TRAGEDI MESUJI, PUNCAK DERITA PETANI
( KASUS PELANGGARAN HAM BERAT )
Oleh : M.Irham Roihan
UUD 1945 yang
merupakan cita-cita bangsa Indonesia memang tidak selalu seperti yang
diharapkan terjadi dalam realita berbangsa dan bernegara. Didalam pembukaan UUD
1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah negara Indonesia wajib melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum.[3]
Namun, dalam kenyataannya pemerintah masih belum mampu melindungi seluruh tumpah
darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum. Hal ini bisa kita lihat
sekurang-kurangnya dalam kasus yang menimpa warga Desa Sodong Kec. Mesuji
Propinsi Sumatera Selatan, Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning
Kabupaten Mesuji dan Desa Talang Batu Kab. Mesuji Propinsi Lampung.
Warga di ketiga
lokasi ini telah menjadi korban perampasan Hak Atas Tanah dan ketidakadilan
perlakuan oleh korporasi dan aparat penegak hukum. Bahkan tindakan tak
beradab dan keji menimpa warga desa yang selalu saja bersimbah darah dari tahun
ketahun.
Kasus yang
mencuat saat ini di Mesuji terdapat tiga kasus, walau sesungguhnya masih ada
kasus yang tinggal menunggu bom waktu. Ketiga kasus tersebut adalah sebagai
berikut: pertama, kasus pengelolaan
lahan milik adat di areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya
tepatnya di Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu telah mencuat pada
februari 2006 dan puncaknya berujung kematian Made Asta pada 6 Nopember 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit
seluas 1533 ha antara warga Desa Sei Sodong dengan PT. Sumber Wangi Alam yang
berakhir dengan tragedi pembantaian terhadap dua orang petani tak bersenjata
ditengah kebun sawit pada 21 April 2011. Ketiga,
kasus tanah lahan sawit seluas 17 ribu ha antara warga Desa Sritanjung,
Kagungan Dalam dan Nipah kuning dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo yang
puncaknya berujung pada kematian Zaini pada 10 November 2011.
Tindakan biadab
dan keji ini tidak pernah oleh negara disebut sebagai pelanggaran HAM Berat.
Malah ditengah situasi duka, aparat masih menjalankan upaya kriminalisasi
kepada warga yang menjadi korban walau masyarakat sejak awal telah mengadu
kepada Polisi dan pemerintah setempat. Demikian pula terhadap Komnas HAM, warga
Desa Sritanjung melapor kepada Komnas HAM sejak Baharudin Lopa masih menjabat
hingga menjelang satu hari sebelum terjadi penembakan oleh Brimob. Kasus di
Desa Sodong telah pula di koordinasikan sejak Mei 2011 kepada Komnas HAM.
Dari ketiga kasus ini ,terlihat bahwa pemicu konflik terkait perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan warga tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit itu. Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU perkebunan Nomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU ini dengan jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan baik swasta maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani. Sedangkan pemicu konflik diareal HTI Reg 45 Way Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian lahan merupakan tanah adat/ulayat. Tuntutan warga Desa Gunung Batu atas lahan seluas 7 ribu ha, hanya dikabulkan 2300 ha untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Dan ketika warga adat memberikan lahan untuk dikelola kepada warga lokal pihak perusahaan dan aparat telah menstigma pengelola sebagai perambah hutan.
Menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengkatagorikannya sebagai Centeng Perusahaan. Mengapa demikian karena polisi bukan menjadi pangayom atau sekurangnya hadir disaat ketegangan terjadi, akan tetapi polisi memang telah bermarkas di areal kebun sawit seperti di dapati di PT. BMSI. Kondisi inilah yang telah memperumit situasi. Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru kearah masyarakat tanpa mengikuti SOP.
Bukan hanya polisi, pihak Badan Pertanahan juga memiliki andil sangat besar dalam kasus-kasus perkebunan sawit. Seharusnya departemen ini ketika akan menerbitkan HGU wajib berpegang kukuh pada prinsip clean dan clear. Tentu harus pula melakukan pengawasan ke lokasi terhadap areal HGU. Dan memberikan respon cepat ketika terdapat pengaduan warga, bukan terus sibuk menerbitkan HGU dan mengabaikan sengketa agraria.
Demikian pula Dinas Kehutanan seharusnya cepat mencabut izin perusahaan yang dengan terang dan jelas telah menelantarkan lahan dan menyalahgunakan peruntukan lahan. Seperti dilakukan oleh Silva Inhutani. Lahan yang seharusnya ditanami kayu, malah ditanami singkong dan nanas. Semestinya pula lahan-lahan yang diterlantarkan tersebut bisa diserahkan kepada warga untuk dikelola dengan mekanisme hutan desa atau mekanisme lainya sehingga
fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat
mendapat manfaat.
Dari berbagai macam kasus diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah Mesuji merupakan Ladang Pelanggaran Ham Berat terhadap petani dimana kasus juga terjadi secara beruntun dari tahun ketahun dan telah pula memakan korban jiwa yang cukup besar. Tindakan pelanggaran HAM berat ini seharusnya menjadi bahan instrospeksi bagi para pihak terkait agar dapat menyelesaikan permasalahan tersebut diatas dengan setuntas-tuntasnya. Adapun saran-saran yang dapat penulis paparkan adalah sebagai berikut :
1.
Mendesak DPR untuk
segera melakukan interpelasi.
2.
Melakukan pengkajian
ulang terhadap UU perkebunan Nomor 18 tahun 2004.
3. Mendesak Presiden
untuk melakukan evaluasi terhadap POLRI dan menempatkannya dalam lingkungan
Departemen Dalam Negeri.
4. Mendesak KAPOLRI
agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari dalam areal perkebunan sawit
dan menghukum berat pelaku penembakan petani serta tidak terlibat dalam
sengketa agrarian.
5. Mendesak POLRI untuk
menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani di Mesuji dan memberikan
pertanggungan atas seluruh biaya yang ditimbulkan atas para korban baik yang
meninggal dan masih dirawat di rumah sakit.
6.
Mendesak BPN RI
untuk segera mengevaluasi seluruh HGU yang berkonflik dan mencabut HGU
perusahaan yang telah merugikan rakyat khususnya HGU PT.SWA dan PT. BMSI
7. Mendesak Menteri
Kehutanan RI mencabut izin PT. Silva Lampung Abadi dan Inhutani V serta
memberikan pengelolaan lahan kepada warga sesuai mekanisme yang ada.
8.
Mendesak Komnas HAM
untuk mengumumkan bahwa kasus di Mesuji merupakan pelanggaran HAM Berat.
9.
Mendesak Presiden
untuk segar turun memimpin penghentian tindak pelanggaran HAM disemua sector.
Lakukan pembenahan disemua sektor lalu tersenyumlah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar