang mengajukan klaim dengan telah memenuhi
semua persyaratan yang ada.
b.
Sistem yang tidak dapat dipaksakan oleh Negara
Sistem ini utamanya berusaha mengikat pihak-pihak di luar naungan Negara
yang masih memiliki hubungan hukum dengan TKI sehingga terciptanya perlindungan
terhadap TKI. System ini mengamanatkan PPTKIS untuk selalu memantau TKI dengan
perantara KBRI serta media jasa mereka di luar negeri. Selain itu, menggunakan
KBRI sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pemantauan terhadap pemberian
upah TKI.
4.
Solusi
Permasalahan Penempatan TKI
Solusi
yang dapat ditawarkan dalam permasalahan ini adalah sebagai berikut:
a.
Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PPTKIS
dan juga pihak duta besar RI secara
periodik agar dapat lebih melindungi dan
mengawasi para TKI. Sehingga hal ini akan bisa
menimalisir hal hal yang dapat merugikan TKI seperti halnya penipuan terhadap
TKI , kepastian pekerjaan yang didapatkna sesuai dengan kontrak yang berlaku.
b.
Perlu adanya
penertiban dan pengawasan PPTKIS yang dillakukan oleh BNP2TKI terhadap perilaku
penipuan terhadap para TKI.
c.
Agar tidak
terjadi pungutan tambahan liar yang dilakukan oleh oknum tertentu maka perlu adanya untuk Membuat sistematika
administrasi yang efektif,efisien dan implementatif oleh pemerintah.
d.
Pemerintah
harus siap untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap siaapun para pihak yang
telah melanggarnya.
e.
Pelu adanya jaminan kompensasi para TKI. Bagi mereka para TKI yang pulang di indonesia dalam
keadaan yang tidak baik, baik itu cacat, sakit ataupun meninggal.
f.
Adanya
jaminan perlindungan hukum kepada para
TKI yang telah dirugikan oleh pihak majikan atau pihak lain.
5.
Solusi Permasalahan Pemutusan Hubungan Kerja
a. Adanya
Jaminan Kepastian Kontrak dan Sosialisasi Mekanisme Klaim Asuransi
Salah satu penyebab hak-hak yang sering dilanggar
oleh oknum yang bertindak sewenang-wenang ialah karena tidak adanya jaminan
kepastian kontrak. Dalam hal ini, TKI seharusnya ditekankan atas
kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan dalam kontrak di samping diberi
pengetahuan juga atas hak-hak atau fasilitas yang akan mereka dapatkan ketika
sedang dalam masa bekerja.
Dengan adanya kesempatan bagi para TKI untuk
mengetahui adanya jaminan atas kontrak yang akan mereka lalui, maka para TKI
tersebut akan merasa memiliki tanggung jawab yang mesti dijalankan dengan baik.
Dengan begitu, sangat penting adanya sosialisasi atau pemberitahuan akan
informasi mengenai jaminan kepastian kontrak ini terutama dalam pembekalan para
TKI selama masa karantina oleh PJTKI.
Selain itu, jika TKI telah diberi bekal pengetahuan
akan hak-hak, kewajiban dan konsekuensi yang mereka dapatkan ketika mengalami
PHK ditempat kerja, maka TKI tersebut akan mengerti akan kompensasi yang dapat
mereka tuntut dari para majikan atau atasan tempat mereka bekerja. Demikian
pula halnya dari pihak perusahaan penyalur jasa TKI yang bertanggung jawab atas
pemberangkatan dan kehidupan TKI selama di luar negeri. Perusahaan tersebut
harus siap mencairkan dana yang merupakan kompensasi atau hak dari para TKI
tersebut, baik berupa dana asuransi atau dana yang telah disepakati antara
perusahaan dengan TKI sebelum pemberangkatan berlangsung. Maka TKI tidak perlu
repot dalam menuntut klaim atas dana tersebut, karena prosesnya akan panjang
dan memberatkan para TKI yang telah kehilangkan pekerjaan. Jadi, para
perusahaan penyalur seharusnya dengan kesadaran sendiri dan tanpa menunggu
klaim dari pihak TKI telah siap mengeluarkan dana yang sesuai dengan yang mesti
diterima oleh para TKI yang telah di PHK. Dengan demikian, PHK yang menimpa TKI
tidak akan berdampak negatif terhadap kelanjutan kehidupan TKI tersebut dan TKI
tetap dapat melanjutkan hidup mereka dengan kompensasi-kompensasi yang mereka
dapatkan.
b. Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PPTKIS
dan juga pihak duta besar RI secara
periodik agar dapat lebih melindungi dan
mengawasi para TKI yang di PHK
PHK tidak boleh terjadi secara sepihak tanpa adanya
kejelasan yang diberikan kepada TKI. Seharusnya setiap PHK yang dijatuhkan
kepada TKI, memiliki alasan atau latar belakang yang masuk akal sehingga para
TKI bisa membela dan mempersiapkan diri ketika PHK tersebut dijatuhkan. Demikian
pula pemberitahuan PHK sepihak yang dilakukan oleh majikan para TKI, harus
menghubungi dan mengklarifikasi masalah tersebut kepada para penyelenggara atau
pengirim TKI dalam hal ini juga harus berintegrasi dengan pihak perwakilan
pemerintah di negara penempatan sehingga pihak-pihak yang terkait dalam
pemberangkatan dan pengadaan TKI juga dapat mengoreksi kekurangan-kekurangan
yang menyebabkan terjadinya PHK terseut disamping mencegah terjadinya hal yang
lebih buruk yang dapat menimpa TKI tersebut.
Seharusnya kontrak antara pengguna jasa dengan TKI
yang telah disepakati bersama berjalan sesuai dengan isi kontrak tersebut. TKI
yang telah dijanjikan akan berangkat pada waktu dan cara yang telah ditentukan
mesti mendapatkan kepastian sesuai dengan isi kontrak yang telah disetujui
bersama. Adapun jika pembatalan pemberangkatan itu harus terjadi, maka
pemberitahuan akan informasi tersebut mesti disampaikan jauh-jauh hari kepada
TKI.
c. Adanya
jaminan klaim asuransi bagi TKI yang telah memenuhi
semua persyaratan dan jaminan perlindungan hukum kepada para TKI yang telah dirugikan oleh pihak majikan
atau pihak lain.
Jika birokrasi berjalan lancar dan tidak ada
kesalahpahaman antara perusahaan pemberangkatan, calon majikan dan penyedia
jasa TKI, seharusnya tidak secara sepihak membatalkan keberangkatan TKI. Adapun
ketika pemberangkatan yang sedianya akan dilakukan oleh seorang TKI kemudian
dibatalkan secara tiba-tiba, maka pihak yang bertanggung jawab (dalam hal ini
lebih dibebankan kepada PJTKI) harus berbicara secara langsung kepada TKI dan
menyampaikan alasan adanya pembatalan pemberangkatan yang disertai dengan
konsekuensi-konsekuensi yang akan diterima oleh TKI tersebut karena tidak jadi
berangkat. Seharusnya jika terjadi pembatalan pemberangkatan yang benar-benar
di luar kesalahan dari TKI itu sendiri, maka TKI berhak menerima kompensasi
atas hal tersebut. Maka dalam hal ini, pentingnya asuransi yang disediakan oleh
pemerintah dapat mengurangi beban para TKI yang sudah siap berangkat, namun
ternyata terjadi pembatalan.
Moratorium yang menjadi kebijakan pemerintah
hendaknya tidak memberatkan para TKI yang memang mendapatkan hak untuk
berangkat luar negeri untuk bekerja. Mengingat bahwa dalam negeri pun belum
siap mengadakan lapangan kerja yang sesuai dengan jumlah angkatan kerja yang
ada. Moratorium tidak perlu diadakan jika para TKI telah mendapatkan pengawasan
yang cukup dari perwakilan pemerintah yang ada di luar negeri tempat mereka
bekerja. Para pengawas tersebut tentu harus menguasai isi kontrak yang sedang dijalankan
oleh TKI tersebut agar mampu mengidentifikasi hal-hal yang diluar kontrak untuk
tidak dikerjakan oleh para TKI. Sehingga
pemerintah tidak perlu menerapkan kebijakan moratorium yang akan merugikan
sejumlah TKI yang telah siap untuk bekerja di luar negeri. Namun alangkah lebih
baik jika pemerintah lebih bertindak tegas dalam pengawasan atau kontrol
kinerja dari TKI tersebut ketika meraka telah ditempatkan di Negara penerima.
Sehingga penganiayaan atau kekerasan yang terjadi dapat diidentifikasi oleh
pemerintah dan pemerintah dapat melayangkan gugatan atas nama TKI terhadap
pelaku penganiayaan atau kekerasan tersebut.
Dengan begitu, jumlah penganiayaan atau kekerasan
dapat berkurang karena adanya ketegasan dari pemerintah untuk menindaklanjuti
setiap tindakan yang menyimpang yang ditujukan kepada TKI. Hal itu lebih baik
daripada mengadakan moratorium yang dapat menyebabkan membengakaknya angka
pengangguran di Indinesia di samping beban pemerintah akan bertambah akibat
berkurangnya penghasil utama devisa yang tak lain adalah TKI itu sendiri.
Seharusnya PHK terhadap TKI tidak perlu terjadi
jika semua pihak yang terkait berkomitmen untuk memajukan kesejahteraan para
TKI baik ketika mereka masih berada di dalam negeri (dalam karantina) maupun
ketika berada di Negara tempat mereka bekerja.
BAB
III
EVALUASI
DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
Dalam penyusunan Rancangan
Undang-Undang Jaminan Sosial TKI perlu diperhatikan berbagai peraturan
perundang-undangan yang berada di atas undang-undang yaitu Undang-Undang Dasar
1945 dan peraturan perundang-undangan yang setara dengan undang-undang, yang
memiliki hubungan dengan Rancangan Undang-Undang Jaminan Sosial TKI. Dengan
menganalisis hubungan tersebut, dapat dirancang pasal-pasal di dalam RUU
Jaminan Sosial TKI yang dipengaruhi
oleh atau mempengaruhi peraturan
perundang-undangan lainnya yang setara. Selain itu, dalam hal diperlukan
pengecualian tertentu, dapat digunakan asas lex specialis derogat legi generalis yang berarti hukum yang
mengatur hal khusus harus didahulukan berlakunya daripada hukum yang mengatur
hal umum. Asas ini hanya dapat diberlakukan apabila hukum yang mengatur hal
umum dan hukum yang mengatur hal khusus memiliki peringkat yang sederajat,
yaitu dalam hal ini berbentuk undang-undang. Hubungan antara materi muatan Rancangan
Undang-undang Jaminan Sosial TKI dengan berbagai peraturan perundang-undangan
dapat digambarkan dalam matriks sebagai berikut:
Sebagaimana diketahui
bahwa dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945 dicantumkan tujuan konstitusional
Pemerintah Negara Republik Indonesia adalah “Kemudian dari pada itu
untuk membentuk suatu pemerintahan Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia”. Berdasarkan uraian di atas, berbagai kekuatan
landasan hukum normatif tersebut secara tegas telah mengamanatkan upaya
perlindungan dan jaminan sosial, terutama yang dikaitkan dengan peningkatan
kesejahteraan rakyat dan kualitas sumber daya manusia bagi para TKI. Demi
tercapainya suatu landasan melindungi segenap bangsa indonesia yang diikuti
segenap bangsa indonesia dan memajukan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia
maka diperlukannya suatu jaminan sosial yang dapat memberikan rasa keadian bagi
para Tenaga Kerja Indonesia yang merupakan masyarakat indonesia yang berjuang
untuk mendapatkan kesejahteraan , dan mendapatkan jaminan perlindungan Sosial
Tenaga Kerja Indonesia. Karena pada dasarnya TKI mempunyai hak untuk
mendapatkan Jaminan Sosial yang merupakan hak setiap warga negara juga
diamanatkan dalam UUD 1945 yaitu :
·
pasal 27 Ayat
2
menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
·
pasal 27 ayat
2 : “Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”
·
pasal 28 D ayat 2 : “Setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja.”
·
pasal 28 E ayat 1 : “Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal
di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Dari keterangan beberapa pasal
dalam UUD 1945 sudah tepat lah bagaimana negara sangat mendukung dan,
menegaskan bahwa perlindungan dan jaminan sosial TKI sangat
terkait erat dengan masalah nya
dengan ketidak mampuan pemerintah dalam memberikan lapangan pekerjaan. Dalam
konteks ini juga selanjutnya akan
berdampak pula pada para TKI yang ingin mendapatkan kehidupan yang layak untuk
mendapatkan kesejahteraan dengan mencari pekerjaan di luar negeri. Hal ini akan menjadi permasalahan untuk masalah
perlindungan hak hak mereka di luar negeri. Maka dari itu untuk mengatasi hal
tersebut perlu untuk dibuatnya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia. Sehingga hak hak mereka akan terjamin
dan terlindungi pada masa Pra
penempatan, penempatan maupun purna penempatan. Tujuan yang lainnya adalah untuk
mendukung upaya pemerintah dalam memberikan/menciptakan perlindungan dan
jaminan sosial kepada TKI yang lebih menyeluruh kepada setiap warga negaranya, maka dari itu di perlukannya untuk membuat
RUU Jaminan Sosial Tenaga
Kerja Indonesia (JAMSOS TKI) yang memberikan efisiensi dan efektivitas
yang lebih optimal.
B.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri[28]
Di dalam UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI
mengenai tanggung jawab pemerintah terhadap perlindungan TKI di luar negeri
terdapat pada :
1.
Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:
“Pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri. Dalam melaksanakan tugas, Pemerintah dapat
melimpahkan sebagian wewenangnya dan/atau tugas perbantuan kepada pemerintah
daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.
Pasal 6 yang berbunyi : “Pemerintah
bertanggung jawab untuk meningkatkan upaya perlindungan TKI di luar negeri “
3.
Pasal 7 yang berbunyi : “Dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud diatas Pemerintah berkewajiban:
a.
menjamin terpenuhinya hak-hak calon
TKI/TKI, baik yang berangkat melalui penempatan TKI, maupun yang berangkat
secara mandiri;
b.
mengawasi pelaksanaan penempatan calon
TKI;
c.
membentuk dan mengembangkan sistem
informasi penempatan calon TKI di luar negeri;
d.
melakukan upaya diplomatik untuk
menjamin pemenuhan hak dan perlindungan TKI secara optimal di negara tujuan;
dan
e.
memberikan perlindungan kepada TKI
selama masa sebelum pemberangkatan,
masa penempatan, dan masa purna penempatan.
4.
Pasal 77 yang
berbunyi :
a.
Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak untuk
memperoleh perlindungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b.
Perlindungan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan mulai dari pra penempatan, masa penempatan, sampai dengan
purna penempatan.
Berdasarkan keterangan pasal di atas
disebutkan pasal tentang perlindungan TKI dan hak haknya yang harus di peroleh
maka ini merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk melindungi segenap
masyarakatnya termasuk juga para TKI. Karena ini adalah tanggung jawab
pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada para TKI maka hal ini harus
didukung dengan pembuatan RUU Jaminan Sosial TKI . Sehingga TKI akan dapat terjamin hak haknya pada masa pra penempatan, saat penempatan maupun
purna penempatan.
Di dalam Bab
VI mengenai perlindungan TKI, masih
sedikit sekali pasal yang mengatur perlindungan terhadap TKI di luar negeri.
Hanya delapan pasal saja yang mengatur tentang hal tersebut. Karena itu perlu
dibentuknya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia demi untuk terjaminnya hak
hak termasuk dalam hal perlindungan TKI. Sehingga dalam hal ini dapat meminimalisir kerugian yang
akan di dapatkan oleh TKI setelah terbentuknya UU mengenai Jaminan Sosial
Tenaga Kerja Indonesia.
C.
Undang
– Undang Nomor 3 tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja[29]
Di dalam Undang Undang
Nomor 3 tahun 1992 sebelumnya sudah mengatur tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Melihat dari undang undang tersebut yang ruang lingkupnya lebih didasarkan pada
pengaturan jaminan sosial tenaga kerja nasional, maka dari itu sebagai bentuk
perlindungan jaminan sosial, para Tenaga kerja Indonesia pun perlu dan dan
memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan jaminan sosial. Hal ini juga
mengacu terhadap undang undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1992
diantaranya :
1.
Pasal 3
a.
Untuk memberikan perlindungan kepada
tenaga kerja diselenggarakan program jaminan social tenaga kerja yang
pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi.
b.
Setiap tenaga kerja berhak atas jaminan
sosial tenaga kerja.
2.
Pasal 4
Program jaminan social
tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap
perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Selain itu hal ini juga mengacu terhadap
Penjelasan Umum terhadap Undnag Undang no 3 tahun 1992 yaitu : “Peran serta
tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai
berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu kepada tenaga
kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan
kesejahteraannya, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan
produktivitas nasional. Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan
kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial
tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama,
kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.”
Melihat dari penjelasan umum dan pasal tersebut di
tulisakan bahwa setiap tenaga kerja berhak memiliki atas Jaminan Sosial Tenaga
Kerja dan sebagai bentuk perlindungan terhadap Tenaga Kerja, maka dari itu perlu untuk dibuatkannya suatu bentuk perlindungan
terhadap TKI yang berua Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia hal ini perlu
karena menimbang dan menitik beratkan pada konteks ruang lingkup terhadap
Tenaga Kerja Indonesia yang memiliki status kedudukan wilayah yang berbeda
dengan tenaga kerja nasional, karena status kedudukan wilayah Tenaga Kerja
Indonesia berada di luar wilayah NKRI ( Negara Kesatuan Republik Indonesia )
maka perlu untuk dibuatkan suatu bentuk perlindungan dan jaminan terhadap
Tenaga Kerja Indonesia karena melihat para TKI butuh suatu jaminan yang
bentuknya langsung diatur oleh pemerinah Republik Indonesia. Sehingga mereka
mendapat status hukum yang jelas tentang suatu bentuk penjaminan yang diberikan oleh pemerintah kepada Tenaga
Kerja Indonesia.
D.
Undang
– Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan[30]
Pembangunan
ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan
pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat,
martabat, dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil, makmur, dan merata, baik materiil maupun spiritual.[31]
Begitu pula Tenaga Kerja Indonesia yang juga memiliki hak untuk mendapatkan suatu
pekerjaan yang layak. Hal ini di dapatkan para Tenaga Kerja Indonesia
memutuskan untuk pergi bekerja di luar negeri karena mereka merasa bahwa
pekerjaan yang ada di dalam negeri di rasa belum memenuhi untuk kebutuhan hidup
mereka. Meskipun begitu TKI mempunyai hak untuk memilih jalan hidupnya untuk
mendapatkan kesejahtearaan yang layak. Hal ini juga di jelaskan dalam pasal 31
Undang – Undang Nomor 13 tahun 2003 yaitu
“Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang
layak di dalam atau di luar negeri.”
Di dalam pasal tersebut
jelas menyebutkan bahwa TKI memiliki dan diberikan hak untuk memilih dan
mendapatkan pekerjaan dimanapun mereka inginkan termasuk di luar negeri. Maka
dari itu demi mendukungnya hal tersebut perlu diadakannya suatu perlindungan
yang layak terhadap para TKI demi membantu memenuhi kebutuhan kesejahteraan
mereka. Termasuk dengan dibuatkannya Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia yang
bertujuan untuk melindungi seluruh hak dan kewajiban TKI ketika masa pra
penempatan, penematan, maupun purna penempatan. Sehingga para TKI kan terjamin
seluruh hak haknya.
BAB IV
LANDASAN
FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A.
Landasan Filosofis
Pada dasarnya, negara bertanggung
jawab untuk memenuhi hak-hak rakyatnya. Hal ini dapat dijelaskan melalui teori
kontrak sosial yang dinyatakan dalam pemikiran J.J. Rousseou. Teori kontrak
sosial menurutnya secara luas dapat diartikan bahwa, masyarakat sepakat untuk
mematuhi aturan yang dibuat oleh pemerintah, dan mengakui kekuasaan yang
dimilikinya dengan syarat dipenuhinya hak-hak masyarakat sebagai suatu hubungan
timbal balik atas hal tersebut. Dalam melaksanakan kewajibannya untuk memenuhi
hak-hak masyarakat tersebut, pemerintah memiliki tiga kewajiban utama, yaitu
untuk memenuhi hak-hak tersebut, melindunginya, dan menghargai keberadaan
hak-hak tersebut.Salah satu hak yang paling penting adalah hak untuk
mendapatkan kesejahteraan. Dalam hal ini, negara cenderung harus bersifat
aktif, artinya negara harus sekuat mungkin berusaha untuk memenuhi dan
melindungi hak tersebut.
Indonesia adalah sebuah negara yang secara tersirat mengakui teori
kontrak sosial, hal ini didasarkan dengan adanya pemilu bahwa secara tidak
langsung dapat dikatakan bahwa masyarakat Indonesia telah bersepakat untuk
memilih penguasa, yang kemudian untuk dituruti sehingga mereka dapat diberikan
hak-haknya.
Hal tersebut kemudian diperjelas dalam tataran ideologis negara yaitu
pancasila, bahwa Indonesia dalam pasal kelima memiliki cita-cita untuk
mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dengan adanya
tataran ideologis tersebut, kendati pancasila bersifat hirarki komulatif pada
sila yang lain, tujuan negara dapat secara jelas dipahami substansinya adalah
menciptakan suatu tataran yang adil menurut nilai sosial.
Keabstrakan nilai dalam pancasila tersebut kemudian berusaha dilakukan
konkritisasi dalam norma konstitusi. Konstitusi sendiri merupakan sumber hukum
utama, sehingga setiap kegiatan negara dalam melaksanakan kewajibannya, secara
yuridis harus dapat dipertanggungjawabkan dengan perbandingan
konstitusi.Konstitusi negara Indonesia terdiri dari dua bagian, yang pertama
pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan yang kedua adalah batang tubuh dari
Undang-Undang Dasar tersebut.
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945terdapat sebuah alinea yang
mencantumkan konkritisasi cita-cita bangsa yang berbunyi,
"Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum….”
Akhirnya, menjadi jelaslah secara yuridis, bahwa
salah satu fokus bangsa Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum
yang artinya memajukan kesejahteraan bagi rakyatnya. Salah satu instrumen
memajukan kesejahteraan umum dewasa ini adalah dengan bekerja. Karenadalam
bekerja hasil dari pekerjaan dapat kemudian ditukarkan atau untuk membeli
kebutuhan masing-masing anggota masyarakat. Ketika kebutuhan terpenuhi, maka
disitulah kesejahteraan ada. Dalam perkembangannya, bekerja meliputi dua jenis
yaitu bekerja untuk mengekstrak alam dan yang kedua bekerja untuk orang lain.
Dalam zaman ini, bekerja untuk orang lain menjadi lebih umum secara kuantitas
yang dikarenakan semakin sempitnya geospasial untuk mengekstrak alam.
Beberapa
hal tersebut kemudian menghasilkan konsekuensi tambahan kepada negara, bahwa
negara juga memiliki tanggung jawab pula untuk memenuhi hak masyarakatnya atas
pekerjaan yang layak. Namun dalam praktik empiris, negara Indonesia tidak mampu
untuk memenuhi hak atas pekerjaan yang layak tersebut. Hal inilah yang kemudian
menjadi salah satu alasan pendorong, masyarakat berinisiatif untuk bekerja di
luar teritorial negara Indonesia yang selanjutnya disebut negara tujuan.
Hal
ini kemudian menjadi rumit, karena sulitnya memberikan perlindungan kepada
masyarakat yang bekerja di negara tujuan.Kesulitan itu terjadi karena
pemerintah tidak dapat memaksakan produk hukumnya pada negara lain berdasar
pada customary law dalam hukum
internasional. Padahal dalam pembukaan Undnag-Undang Dasar 1945 alinea keempat
juga dirumuskan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam melindungi
masyarakatnya yang tercantum dalam klausa “kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia”.
Dengan
adanya kewajiban tersebut, namun sulit diterapkan dalam tataran empiris dalam
pembahsan ini, pemerintah kemudian diwajibkan untuk dapat membangun suatu
sistem baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam instrumen
administrasi negara yang efisien dan efektif serta mampu diaplikasikan sehingga
tujuan negara dalam hal ini dapat terlaksana, yaitu mampu melindungi masyarakat
Indonesia yang bekerja di negara tujuan sehingga mendapatkan haknya yaitu
sejahtera namun tetap tidak meninggalkan aspek perlindungan terhadap warga
negaranya tersebut.
B.
Landasan Yuridis
Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam batang
tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 bahwa negara Indonesia merupakan
negara hukum, maka hal ini menghadirkan konsekuensi bahwa negara Indonesia
dalam segala aspek kenegaraan mengharuskan adanya suatu tataran hukum sebagai
dasar pelaksanannya.Berkaitan dengan hal itu, maka perlu ada konkritisasi nilai
dari Pancasila terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang berujung pada harus
dipenuhinya atas pekerjaan yang layak.
Konkritisasi nilai yang dimaksud, adalah untuk
terbentuknya suatu norma hukum, sehingga persepsi antara masyarakat dan
pemerintah dapat sepemahaman yang akan mempermudah penilaian apakah pemerintah
telah melaksanakannya atau belum melaksanakannya. Konkritisasi terkait hal
tersebut utamanya mendasar pada konstitusi pula, tepatnya pada bagian batang
tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 27 ayat (2), 28 D ayat (2), serta
pasal 28 E ayat (1), yang berturut-turut berbunyi,
·
Pasal 27 ayat
(2)
Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagikemanusiaan.
·
Pasal 28 D
ayat (2)
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
·
Pasal 28 E
ayat (1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Dengan adanya hak untuk rakyat yang dituliskan pada
kontitusi selaku sumber hukum dalam negara Indonesia tersebut, maka menimbulkan
kewajiban yang harus dipangku oleh negara.
Dalam praktiknya, hasil konkrittisasi nilai
tersebut dalam bentuk norma hukum belum dapat dilaksanakan sepenuhnya. Hal
tersebut, menciptakan perlunya dibentuk suatu peraturan organis sebagaimana
yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 sebagai peraturan yang
bersifat regelling, maupun tindakan
administrasi negara lain yang bersifat beschikking.
Saat ini, pengaturan organis mengenai ketenagakerjaan sebagai instrumen
mencapai kesejahteraan telah dibuat dalam tataran regelling yaitu undang-undang nomor
13 tahun 2003, yang kemudian untuk perlindungan sosial tenaga kerja
sendiri diatur dalam undang-undang nomor 3 tahun 1992. Kedua instrumen organis
tersebut, senyatanya belum cukup memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja
Indonesia di negara tujuan. Selain kurang spesifik terhadap tenaga kerja
Indonesia, system tersebut tidak dapat diaplikasikan di negara tujuan. Hal
inilah yang kemudian mendasari terbentuknya undang-undang nomor 39 Tahun 2004
tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia yang diharapkan
mampu menutupi kekosongan hukum.
Namun, tidak dapat dipungkiri, undang-undnag
tersebut senyatanya lebih fokus mengurusi dalam bidang penempatan tenaga kerja
Indonesia saja, sedangkan untuk perlindungan hanya mencakup delapan pasal saja.
Walaupun tidak dipandang dalam segi kuantitatif, delapan pasal tersebut
ternyatakurang dapat memberikan perlindungan yang konkrit. Hal tersebut terjadi
akibat kewenangan yang diberikan pada pemerintah kemudian menjadi atributif
bebas. Artinya pemerintah mendapatkan kewenangan dari undang-undang namun untuk
tataran pelaksanaannya tergantung ketentuan pemegang kewenangan itu sendiri.
Hal ini dapat menjadi masalah, karena kewenangan yang demikian rawan
disalahgunakan, sedangkan dasar pengujiannya terhadap tindakan administratif
tersebut menjadi cukup abstrak karena didasarkan pada asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
C. Landasan
Sosiologis
Sudah menjadi suatu kewajaran, bahwa dengan
hadirnya suatu undang-undang dalam suatu negara akan menimbulkan dampak
sosiologis dalam penerapannya. Terutama bagi negara yang berusaha menjalankan supremacy of law, misalnya negara
Indonesia. Dalam kajian tentang tenaga kerja, Indonesia telah membuat berbagai
instrumen hukum, misalnya undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan, uu nomor 3 tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja,
serta lebih spesifik untuk tenaga kerja indonesia dibentuklah undang-undang
nomor 39 tahun 2004.
Dalam kajian mengenai instrumen hukum tenaga kerja
indonesia, difokuskan pada undang-undang nomor 39 tahun 2004. Padahal, menurut
kajian yuridis, undang-undang tersebut tidak mampu untuk melindungi hak atas
pekerjaan jika diterapkan secara langsung sehingga membutuhkan aturan teknis
untuk melakukannya, sebut saja Peraturan Menteri Nomor PER.07/MEN/V/2010
tentang Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Perlu diketahui bahwa asuransi sendiri
adalah salah satu dari solusi perlindungan sosial bagi tenaga kerja Indonesia
sehingga diusahakan dapat tetap terjamin haknya.
Dampak sosiologis dari peraturan menteri tersebut
menjadikan calon tenaga kerja Indonesia harus membayar paling sedikit Rp.
400.000,00 untuk dapat diberangkatkan sebagai tenaga kerja Indonesia. Belum
lagi biaya lain-lain yang membuat seakan-akan, untuk bekerja, calon tenaga
kerja Indonesia diwajibkan untuk membayar sejumlah uang terlebih dahulu.
Permasalahan yang muncul dari dijalankannya
undang-undang tersebut tidak hanya dalam masalah asuransi saja. Katakanlah
dalam bidang keselamatan kerja, dalam undang-undang tersebut hanya memberikan
perlindungan secara represif yaitu penggantirugian dengan asuransi. Walaupun
Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia juga telah diamanatkan
untuk dibentuk dengan peraturan presiden, namun hal tersebut dirasakan kurang
efektif. Hal tersebut dibuktikan harus dibentuknya satgas oleh presiden untuk
menangani kasus
Selain masalah keselamatan, masalah upah menjadi
kajian yang cukup panas dalam tataran sosial. Jelas saja, dalam undang-undang
nomor 39 tahun 2004 tidak dicantumkan satupun klausa tentang hal ini. Selama
ini, upah didasarkan pada MoU bilateral antara Indonesia dengan negara tujuan
atau dengan penentuan harga pasar. Lebih lanjut walaupun telah terikat dalam
perjanjian kerja, perlindungan dalam hal ini belum penuh dapat dirasakan.
Karena dalam fakta empiris, tetap saja masalah upah ini terus terjadi, terkait
tidak diberinya upah, maupun tidak diberinya upah sesuai perjanjian kerja.
Disamping itu, terdapat pula masalah tentang
kesehatan. Apapun keadaannya, kesehatanadalah hal yang terpenting dalam
kehidupan manusia. Terutama bagi tenaga kerja Indonesia, yang bekerja di negara
asing tanpa sanak saudara, akan sangat kesulitan jika sampai dinyatakan sakit.
Undang-undang nomor 39 tahun 2004 hanya mengatur pemberian asuransi dalam
masalah ini, padahal tersbut jelas tidak efektif jika klaim harus diajukan di
Indonesia. Sehingga dibutuhkannya peraturan yang lebih efektif dan aplikatif
terhadap masalah ini.
Kegiatan administrasi yang bermasalah pun tidak
dicover dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 ini. Misalkan ada oknum yang
melakukan ‘pungutan liar’, terdapatnya calo yang semakin memperbanyak biaya
yang harus dibayarkan oleh calon tenaga kerja indonesia. Hal ini kemudian
menjadi semakin tidak rasional, ketika seseorang bekerja untuk mendapatkan
penghasilan, kemudian malah diwajibkan untuk disuruh membayar biaya yang sangat
besar bagi orang yang awalnya tidak memiliki pekerjaan yang lebih baik daripada
menjadi tenaga kerja Indonesia.
Masalah lainnya adalah tentang pemutusan hubungan
kerja oleh pengguna jasa tenaga kerja Indonesia, hal ini juga hanya ditanggapi
secara represif dalam undang-undang nomor 39 tahun 2004 yaitu dengan
menggunakan asuransi. Namun bukan itu yang diharapkan dari tenaga kerja
Indonesia, karena calon tenaga kerja Indonesia bukan hanya menginginkan uang
secara praktis yang kemudian dapat segera habis. Namun lebih kearah memiliki
pekerjaan, sehingga keterjaminan kesejahteraan dapat terjadi secara kontinyu.
Dan
masalah yang terpenting adalah jika tenaga kerja Indonesia terkena kasus hukum
di negara tujuan, baik karena kesalahannya sendiri maupun bukan. Sudah menjadi
suatu kew ajaran bahwa KBRI sebagai wakil pemerintahan di negara tujuan untuk
melindungi seluruh warga negara Indonesia di negara tersebut. Namun, munculnya
undang-undang nomor 39 tahun 2004 mengharuskan dibentuknya badan penempatan dan
perlindungan tenaga kerja Indonesia yang harusnya turut mengambil peran dalam
hal perlindungan hukum. Apalagi, dalam tataran empiris, Thailand misalnya, yang
tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia sudah jelas tidak memiliki
KBRI. Walaupun ada perwakilan pemerintahan di sana, namun hal tersebut tidak
menjadi alasan pembenar bahwa badan
penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia tetap harus bertanggung jawab
atas perlindungan hukum atas tenaga kerja Indonesia ini.
BAB
V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP MATERI
MUATAN UNDANG-UNDANG
A.
Ketentuan
Umum
Rancangan undang-undang ini akan
memuat beberapa istilah, akronim, maupun singkatan yang akan dicantumkan dalam
ketentuan umum meliputi :
1.
Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya
disebut dengan TKI adalah setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat
untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu
dengan menerima upah.
2.
Calon Tenaga Kerja Indonesia yang
selanjutnya disebut calon TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang
memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan
terdaftar di instansi Pemerintah Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan.
3.
Jaminan Sosial
Tenaga KerjaIndonesiaJaminan Sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh tenaga kerja indonesia agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
4.
Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Swasta yang selanjutnya disebut PPTKIS adalah badan usaha swasta yang diberi kewenangan oleh pemerintah
untuk melakukan penempatan Tenaga Kerja Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
5.
Mitra Usaha adalah instansi atau badan
usaha berbentuk badan hukum di negara tujuan yang bertanggung jawab menempatkan
TKI pada Pengguna.
6.
Pengguna Jasa TKI yang selanjutnya
disebut dengan Pengguna adalah instansi Pemerintah, Badan Hukum Pemerintah,
Badan Hukum Swasta, dan/atau Perseorangan di negara tujuan yang mempekerjakan
TKI.
7.
Pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
terdiri dari Presiden, Menteri, BNP2TKI, BP3TKI dan perwakilan Republik
Indonesia di Negara tujuan.
8.
Menteri adalah Menteri yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan.
9.
Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut BNP2TKI merupakan
lembaga pemerintah non departemen yang bertanggung jawab kepada Presiden yang
berkedudukan di Ibukota Negara.
10. Balai
Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya
disebut BP3TKI merupakan Unit pelaksana teknis BNP2TKI yang bertugas memberikan
kemudahan pelayanan dalam proses penempatan dan penyiapan seluruh dokumen
penempatan TKI.
11. Perwakilan
Pemerintah Republik Indonesia adalah
perwakilan pemerintah di Negara tujuan meliputi KBRI atau perwakilan lain
diluar negeri yang dibentuk oleh pemerintah untuk melindungi warga Negara
Indonesia.
12. Upah adalah suatu penerimaan
sebagai imbalan dari pengguna jasa kepada tenaga kerja Indonesia untuk sesuatu
pekerjaan yang telah atau akan dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk
uang ditetapkan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara
pengguna jasa dengan tenaga kerja Indonesia.
13. Perjanjian
Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan
TKI swasta dengan Mitra Usaha atau Pengguna yang memuat hak dan kewajiban
masing-masing pihak dalam rangka penempatan serta perlindungan TKI di negara
tujuan.
14. Perjanjian
Penempatan TKI adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan TKI swasta dengan calon TKI yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak dalam rangka penempatan TKI di negara tujuan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
15. Perjanjian
Kerja adalah perjanjian tertulis antara TKI dengan Pengguna jasa yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak.
16. Kartu
Tenaga Kerja Luar Negeri yang selanjutnya disebut dengan KTKLN adalah kartu
identitas bagi TKI yang memenuhi persyaratan dan prosedur untuk bekerja di luar
negeri.
17. Kecelakaan kerjaadalah kecelakaan yang
terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena
hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan
berangkat dari rumah menuju tempat kerja, dan pulang ke rumah melalui jalan
yang biasa atau wajar dilalui.
18. Cacat adalah keadaan hilang
atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung
mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
19. Asuransi
adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari
iuran TKI guna memberikan jaminan sosial bagi TKI.
20. Konsorsium
asuransi TKI adalah kumpulan sejumlah perusahaan asuransi sebagai satu kesatuan yang terdiri dari ketua dan anggota,
untuk menyelenggarakan program asuransi TKI yang dibuat dalam perjanjian
konsorsium.
21. Surat
Izin Pelaksana Penempatan TKI yang selanjutnya disebut SIPPTKI adalah izin
tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada perusahaan yang akan menjadi
pelaksana penempatan TKI swasta.
Sedangkan asas yang digunakan dalam Rancangan Undang
Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah :
1.
Asas Kemanusiaan.
2.
Asas Keadilan.
3.
Asas Kesamaan Kedudukan
dalam Hukum.
4.
Asas Kepastian Hukum.
5.
Asas
Perlindungan.
6.
Asas
Keterbukaan.
7.
Asas
Efisiensi.
8.
Asas
Akuntabilitas.
Tujuan
dari diadakannya Jaminan sosial TKI adalah untuk
melindungi calon TKI atau TKI untuk memperoleh hak-hakya dalam masa pra
penempatan, penempatan, dan purna penempatan.
B. Tugas, Tanggung Jawab, dan
Kewajiban Pemangku Kepentingan
Tugas, wewenang, dan tanggung jawab
dalam rancangan undang-undang yang dibuat meliputi tugas, wewenang, dan
tanggung jawab dari pihak pemerintah maupun pihak swasta atau non pemerintah
dalam bentuk PPTKI dan Konsorsium Asuransi
1.
Pemerintah
a.
Pemerintah bertugas
mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi jaminan sosial Tenaga Kerja
Indonesia.
b.
Dalam melaksanakan tugas,
perangkat Pemerintah saling berkoordinasi dalam pembagian tugas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
c.
Pemerintah bertanggung jawab untuk
meningkatkan upaya perlindungan atas jaminan sosial TKI.
d.
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab tersebut, pemerintah memiliki kewajiban:
1)
menjamin terpenuhinya hak-hak calon
TKI/TKI, baik yang diberangkatkan melalui PPTKIS, maupun yang berangkat secara
mandiri.
2)
mengawasi pelaksanaan jaminan sosial
TKI.
3)
menciptakan sistem jaminan sosial tki
yang efektif dan efisien serta implementatif menurut peraturan
perundang-undangan.
4)
membentuk dan
mengembangkan sistem pengaduan terpadu
bagi TKI di luar negeri.
5)
melakukan upaya diplomatik untuk
menjamin pemenuhan hak dan perlindungan jaminan sosial TKI secara optimal di
negara tujuan; dan.
6)
memberikan jaminan sosial
kepada TKI dalam masa pra penempatan, masa
penempatan, dan masa purna penempatan.
2.
Non Pemerintah
Tugas, wewenang,
dan tanggung jawab non pemerintah dibebankan pada PPTKIS dan Konsursium
Asuransi.
a.
PPTKIS
1)
PPTKIS yang mendapatkan izin tertulis berupa SIPPTKI
dari menteri memiliki tugas untuk memberikan jaminan sosial kepada tenaga kerja
Indonesia.
2)
PPTKIS bertanggung jawab atas jaminan
sosial TKI yang ditempatkan oleh PPTKIS tersebut.
3)
Dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya, PPTKIS berkewajiban menjamin terpenuhinya hak-hak calon TKI/TKI
yangditempatkan oleh PPTKIS tersebut dalam masa pra penempatan, masa penempatan, dan masa purna penempatan.
4)
PPTKIS berkewajiban mendaftarkan TKI
dalam program jaminan asuransi TKI.
5)
PPTKIS bertanggungjawab
untuk melaporkan kondisi TKI kepada BNP2TKI secara periodik.
6)
PPTKIS berkewajiban
melakukan komunikasi dengan mitra usaha diluar negeri terkait kondisi TKI di
negara tujuan.
b.
Konsorsium
Asuransi TKI
1)
Konsorsium asuransi TKI
yang ditunjuk oleh pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
memiliki tugas untuk bekerjasama dengan pemerintah dalam penyelesaian permasalahan
jaminan sosial TKI masa pra penempatan, penempatan dan purna penempatan.
2)
Konsorsium asuransi bertanggung jawab atas jaminan sosial TKI
dalam program asuransi jaminan sosial TKI.
3) Konsorsium asuransi TKI wajib mengadakan kerjasama dengan pihak
rumah sakit di negara tujuan dalam melaksanakan jaminan sosial TKI.
C.
Hak
dan Kewajiban Tenaga Kerja Indonesia
1.
Setiap calon TKI/TKI mempunyai hak dan
kesempatan yang sama untuk :
a.
bekerja di luar negeri,
b.
memperoleh jaminan sosial yang diberikan
pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan,
c.
memperoleh informasi yang benar mengenai
sistem jaminan sosial yang dilaksanakan oleh pemerintah,
d.
memperoleh informasi yang benar mengenai
status, perjanjian kerja kerja, upah, asuransi, dan pelatihan yang layak sesuai
dengan bidang pekerjaan didalam perjanjian kerja,
e.
memperoleh naskah perjanjian kerja yang
asli, KTKLN dan tanda bukti kepesertaan asuransi,
f.
memperoleh upah sesuai dengan standar
upah minimum yang berlaku di negara tujuan atau sesuai dengan perjanjian kerja,
g.
memperoleh jaminan perlindungan hukum
sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan
harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri, dan
h.
memperoleh kesempatan yang sama dalam
melakukan klaim asuransi atas tidak terpenuhinya jaminan sosial.
2. Setiap
calon TKI/TKI mempunyai kewajiban untuk :
a.
menaati peraturan perundang-undangan
baik di dalam negeri maupun di negara tujuan,
b.
mengikuti asuransi kepada PPTKIS yang
telah ditetapkan pemerintah,
c.
menaati dan melaksanakan pekerjaannya
sesuai dengan perjanjian kerja,
d.
membayar biaya jaminan sosial TKI di
luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan,
e.
mengikuti prosedur dalam sistem jaminan
sosial, dan
f.
memberitahukan atau melaporkan
kedatangan, keberadaan dan kepulangan TKI kepada Perwakilan Republik Indonesia
di negara tujuan.
D.
Jaminan
Sosial Tenaga Kerja Indonesia
Jaminan Sosial
tenaga kerja Indonesia diperuntukkan kepada calon TKI yang telah memenuhi
persyaratan sebagai TKI sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan calon
TKI/TKI yang telah terdaftar dalam asuransi, yang melingkupi:
1.
Jaminan Keselamatan Kerja
TKI yang berhak menerima jaminan atas keselamatan kerja adalah
TKI yang terganggu keselamatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yaitu :
a)
TKI yang mengalami
penganiayaan,
b)
TKI yang mengalami
kekerasan seksual, dan
c)
TKI yang mendapatkan
ancaman pidana mati
2.
Jaminan Kesehatan dan Kecelakaan Kerja
TKI yang mengalami gangguan kesehatan
dan kecelakaan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan berhak menerima
jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja.
a.
TKI yang berhak
mendapatkan Jaminan Kesehatan kerja meliputi :
1)
TKI yang sakit,
2)
TKI yang mengalami gangguan jiwa, dan
3)
TKI yang mengalami cacat fisik;
b. TKI
yang berhak mendapatkan Jaminan Kecelakaan meliputi :
1)
TKI yang mengalami kecelakaan saat jam
kerja, dan
2)
TKI yang mengalami kecelakaan bukan saat
jam kerja.
3.
Jaminan Kematian
a.
Ahli waris TKI yang meninggal dunia berhak
atas jaminan kematian.
b. Ahli
waris TKI yang mendapatkan jaminan kematian meliputi :
1)
Keluarga, dan
2)
Pihak-pihak lain yang ditetapkan oleh
perundang-undangan sebagai ahli waris.
4.
Jaminan atas Upah yang Layak
a.
TKI yang tidak diberi upah
atau diberi upah tetapi tidak sesuai dengan perjanjian kerja berhak menerima
jaminan upah yang layak.
b.
TKI yang mendapatkan
Jaminan upah yang layak meliputi :
1)
TKI yang bekerja sesuai
dengan perjanjian kerja tanpa diberi upah
2)
TKI yang bekerja sesuai
dengan perjanjian kerja tidak di beri upah sesuai dengan perjanjian kerja.
5.
Jaminan Penempatan
TKI yang mendapatkan
Jaminan Penempatan meliputi :
a.
TKI yang gagal berangkat
bukan karena kesalahan calon TKI,
b.
TKI tidak mendapatkan
informasi yang benar mengenai status ketenagakerjaannya di negara penerima TKI,
c.
TKI yang kehilangan atas
kepemilikan dan penyitaan dokumen kewarganegaraan,
d.
TKI mendapatkan pekerjaan
tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah diatur, dan
e.
TKI yang pemulangannya
bermasalah.
6.
Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja.
a.
TKI yang mengalami
pemutusan hubungan kerja dengan tidak sesuai perjanjian kerja yang terjadi
bukan karena berakhirnya masa kerja dalam perjanjian kerja berhak menerima
jaminan dalam pemutusan hubungan kerja.
b.
Pemerintah wajib
memberikan kompensasi kepada calon TKI/TKI. dalam hal terjadinya pemutusan
hubungan kerja yang disebabkan oleh pemerintah.
E.
Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia
Program jaminan sosial TKI diselenggarakan untuk memberikan perlindungan kepada TKI yang
pengelolaannya dapat dilaksanakan dengan mekanisme asuransi dan jaminan bantuan
hukum.
1.
Program Asuransi TKI
a.
Jenis Program Asuransi TKI meliputi :
1)
Program asuransi TKI jaminan
kesehatan dan kecelakaan kerja
a)
Program asuransi TKI jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja
meliputi jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja saat pra penempatan,
penempatan, dan purna penempatan, dan
b)
Jaminan kesehatan dan
kecelakaan kerja tersebut meliputi risiko sakit dan cacat baik di dalam dan di
luar jam kerja.
2)
Program asuransi TKI jaminan kematian
Program asuransi TKI jaminan kematian meliputi jaminan kematian
saat pra penempatan, penempatan, dan purna penempatan.
3)
Program asuransi TKI
jaminan atas upah yang layak
Program asuransi TKI
jaminan atas Upah yang layak meliputi jaminan atas upah yang layak sesuai dengan perjanjian kerja dan risiko
upah tidak dibayar.
4)
Program asuransi TKI
jaminan kepastian penempatan
a)
Program asuransi TKI
selama penempatan meliputi pra penempatan, masa penempatan dan purna
penempatan.
b)
Jaminan penempatan kerja
tersebut meliputi :
·
risiko yang terjadi dalam
hal TKI dipindahkan ke tempat kerja/tempat lain yang tidak sesuai dengan
perjanjian penempatan,
·
risiko gagal ditempatkan
bukan karena kesalahan TKI,
·
risiko kerugian atas
tindakan pihak lain selama perjalanan pulang ke daerah asal, dan
·
TKI yang pemulangannya
bermasalah.
5)
Program Asuransi TKI jaminan
dalam pemutusan hubungan kerja.
a)
Program asuransi TKI jaminan
dalam pemutusan hubungan kerja meliputi pra penempatan, dan masa penempatan.
b)
Jaminan dalam hal
pemutusan hubungan kerja meliputi Pemutusan Hubungan Kerja secara perseorangan maupun massal sebelum
berakhirnya perjanjian kerja.
b.
Jangka Waktu Pertanggungan Asuransi TKI
1)
Jangka waktu pertanggungan
asuransi TKI diatur sebagai berikut:
a)
pra penempatan, selama 5
(lima) bulan sejak terdaftar pada konsorsium TKI pada program pra penempatan,
b)
masa penempatan, paling
lama 24 (dua puluh empat) bulan, dan
c)
Purna penempatan, paling
lama 1 (satu) bulan sejak berakhirnya perjanjian kerja yang terakhir atau TKI
sampai ke daerah asal.
2)
Dalam hal TKI melakukan
perpanjangan perjanjian kerja, maka jangka waktu pertanggungan asuransi TKI
sesuai dengan jangka waktu perpanjangan perjanjian kerja.
c.
Klaim dan Kelengkapan Dokumen
Calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah menurut peraturan
perundang-undangan mengajukan klaim asuransi kepada konsorsium asuransi TKI.
Klaim tersebut diajukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan setelah terjadinya risiko yang dipertanggungkan dalam sistem penjaminan
sosial. Jika pengajuan klaim melewati
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, maka hak menuntut klaim dinyatakan gugur.
Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan
melampirkan persyaratan :
1)
Umum.
a)
surat pengajuan klaim
ditandatangani oleh calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah dan bermeterai cukup,
b)
Tanda bukti kepesertaan
asuransi asli,
c)
foto copy identitas diri
calon TKI/TKI atau ahli waris yang sah, dan/atau
d)
surat keterangan asli dari
ahli waris yang sah diketahui kepala desa/kelurahan domisili ahli waris dalam
hal klaim diajukan oleh ahli waris.
2)
Khusus program asuransi
jaminan sosial kesehatan dan kecelakaan kerja.
a)
Jika Sakit dan Cacat
·
surat keterangan dari rumah
sakit, dan
·
rincian biaya pengobatan
dan perawatan dari rumah sakit atau Puskesmas.
b)
Jika Meninggal dunia
·
surat keterangan kematian
dari rumah sakit, atau
·
surat keterangan dari
Perwakilan R.I. setempat.
c)
Jika Upah tidak dibayar
secara layak
·
surat perjanjian kerja asli,
dan
·
surat keterangan dari
Perwakilan Pemerintah RI di negara
tujuan.
d)
Jika Gagal ditempatkan
bukan karena kesalahan calon TKI.
·
surat keterangan dari
kepala dinas kabupaten/kota setempat,
·
perjanjian penempatan.
e)
Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) secara perseorangan maupun secara masal sebelum berakhirnya perjanjian
kerja.
·
surat perjanjian kerja,
·
perjanjian penempatan,
·
surat keterangan PHK dari
pengguna, dan
·
surat keterangan
Perwakilan R.I. di negara tujuan.
2.
Program Perlindungan Hukum
Jenis Program Perlindungan Hukum TKI meliputi :
a. Program perlindungan hukum terhadap keselamatan kerja
Program perlindungan hukum TKI atas jaminan keselamatan kerja meliputi
jaminan keselamatan kerja saat pra penempatan, penempatan, dan purna
penempatan.
b. Program perlindungan hukum atas upah yang layak
Program perlindungan hukum
TKI atas jaminan Upah yang layak, meliputi jaminan atas upah yang layak sesuai dengan perjanjian kerja dan risiko
upah tidak dibayar.
c.
Program perlindungan hukum
terhadap kepastian penempatan kerja
Program perlindungan hukum
TKI selama penempatan meliputi pra penempatan, masa penempatan dan purna
penempatan, yaitu:
1)
TKI yang kehilangan
kepemilikan dan penyitaan dokumen kewarganegaraan, dan
2)
TKI yang mendapatkan
pekerjaan tidak sesuai dengan perjanjian kerja yang telah diatur;
d. Program perlindungan hukum dalam pemutusan hubungan kerja.
Program perlindungan hukum TKI dalam pemutusan hubungan kerja
secara sepihak baik perseorangan maupun
secara massal sebelum berakhirnya perjanjian kerja, meliputi pra
penempatan, dan masa penempatan.
BNP2TKI yang dibentuk oleh pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan wajib memberikan perlindungan bantuan hukum untuk
menyelesaikan permasalahan jaminan sosial TKI dalam masa pra penempatan,
penempatan dan purna penempatan. Kemudian BNP2TKI
dan BP3TKI juga wajib membuat sistem pengawasan terhadap jaminan sosial TKI
yang dilakukan secara periodik dan terus menerus untuk mengawasi kondisi TKI di
negara tujuan yang ketentuan tentang teknis tata pelaksanaannya diatur dalam
peraturan menteri.
F.
Pengawasan
Adapun Pengawasan
terhadap penyelenggaraan jaminan sosial calon TKI/TKI dilaksanakan oleh
pemerintah. Pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial TKI di luar
negeri dilaksanakan oleh Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia di negara
tujuan dan tata teknis pelaksanaan pengawasan terhadap penyelenggaraan jaminan
sosial TKI diatur dalam peraturan pemerintah.
BAB VI
PENUTUP
A.
Simpulan
Program jaminan
sosial TKI sangat diperlukan dalam perlindungan atas hak-hak dasar yang
dimiliki oleh TKI. Permasalahan Jaminan sosial TKI yang seharusnya
diberikan demi menjaga hak-hak dasar
warga negara Indonesia yang berada diluar negeri tersebut dikelompokkan menjadi
5 permasalahan pokok meliputi jaminan keselamatan kerja, jaminan kesehatan dan
kecelakaan kerja, jaminan atas Upah yang layak, jaminan kepastian penempatan
dan jaminan dalam pemutusan hubungan kerja.
Jaminan
keselamatan kerja TKI yang diberikan oleh negara ialah jaminan bantuan hukum
terhadap TKI yang mengalami penganiayaan, kekerasan seksual, dan ancaman
hukuman mati. Bantuan hukum tersebut diberikan oleh BNP2TKI sebagai badan
perlindungan hukum TKI dan pelaksanaan pelaporan kondisi TKI kepada BNP2TKI
dilakukan oleh PPTKIS. Dalam hal jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja, TKI
diberikan program jaminan asuransi yang dalam pelaksanaan atau klaimnya dibantu
oleh PPTKIS kepada konsorsium asuransi yang ditunjuk oleh pemerintah. Jaminan
asuransi kesehatan tersebut meliputi sakit dan cacat, sementara jaminan
kecelakaan kerjanya meliputi pada saat jam kerja dan di luar jam kerja.
Program
jaminan sosial Jaminan atas Upah yang layak merupakan perlindungan atas hak TKI
yang telah dijamin oleh UUD 1945. Program jaminan atas Upah tersebut berikan
dalam bentuk program asuransi dan bantuan hukum terhadap TKI yang tidak
diberikan upah yang layak sesuai dengan perjanjian kerja maupun tidak diberikan
upah sama sekali, sementara dalam jaminan sosial atas kepastian penempatan,
Pemerintah juga memberikan dua program yang yaitu program asuransi dan bantuan
hukum bagi para TKI yang mengalami ketidaksesuaian
bidang kerja yang telah dijanjikan sebelumnya dalam Perjanjian kerja, Penarikan pungutan tambahan kepada
para TKI setelah kepulangan ke negara asal, dan Pemulangan TKI dalam keadaan,
cacat atau meninggal.
TKI yang terlibat dalam permasalahan pemutusan
hubungan sepihak yang meliputi pemutusan hubungan sepihak tanpa alasan yang
jelas, moratorium pemerintah yang memberhentikan sementara
para TKI, dan pemutusan
hubungan kerja secara sepihak oleh para majikan oleh karena
itu, Perlu adanya pengawasan dari BNP2TKI, pemerintah, PJTKI dan juga pihak
perwakilan pemerintah RI di negara tujuan secara periodik agar dapat lebih
melindungi dan mengawasi para TKI. selain itu, Pihak konsorsium diharapkan
dapat menyediakan dana klaim kepada TKI yang telah
memenuhi semua persyaratan dan adanya jaminan perlindungan bantuan hukum
kepada para TKI yang telah dirugikan
oleh pihak majikan atau pihak lain.
Jaminan
sosial TKI yang telah dirumuskan diatas ini diharapkan dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya, agar hak-hak TKI dapat terpenuhi sesuai dengan amanat
Undang-undang Dasar 1945 dan pemerintah dapat melindungi segenap bangsa dan
tumpah darah Indonesia.
B.
Saran
Materi
muatan yang telah dituliskan dalam naskah akademik ini telah menjelaskan bahwa
pada dasarnya jaminan sosial terhadap TKI merupakan tujuan dalam pembentukan
negara, amanat konstitusional serta hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh
setiap individu dalam memilih pekerjaannya. Oleh karena itu, Pengaturan tentang
Jaminan sosial TKI tersebut harus diatur dalam Undang-undang. Pengaturan
tentang jaminan sosial TKI dalam Undang-undang ini merupakan sesuatu yang
prinsipil, sedangkan untuk hal-hal yang bersifat teknis diatur dengan peraturan
pelaksana.
Penyusunan
naskah akademik rancangan Undang-undang jaminan sosial TKI yang dibuat oleh
pemerintah, sebaiknya perlu memperhatikan pendapat dari berbagai pihak yang
terlibat dalam proses penyelenggaraan jaminan sosial TKI dan badan-badan yang
dibentuk untuk tugas penempatan dan pengawasan TKI. Hal ini merupakan wujud
dari asas keterbukaan agar semua pihak dapat dengan jelas mengetahui dan
memberikan berbagai permasalahan yang dihadapi dalam penyelenggaraan jaminan
sosial bagi TKI.
DAFTAR PUSTAKA
A.
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang - undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang - undang No 39 Tahun 2004 Tentang
Penempatan Dan Perlindungan TKI di Luar Negeri
Undang - undang No 3
Tahun 1992 Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Undang - undang No 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
B.
Buku,
Jurnal, Dan Laporan Penelitian
Abdurrahman
Muslan, 2006 Ketidak Patuhan TKI Sebuah
Efek Diskriminasi Hukum, Malang, Universitas
Muhammadiyyah Malang.
Budiman
Arief, 1996, Teori Negara Kekuasaan Dan
Teknologi, Jakarta, PT.Gramedia.
Craig
John D.R dan S. Michael Lynk, 2007, Globalization
and The Future of Labour Law, United Kingdom, Cambridge University Press
Fuady
Munir, 2009 Teori Negara Hukum Modern, Bandung,
PT Refika Aditama.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Kurde
Arfawie Nukhtoh, 2005, Teori Negara
Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
K.M
Smith Rhona dan Njal Hostmaelingen, 2008, Hukum
Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Pusat Studi Hukum dan HAM Universitas Islam
Indonesia.
Leslie
L. Douglas, 1979, Labor Law In a Nutshell, United States of Ameica, ST. Paul Minn
West Publishing
Maryoto
Boedi dkk, 1995, Laporan Penelitian
Tentang Perlindungan Hukum Terhadap Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri, Jakata, Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI.
C.
Sumber
Lain
AB,
Muhaimin Usul Penyesuaian Upah TKI di
Saudi, di muat dalam <http://www.antarakl.com/index.php/naker/48-muhaimin-usul-penyesuaian-upah-tki-di-saudi>,
di akses tanggal 16 januari 2012
Aditia Maruli, Kasus Penganiayaan TKI
Akan Terus Terjadi, dimuat dalam <http://www.antaranews.com/berita/1291444605/kasus-penganiayaan-tki-akan-terus-terjadi>,
di akses pada tanggal 6 januari 2012
Agus
Dwi Darmawan, Penganiayaan
TKI di Arab Saudi Sulit Diungkap, di
muat dalam <http://nasional.vivanews.com/news/read/189155-penganiayaan-tki-di-arab-saudi-sulit-diungkap>,
di akses pada tanggal 6 januari 2012.
Agus Zaeroni, TKI Masuk RS Jiwa,
Korban Disuntik di muat dalam <http://www.indosiar.com/fokus/tki-masuk-rs-jiwa-korban-disuntik-gila_48783.html>, di akses
tanggal 16 Januari 2011.
Darwis, Inilah Daftar
TKI yang Segera Dihukum Gantung, di muat dalam
<,http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/06/21/inilah-daftar-tki-yang-segera-dihukum-gantung>, di akses pada tanggal 11 januari 2011.
Erna Rochan, Permasalahan
TKI, dimuat dalam <http://naromacan.blogspot.com/2010/12/permasalahan-tki_11.html> diakses pada tanggal 12 Januari 2012
Kampung TKI, Nasib TKI Pasca Moratorium, di muat dalam <http://kampungtki.com/baca/31372> di akses tanggal tanggal 9 januari 2012
Kampung
TKI, TKI di PHK-Sepihak, di muat dalam <http://kampungtki.com/baca/6636>, di akses tanggal 9 januari 201
Kampung TKI, Perjanjian Kerja TKI PLRT Harus Lebih
Jelas, di
muat dalam <http://kampungtki.com/baca/32867>, di akses
tanggal 11 Januari 2012.
Neneng
Zubaidah, Kasus Kekerasan Terhadap TKI Menurun, di muat dalam <http://news.okezone.com/read/2012/01/09/337/554268/kasus-kekerasan-terhadap-tki-menurun>, diakses
tanggal 11 Januari 2012.
Ririn Agustia, Arab Saudi Belum
Setujui Standar Upah TKI, di muat dalam <http://www.tempo.co/read/news/2011/10/02/173359450/Arab-Saudi-Belum-Setujui-Standar-Upah-TKI> di akses
tanggal oktober 2011.
Tabloid diplomasi, Data Kasus WNI di Luar
Negeri, di muat dalam
<http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/117-januari-2011/1016-data-kasus-wni-di-luar-negeri.html> diakses
tanggal 12 januari 2012.
Universitas
Muhammadiyah Surakarta (Internet). Surakarta , Data Kasus WNI di Luar Neger , di muat dalam <http://etd.eprints.ums.ac.id/12394/2/BAB_1.pdf>, diakses
pada tanggal 12 januari 2012.
Zul,
Derita TKI Indramayu Korban
Trafficking, Cacat Seumur Hidup, di muat dalam <http://bnp2tki.go.id/berita-mainmenu-231/5751-derita-tki-indramayu-korban-trafficking-cacat-seumur-hidup.html>
, di akses tanggal 16 Januari 2011.
[1] http://etd.eprints.ums.ac.id/12394/2/BAB_1.pdf
diakses pada tanggal 12 Januari 2012.
[2] Erna, Permasalahan TKI, dimuat dalam http://naromacan.blogspot.com/2010/12/permasalahan- tki_11.html diakses pada tanggal 12 januari
2012.
[3] Tabloid Diplomasi edisi januari 2011, data kasus WNI di luar negeri, dalam
situs http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/117-januari-2011/1016-data-kasus-wni-di-luar-negeri.html diakses pada tanggal 12 januari 2012
[4] Jack Donnely, Universal Human Rights in
Theory and Practice dikutip
dari buku Hukum Hak Asasi Manusia
karangan Rhona K.M. Smith, dkk. PUSHAM UII. 2008. Hlm. 11
[5] John Locke, The second Treaties of Civil
Government an a Letter Concerning Toleration. Ibid.
Hlm 12
[6] Karel Vasak, “A 30-Year Struggle. The Sustained Efforts
to Give Force of Law to teh Universal Declaration of Human Rights.” Ibid.
Hlm 14
[7] Immanuel
Kant. Dikutip dari buku Teori Negara Hukum, Teori Konstitusi, dan Teori
Demokrasi. Karangan Nukhtikoh Arfawie Kurde. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2005.
Hlm 16
[9] Dewi Amanatun.Membumikan Negara kesejahteraan. http://www.nasyiah.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=67:membumikan-Negara-kesejahteraan-&catid=6:opini&Itemid=99. 30
April 2008.
[10] Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 alinea 4
[12] Boedi
Maryoto dan tim kerja. Laporan Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap
Tenaga Kerja Wanita di Luar Negeri. 1997. Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman RI. Hlm. 1
[14] http://www.antaranews.com/berita/1291444605/kasus-penganiayaan-tki-akan-terus-terjadi
di akses pada tanggal 6 januari 2012
[15] http://nasional.vivanews.com/news/read/189155-penganiayaan-tki-di-arab-saudi-sulit-diungkap
di akses pada tanggal 6 januari 2012
[18] http://makassar.tribunnews.com/mobile/index.php/2011/06/21/inilah-daftar-tki-yang-segera-dihukum-gantung
di akses pada tanggal 11 januari 2011.
[20] http://news.okezone.com/read/2012/01/09/337/554268/kasus-kekerasan-terhadap-tki-menurun
diakses tanggal 11 Januari 2012.
[21] http://kampungtki.com/baca/32867
diakses tanggal 11 Januari 2012.
[23] ibid
[24]Ririn Agustia. http://www.tempo.co/read/news/2011/10/02/173359450/Arab-Saudi-Belum-Setujui-Standar-Upah-TKI,
oktober 2011
[25]
http://kampungtki.com/baca/31372,
dengan Artikel berjudul Nasib TKI pasca Moratorium. Di akses
pada hari senin, tanggal 9 januari
2012
[26] http://kampungtki.com/baca/6636, dengan
artikel berjudul “11.036
TKI di-PHK sepihak”. Di
akses pada hari senin, tanggal 9 januari
2012
[27] Pasal 34
ayat (2) merupakan hasil Perubahan (amandemen) UUD 1945 Tahun
2002.
[28]
Lembaran negara Republik Indonesia tahun 2004 no 133
[29]
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1992 No 3468
[30]
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 No 4279
[31]
Penjelasan Umum Undang Undang No 13 tahun 2003
KISAH NYATA..............
BalasHapusAss.Saya IBU SERI HASTUTI.Dari Kota Surabaya Ingin Berbagi Cerita
dulunya saya pengusaha sukses harta banyak dan kedudukan tinggi tapi semenjak
saya ditipu oleh teman hampir semua aset saya habis,
saya sempat putus asa hampir bunuh diri,tapi saya buka
internet dan menemukan nomor Ki Dimas,saya beranikan diri untuk menghubungi beliau,saya dikasi solusi,
awalnya saya ragu dan tidak percaya,tapi saya coba ikut ritual dari Ki Dimas alhamdulillah sekarang saya dapat modal dan mulai merintis kembali usaha saya,
sekarang saya bisa bayar hutang2 saya di bank Mandiri dan BNI,terimah kasih Ki,mau seperti saya silahkan hub Ki
Dimas Taat Pribadi di nmr 081340887779 Kiyai Dimas Taat Peribadi,ini nyata demi Allah kalau saya bohong,indahnya berbagi,assalamu alaikum.
KEMARIN SAYA TEMUKAN TULISAN DIBAWAH INI SYA COBA HUBUNGI TERNYATA BETUL,
BELIAU SUDAH MEMBUKTIKAN KESAYA !!!
((((((((((((DANA GHAIB)))))))))))))))))
Pesugihan Instant 10 MILYAR
Mulai bulan ini (juli 2015) Kami dari padepokan mengadakan program pesugihan Instant tanpa tumbal, serta tanpa resiko. Program ini kami khususkan bagi para pasien yang membutuhan modal usaha yang cukup besar, Hutang yang menumpuk (diatas 1 Milyar), Adapun ketentuan mengikuti program ini adalah sebagai berikut :
Mempunyai Hutang diatas 1 Milyar
Ingin membuka usaha dengan Modal diatas 1 Milyar
dll
Syarat :
Usia Minimal 21 Tahun
Berani Ritual (apabila tidak berani, maka bisa diwakilkan kami dan tim)
Belum pernah melakukan perjanjian pesugihan ditempat lain
Suci lahir dan batin (wanita tidak boleh mengikuti program ini pada saat datang bulan)
Harus memiliki Kamar Kosong di rumah anda
Proses :
Proses ritual selama 2 hari 2 malam di dalam gua
Harus siap mental lahir dan batin
Sanggup Puasa 2 hari 2 malam ( ngebleng)
Pada malam hari tidak boleh tidur
Biaya ritual Sebesar 10 Juta dengan rincian sebagai berikut :
Pengganti tumbal Kambing kendit : 5jt
Ayam cemani : 2jt
Minyak Songolangit : 2jt
bunga, candu, kemenyan, nasi tumpeng, kain kafan dll Sebesar : 1jt
Prosedur Daftar Ritual ini :
Kirim Foto anda
Kirim Data sesuai KTP
Format : Nama, Alamat, Umur, Nama ibu Kandung, Weton (Hari Lahir), PESUGIHAN 10 MILYAR
Kirim ke nomor ini : 081340887779
SMS Anda akan Kami balas secepatnya
Maaf Program ini TERBATAS hanya untuk 25 Orang saja..
Kami Hadir Untuk Menjalin Tali Silatuh Rahmi,Guna Untuk Membantu Para Masyarakat Di Muka Bumi Ini ,Dengan Segala Permasalahan Yang Ada,Karena Di Dalam Masyarakat Yang Kita Tahu Saat Sekarang Ini,Masih Banyak Masyarakat Yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan,Untuk Itu,Izinkan Saya Mbah Karwo Untuk Memberikan Solusi Terbaik Untuk Anda Yang Sangat Membutuhkan.Ada Berbagai Cara Untuk Membantu Mengatasi Masalah Perekonomian,Dengan Jalan ; 1,Melalui Angka Togel Jitu ; Supranatural 2,Pesugihan Serba Bisa 3,Pesugihan Uang Balik/Bank ghaib 4,Ilmu Pengasihan 5,DLL HANYA DENGAN BERMODALKAN KEPERCAYAAN DAN KEYAKINAN,INSYA ALLAH ITU SEMUANYA AKAN BERHASIL SESUAI DENGAN KEINGINAN ANDA... Dunia yang akan mewujudkan impian anda dalam sekejab dan menuntaskan masalah keuangan anda dalam waktu yang singkat. Mungkin tidak pernah terpikir dalam hidup kita untuk menyentuh hal hal seperti ini. Ketika terpikirkan kekuasaan, uang dalam genggaman, semua bisa dikendalikan sesuai keinginan kita.Semua bisa diselesaikan secara logika.Tapi akankah logika selalu bisa menyelesaikan masalah kita. Pesugihan Mbah Karwo Mbah memiliki ilmu supranatural yang bisa menghasilkan angka angka putaran togel yang sangat mengagumkan, ini sudah di buktikan member bahkan yang sudah merasakan kemenangan(berhasil), baik di indonesia maupun di luar negeri.. ritual khusus di laksanakan di tempat tertentu, hasil ritual bisa menghasilkan angka 2D,3D,4D,5D.6D. sesuai permintaan pasien.Mbah bisa menembus semua jenis putaran togel. baik itu SGP/HK/Malaysia/Sydnei, maupun putaran lainnya. Mbah Akan Membantu Anda Dengan Angka Ghoib Yang Sangat Mengagumkan "Kunci keberhasilan anda adalah harus optimis karena dengan optimis.. angka hasil ritual pasti berhasil !! BERGABUNGLAH DAN RAIH KEMENANGAN ANDA..! Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar dengan sangat Membutuhkan Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!! Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini 1. Di Lilit Hutang 2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel 3. Barang berharga Anda Sudah Habis Buat Judi Togel 4. Anda Sudah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang tepat Jangan Anda Putus Asa…Selama Mentari Masih Bersinar Masih Ada Harapan Untuk Hari Esok.Kami akan membantu anda semua dengan Angka Ritual Kami..Anda Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya Saja… Apabila Anda Ingin Mendapatkan Nomor Jitu 2D 3D 4D 6D Dari Mbah Karwo Selama Lima Kali Putaran,Silahkan Bergabung dengan Uang Pendaftaran Paket 2D Sebesar Rp. 300.000 Paket 3D Sebesar Rp. 500.000 Paket 4D Sebesar Rp. 700.000 Paket 6D Sebesar Rp. 1.500.000 dikirim Ke Rekening BRI.Atas Nama:No Rekening PENDAFTARAN MEMBER FORMAT PENDAFTARAN KETIK: Nama Anda#Kota Anda#Kabupaten#Togel SGP/HKG#DLL LALU kirim ke no HP : ( 0852-3162-7267 ) SILAHKAN HUBUNGI EYANG GURU:0852-3162-7267
BalasHapusSy tidak tau apa ini cara kebetulan saja atau gimana. Yg jelas sy berani sumpah kalau sy berbohon. Kebetulan saja buka internet dpt nomer ini +6282354640471 Awalnya memang takut hubungi nomer trsbut. Setelah baca-baca artikel nya. ada nama Mbah Suro katanya sih.. bisa bantu orang mengatasi semua masalah nya. baik jalan Pesugihan maupun melalui anka nomer togel. Setelah dengar arahan nya bukan jg larangan agama atau jlan sesat. Tergantung dri keyakinan dan kepercayaan sja. Syukur Alhamdulillah benar2 sudah terbukti sekarang.
BalasHapus