BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Salah satu
tuntutan reformasi yang digulirkan sejak tahun 1998 adalah dibangunnya suatu
sistem ketatanegaraan Indonesia yang berbasis secara murni dan konsekuen pada
paham kedaulatan rakyat dan Negara hukum (rechstaat). Karena itu, dalam konteks
penguatan sistem hukum yang diharapkan mampu
membawa rakyat Indonesia mencapai tujuan bernegara yang di cita-citakan,
maka perubahan atau amandemen UUD 1945 merupakan langkah strategis yang harus
dilakukan dengan seksama oleh bangsa Indonesia. Berbicara tentang sistem hukum
tentunya tidak terlepas dari persoalan politik hukum atau rechts politiek,
sebab politik hukumlah yang menentukan sistem hukum yang bagaimana yang
dikehendaki(Wiratma, 2002:140). Politik hukum adalah kebijakan dasar yang
menentukan arah, bentuk, dan isi hukum yang akan dibentuk (Wahjono, 1983:99)
Kebijakan dasar tersebut adalah Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945
(UUD1945) dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN 2004-2009).
Dengan demikian UUD 1945 atau konstitusi Republik Indonesia menentukan arah
politik hukum Negara Kesatuan Republik Indonsia yang berfungsi sebagai hukum
dasar tertulis tertinggi untuk dioperasionalisasikan bagi pencapaian tujuan Negara.
Beberapa
saat yang lalu, muncul berbagai usulan agar lembaga negara di kaji ulang
keberdaannya, sekaligus kewenangan dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Karena sejak reformasi, kelembagaan negara kita tidak jelas
desainnya. Masing-masing tidak taat “Pakem” konstitusionalismenya. Pemerintah
selalau mengatakan bahwa setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 kita menganut antara lain prinsip check and balances.
Tetapi kenyataannya, prinsip itu
tidak sepenuhnya di ikuti dalam sistem yang kita bangun melalui perubahan UUD
1945. Bahkan belakangan muncul persoalan tumpang tindih kewenangan antar
lembaga negara, misalnya Komisi Yudisial ( KY ) dengan Mahkamah Agung ( MA ),
Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), dengan kepolisian dan kejaksaan.
Selain itu, pemerintah mengeluarkan
berbagai inovasi baru dengan melahirkan komisi-komisi negara baik sebagai
lembaga negara independen maupun lembaga yang tidak independen. Padahal belum
pernah dilakukan kajian yang komprehensif terhadap kinerja lembaga-lembaga
negara atau instrumen negara selama ini. Dalam hal ini, di antara sekian banyak
problem ketatanegaraan yang terjadi di indonesia, kami akan fokus kepada kasus
sengketa lembaga negara antara Presiden dengan DPR dan Komisi Yudisial dengan
Mahkamah Agung.
B. PEMBATASAN
MASALAH
Agar dalam
penulisan ini tidak menyimpang dari
sasaran yang hendak dicapai dan mendapatkan hasil yang optimal, maka dengan
mengingat kemampuan dan pengetahuan yang ada perlu kiranya kami membuat pembatasan
masalah yang sesuai dengan judul, yaitu mengenai sengketa kewenangan antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dan sengketa kewenangan antara Presiden dan
DPR.
C. RUMUSAN
MASALAH
1. Mengapa
setelah amandemen UUD 1945 masih menimbulkan problematika konstitusionalisme
yang kontraproduktif terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Negara Indonesia
khususnya pada Lembaga Negara?
2. Bagaimana
penyelesaian sengketa kewenangan antara Presiden dan DPR ?
3. Bagaimana
penyelesaian sengketa kewenangan antara KY dan MA dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim?
D. TUJUAN
DAN MANFAAT TULISAN
1.
Tujuan Penulisan :
1.a.
Untuk mengetahui penyebab utama timbulnya problematika konstitusionalisme
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara indonesia.
1.b.Untuk
mengetahui sebab terjadinya persoalan kewenangan antar lembaga yuridis, khususnya
MK dengan KY dan Presiden dengan DPR.
2. Manfaat
Penulisan :
2.a.Sebagai tambahan ilmu
pengetahuan mengenai sekelumit problematika ketatanegaraan Indonesia bagi
penyusun khususnya dan mahasiswa Fakultas Hukum UII pada umumnya.
2.b. Sebagai pembelajaran bagi
penyusun dalam menganalisis dan memecahkan permasalahan yang ada.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SENGKETA LEMBAGA NEGARA ANTARA
EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF
Pasca perubahan UUD 1945, memang masih menimbulkan pro dan kontra tentang
pengaturan kelembagaan Negara berikut kewenangannya. Sebab, sekalipun dari segi
substansinya, materi muatan UUD 1945 dinilai
sudah mencerminkan paham kedaulatan rakyat tetapi dari segi
sistem pemerintahan dan operasionalisasinya justru menimbulkan berbagai
persoalan baru, baik menyangkut hubungan Presiden dengan DPR maupun dengan
lembaga-lembaga Negara lainnya. Padahal seharusnya konstitusi mampu menciptakan
suatu sistem yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan persoalan tata
hubungan kelembagaan Negara itu dan upaya bangsa Indonesia mencapai tujuan
nasionalnya. Namun yang terjadi, justru
aroma konflik antar lembaga negara, yaitu antara Presiden dengan DPR dalam
penetapan kebijakan negara, sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial tentang kekuasaan kehakiman, dan penyusunan kabinet dan hubungan Pusat dengan Daerah
yang sampai kini tetap menjadi isu-isu politik yang strategis, bersifat laten dan
tidak mudah menyelesaikannya secara tuntas, dan konflik-konflik lainnya yang
tidak dapat dituliskan satu persatu di tulisan ini.
Menurut
Adnan Buyung Nasution (Forum, No.19, 16 Juni 2002, 70), hal ini disebabkan
karena para tukang amandemen di MPR sama sekali tidak memiliki konsep atau
desain yang jelas tentang sistem pemerintahan yang dinilai terbaik buat
Indonesia. Sehingga pasal-pasal UUD 1945 hanya asal tempel saja, amburadul,
sangat pragmatis, campur aduk, tumpang tindih, kontradiksi, dan
berlubang-lubang, yang akan menimbulkan polemik berkepanjangan di kemudian hari.
Situasi dan kondisi setelah perubahan UUD 1945
(1999-2002) sangat berbeda dengan
situasi dan kondisi sebelum perubahan UUD1945. Hal ini disebabkan
dalam teks UUD 1945 hasil perubahan
tidak secara eksplisit disebutkan mana
yang termasuk lembaga tertinggi negara
dan lembaga mana yang dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Dalam teks
perubahan UUD 1945 dijumpai adanya 2(dua) pasal yang menyebut secara eksplisit
istilah Lembaga Negara, yaitu :
1.
Pasal 24c ayat(1) tentang wewenang Mahkamah
Konstitusi, antara lain ; memustus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
2.
Dan
dalam Pasal 11 Aturan Peralihan yang menyatakan ;Semua Lembaga Negara yang ada
masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang
Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.
Dari dua pasal tersebut di atas, untuk Pasal 24c ayat
(1) UUD 1945 tidak jelas tentang
kriteria Lembaga Negara, kecuali hanya disebutkan kriteria bahwa kewenangannya
harus diberikan oleh UUD 1945. Sedangkan pasal 11 Aturan Peralihan dapat
ditafsirkan meliputi Lembaga-Lembaga yang dahulu disebut oleh MPR dengan
Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara yang terdiri dari MPR, Presiden,
DPR, DPA, MA dan BPK.
Selain ketidak jelasan tentang apa yang dimaksud dengan Lembaga Negara oleh UUD 1945 hasil
perubahan, juga terjadi tumpang tindih
dan ketidakjelasan kewenangan antara Lembaga-Lembaga tersebut, sehingga
kemudian terjadi kontradiksi dan kompleksitas hubungan antar LembagaNegara. Contoh
paling aktual dalam kasus ini adalah tentang kewenangan pengawasan yang
dimiliki Komisi Yudisial. Dalam pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial menyebutkan Komisi Yudisial mempunyai kewenangan untuk menjaga dan
mengawasi perilaku hakim.Sedangkan menurut UU No. 5 tahun 2004 tentang
Perubahan atas UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung antara lain
menyatakan MA berwenang melakukan pengawasan terhadap kecakapan hakim dan
perbuatan tercela dari hakim.
Kemudian menurut pasal 23 ayat (3) UU No. 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dinyatakan Pengawasan Hakim Konstitusi ditentukan oleh Majelis Kehormatan
Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengakibatkan timbulnya konflik antar Lembaga
Negara yang mestinya tidak perlu terjadi apabila UUD 1945 hasil perubahan
merumuskan dengan jelas kewenangan masing-masing lembaga tersebut.
Selain itu
UUD 1945 perubahan juga memberikan kekuasaan yang lebih
besar kepada DPR dibandingkan UUD 1945 yang asli. Dengan kata lain, DPR yang ada sekarang ini telah menjadi super parlemen, merupakan lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan yang amat besar.
besar kepada DPR dibandingkan UUD 1945 yang asli. Dengan kata lain, DPR yang ada sekarang ini telah menjadi super parlemen, merupakan lembaga perwakilan rakyat dengan kewenangan yang amat besar.
Dalam pasal 6a dan Pasal 17 ayat (2)
dinyatakan: “Bahwa Presiden dan Wakil Presiden di pilih langsung oleh Rakyat
dan Menteri diangkat serta diberhentikan oleh Presiden” . Apabila konsekuen
dengan isi pasal tersebut, maka sudah semestinya UUD 1945 mengikuti pula tolok
ukur sistem pemerintahan presidensial yang antara lain:
a.) Kekuasaan bersifat tunggal (tidak bersifat
kolegial) baik sebagai kepala Negara maupun kepala pemerintahan.
b.) Kedudukan
presiden dan parlemen sama kuatnya dan tidak bisa saling menjatuhkan
c.) Masa jabatan presiden bersifat
pasti (fix-term), tidak dapat diberhentikan
kecuali melanggar konstitusi
kecuali melanggar konstitusi
d.)Presiden dan Wakil Presiden tidak bertanggungjawab
kepada parlemen, tetapi
bertanggungjawab kepada rakyat
bertanggungjawab kepada rakyat
e.)Presiden dipilih rakyat baik langsung maupun tidak
langsung dengan suara
mayoritas
mayoritas
f.) Presiden dalam menjalankan tugasnya
dibantu oleh menteri-menteri dan menteri bertanggungjawab kepada Presiden.
g.) Pertangungjawaban
pemerintahan berada ditangan Presiden.
Oleh karena
itu tidak tepat apabila DPR mencampuri kewenangan yang seharusnya menjadi
domain Presiden, bahkan dalam UUD 1945 sekarang ini nampak adanya dominasi
legislatif terhadap eksekutif. Antara lain dalam :
1. Pasal 5 ayat
(1) : “Presiden hanya berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada
DPR”. Sebaliknya Pasal 20 ayat (1): DPR memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.. Perubahan ini jelas bertujuan untuk menggrogoti kekuasaan
Presiden dari pada melaksanakan prinsip demokrasi.
2. Pasal 6A,
Pasal 7A, dan Pasal 7B: “Sekalipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat, akan tetapi tetap dapat diberhentikan dari masa
jabatannya oleh MPR atas usul DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi, yaitu:
apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Perubahan ini, jelas sudah keblabasan, sebab Mahkamah Konstitusi
diberikan kekuasaan peradilan pidana sekaligus peradilan politik (untuk
perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai presiden yang dapat
ditafsirkan secara politis). Padahal, setiap perbuatan tindak pidana seharusnya
diadili di peradilan umum baik tindak pidana umum maupun pidana khusus, serta tidak
mengenal adanya peradilan politik.
3. Pasal 13 ayat (2) yang menyatakan dalam hal ini
mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat
dan ayat (3) menyatakan Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan
memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, Pasal 14 ayat (2)
menyatakan Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Pasal 30 berkorelasi
dengan Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI dan Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Panglima
TNI diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
Jadi semuanya,
mesti lewat persetujuan DPR. Apabila UUD 1945 asli dibandingkan dengan UUD 1945
perubahan, maka nampak bahwa berdasarkan UUD 1945 asli Presiden memiliki 11
(sebelas) kewenangan. Dari 11 (sebelas) kewenangan Presiden tersebut hanya 2
(dua) kewenangan yang tidak merupakan kategori hak prerogatif Presiden, yaitu :
Pertama, Pasal 5 ayat (1) yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ke dua, Pasal 12 yang
menyatakan presiden menyatakan keadaan bahaya, syarat-syarat dan akibatnya
keadaaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang. Sedangkan menurut UUD 1945
perubahan, telah ditetapkan 14 (empat belas) kewenangan Presiden, tetapi hanya
2 (dua) kewenangan yang berkategori hak prerogatif Presiden yaitu: Pertama, Pasal
10 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Ke dua, Pasal 17 ayat (2) yang
menyatakan menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Dengan dipangkasnya
dan dibatasinya kekuasaan Presiden tersebut, maka terjadi dominasi Dewan
Perwakilan Rakyat terhadap Presiden, sehingga Presiden tidak memiliki
keleluasaan baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan. Di
samping itu Presiden mengalami kesulitan untuk memperoleh dukungan DPR dalam membuat
kebijakan dan mengimplementasikannya.
B. SENGKETA
LEMBAGA NEGARA ANTARA MA DAN KOMISI YUDISIAL(KY)
Beberapa
saat yang lalu, muncul berbagai usulan agar lembaga negara di kaji ulang
keberdaannya, sekaligus kewenangan dan kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia. Karena sejak reformasi, kelembagaan negara kita tidak jelas
desainnya. Masing-masing tidak taat “Pakem” konstitusionalismenya. Pemerintah
selalu mengatakan bahwa setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945
kita menganut antara lain prinsip check and balances.
Tetapi kenyataannya, prinsip itu
tidak sepenuhnya di ikuti dalam sistem yang kita bangun melalui perubahan UUD
1945. Bahkan belakangan muncul persoalan tumpang tindih kewenangan antar
lembaga negara, dalam hal ini adalah Komisi Yudisial ( KY ) dengan Mahkamah
Agung ( MA ). Selain itu, pemerintah mengeluarkan berbagai inovasi baru dengan
melahirkan komisi-komisi negara baik sebagai lembaga negara independen maupun
lembaga yang tidak independen. Padahal belum pernah dilakukan kajian yang
komprehensif terhadap kinerja lembaga-lembaga negara atau instrumen negara
selama ini.
Kelembagaan negara dan birokrasi
pemerintahan belum sepenuhnya tersentuh reformasi. Yang di lakukan baru sebatas
menurunkan Presiden Soeharto, tetapi tidak membongkar ulang birokrasi yang
selama 34 tahun dipimpin soeharto. Birokrasi, TNI, Kepolisian, dan Kejaksaan
setidaknya belum tersentuh reformasi secara optimal. Menjelang tutup tahun
2005, KPK membuat MoU dengan Kejaksaan Agung untuk menangani korupsi yang sudah
parah di Indonesia. Salah satu point kesepakatan tersebut adalah di bukanya
akses bagi KPK untuk mengkaji ulang perkara korupsi yang pernah di SP3-kan (
dipeti es-kan ).
Ketika KPK melakukan penggledahan di
ruangan Ketua MA Bagir Manan, banyak pihak terkejut dengan peristiwa tersebut.
Tindakan KPK itu di lakukan karena adanya dugaan suap terhadap beberapa Hakim
Agung MA yang di beberkan Probosutedjo, serta mengaitkan kasus tersebut dengan
Bagir Manan. Sengketa antara KPK dengan MA kemudian merembet kepada sengketa
dengan KY, karena Bagir Manan juga menolak datang ke kantor KY untuk diperiksa
dalam kasus yang sama.
KY kemudian mengusulkan kepada
presiden SBY supaya diadakan seleksi ulang terhadap 49 Hakim Agung untuk
memperbarui citra kelembagaan Mahkamah Agung yang sudah terpuruk dimata publik,
dan untuk payung hukumnya akan diterbitkan peraturan pemerintah pengganti
undang undang ( Perpu ).
Usulan KY mendapat respon yang
positif dari presiden, meskipun di masyarakat muncul pro dan kontra. Ide
seleksi ulang itupun ternyata kurang di dukung argumentasi yuridis yang kuat
bahkan kini “nyaris tak terdengar”. Secara konstitusional KY memang memiliki
kewenangan mengusulkan pengangkatan Hakim agung kepada DPR dan memeriksa hakim
untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta prilaku
hakim ( pasal 14 UU No.22 tahun 2004 ).
Di sisi lain, MA pun memiliki
Majelis Kehormatan yang berwenang menilai kecakapan hakim dan prilaku hakim
yang melakukan perbuatan tercela, yakni apabila hakim yang bersangkutan karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalamnya maupun di luar pengadilan
merendahkan martabat hakim ( Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Thaun
2004 ). Permasalahan yang muncul, pertama, bagaimana penyelesaian sengketa
kewenangan antar KY dan MA dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran
martabat, serta prilaku hakim? Kedua, bagaimana penyelesaian sengketa
kewenangan antara KY dan MA dalam menilai kecakapan hakim?
Lembaga baru yang lahir
melalui amandemen UUD 1945 adalah mahkamah konstitusi ( MK ), yang memilki
kewenangan antara lain untuk memutus sengketa kewenangan Lembaga negara yang
kewenanagannya di berikan oleh UUD ( Pasal 24 c ). Kewenangan MK tersebut lebih
diperjelas dalam UU no.24 tahun 2003 pasal 61 , yang menyatakan “pemohon adalah
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD negara RI tahun 1945 yang
mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.”
Kemudian dalam pasal 63 ditegaskan,
MK dapat mengeluarkan penetapan yang memerintahkan pada pemohon dan atau
termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang
dipersengketakan sampai ada keputusan MK.
Sengketa antara KY dengan MA
sepatutnya diselesaikan secara hukum karena hal ini menyangkut persoalan
kewenangan kelembagaan negara. Akan tetapi kalau sengketa antara KY dengan MA di bawa ke MK,
akan muncul persoalan baru yakni adanya pembatasan dalam pasal 66 UU MK, yang mengecualikan
MA sebagai Lembaga negara yang tidak
dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara pada MK. Artinya
permasalahan KY dengan MA tidak dapat diselesaikan dengan MK. Inilah salah satu
kelemahan legislasi kita. Mungkin karena ada kendala yuridis tersebut akhirnya
sengketa kewenangan KY dengan MA diselesaikan secara dialog antar perseorangan
didalam kedua lembaga itu yang di fasilitasi oleh person juga. Cara inipun
sesungguhnya bukanlah penyelesaian yang tepat atas masalah sengketa kewenangan
lembaga negara, karena secara kelembagaan masih membutuhkan langkah lanjutan. Jangan-jangan
cara baru ini ( berdamai ), untuk menyelesaikan masalah hukum yang di uji
cobakan oleh KY dengan menggunakan fasilitator media masa, sehingga pelaku KKN
maupun “Hakim nakal” bukan hanya menjadi kabur persoalan hukumnya, tetapi
mereka benar-benar kabur rimbanya.
Persoalan lain yang muncul antara MA
dan KY menyangkut penilaian terhadap kecakapan hakim, siapa di antara 2 lembaga
tersebut yang berwenang memperpanjang masa kerja hakim agung? Beberapa saat
yang lalu ketua MA bagir manan, mengeluarkan SK perpanjangan masa pensiun hakim
agung atas dirinya dan beberapa hakim agung karena di nilai memilkiki prestasi
kerja luar biasa. UU no.25 tahun 2004 pasal 11 memang menyatakan, “Dalam hal
hakim agung telah berumur 65 tahun, dapat di perpanjang sampai dengan 67 tahun
dengan syarat mempunyai prestasi kerja luar biasa serta sehat jasmani dan
rohani berdasarkan surat keterangan dokter”.
Namun, tindakan ketua MA ini
memunculkan kritikan pedas dari berbagai kalangan karena di pandang tidak etis,
menilai dirinya sendiri layak untuk diperpanjang masa pensiunnya. Pasal 24b
ayat 1 UUD 1945 amandemen menegaskan, KY berwenang mengusulkan pengangkatan
hakim agung. Pasal 20-23 UU No.22 tahun 2004 menyebutkan, KY melakukan
pengawasan atas perilaku hakim dan mengusulkan penjatuhan sangsi berupa teguran
tertulis, pemberhentian sementara, atau pemberhentian.
Usul KY tersebut disampaikan kepada
pimpinan MA atau pimpinan MK untuk diselesaikan majelis Kehormatan Hakim. Untuk
hakim agung diselesaikan oleh majelis kehormatan MA. Kelemahan dalam pengaturan
UU KY yang berbenturan dengan UU MA inilah yang dijadikan dasar KY untuk terus
mereformasi lembaga peradilan ( MA ) dengan mengajukan draft Perpu untuk
merubah UU no.22 tahun 2004. Melalui draft tersebut KY mengusulkan setiap hakim
agung yang akan di perpanjang massa jabatannya harus mengikuti seleksi yang
diadakan KY untuk mengetahui prestasi kerja, integritas moral, profesionalisme,
dan sehat jasmani rohani.
Usulan dalam draft perppu tersebut
nampaknya lebih proporsional dari pada usulan seleksi ulang terhadap 49 hakim
agung melalui perppu. Akan tetapi, langkah KY yang mengajukan draft perpu
kepada presiden bisa menjadi buruk dimasa
datang karena intervensi dari kekuasaan eksekutif, padahal baik KY maupun MA
adalah lembaga yang harus dijaga independensinya. Akan lebih baik kalau
penataan kelembagaan KY dilakukan melalui legislative review, sehingga KY cukup mendesak
kepada DPR bersama sama pemerintah untuk merevisi UU KY dan UU MA.
Sebagai lembaga baru KY memang perlu
menata diri dan melakukan sosialisasi atas wewenangnya kepada lembaga-lembaga
yang diawasinya. Tidak perlu KY diberi wewenang yang sangat besar,karena
habitat kekuasaan yang besar cenderung bersalah guna. Mari kita menempatkan KY
secara proporsional, beri kesempatan KY untuk bertegur sapa dengan lembaga
lainnya secara proporsional pula.
Secara
bertahap kita sempurnakan menejemen kelembagaannya, instrumen hukumnya, dan
kemudian kita ukur kinerjanya. Tidak perlu tergesa-gesa menambah wewenang KY,
karena sampai hari ini masyarakat belum menemukan prestasi luar biasa dari KY.
Kita baru membaca wewenang tentang “sepak terjang” KY. Kedepan bukan hanya
KPK,KY,MA/MK yang harus mereformasi hukum (kelembagaan peradilan) di Indonesia
dan merealisasikan janji pemberantasan KKN, tetapi DPR dan Presiden-pun harus
mewujudkan reformasi hukum secara bersungguh-sungguh.
Peraturan perundangan-undangan yang
membelenggu ruang gerak lembaga penegak hukum harus disempurnakan secepatnya,
agar lembaga-lembaga penegak hukum memkiliki kewenangan yang jelas dan
tegas.untuk itu perlu segera mengamandemen UU MK, UU KY, dan UU MA, sambil
melakuakan pembenahan pada aparatur penegak hukum dan membangun kultur
hukumnya.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari pembahasan tentang Kelembagaan Negara
yang diatur dalam UUD 1945 perubahan seperti tersebut diatas, nampak bahwa
perubahan UUD 1945 dilaksanakan tanpa melalui kajian yang mendalam. Hal ini
dikarenakan suasana kebatinan saat itu ada pada kondisi bergeloranya kesuksesan
reformasi (ditandai lengsernya Presiden Soeharto), yang ingin mengadakan
perubahan terhadap segala sesuatu yang dinilai sebagai atribut Orde Baru.
Sebagai akibat dari situasi dan kondisi tersebut di atas, maka dalam perubahan
UUD 1945 nampak sangat situasional dan emosional, bahkan pengaturan yang
semestinya sebagai materi muatan undang-undang dimasukkan ke dalam pasal- pasal
UUD 1945. Di samping itu ternyata keberhasilan reformasi dalam menumbangkan
Orde Baru, tidak disertai
dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karena itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih
fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Indonesia benar-benar taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.
dengan manajemen reformasi, penegakkan hukum dan persiapan yang matang. Oleh karena itu sangat mendesak perlu diadakan penataan serta sinkronisasi dan harmonisasi tentang fungsi tugas pokok dan wewenang masing-masing lembaga negara agar tidak terjadi kontradiksi dan memunculkan kompleksitas hubungan antar lembaga negara. Terlebih
fundamental lagi agar pengaturan bentuk negara dan sistem pemerintahan Negara Indonesia benar-benar taat asas serta konsekuen dan konsisten dengan nilai historis terbentuknya NKRI serta Pancasila sebagai dasar negara yang telah terpatrikan mantap di dalam pembukaan UUD 1945.
Salah satu perubahan yang akan saya tambahkan, yang
saya usulkan, yaitu tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel
tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan itu menurut pendapat saya, masih
perlu diadakan. Oleh karena itu
sebenarnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah merupakan hal yang wajar dalam rangka menampung dinamika masyarakat, namun permasalahannya adalah perlu adanya tahapan yang harus dilalui agar perubahan UUD 1945 tidak menimbulkan permasalahan di kelak kemudian hari. Sebab apabila MPR keliru dalam mengambil keputusan maka dapat
mengacaukan proses ketatanegaraan di masa yang akan datang.
sebenarnya perubahan terhadap UUD 1945 adalah merupakan hal yang wajar dalam rangka menampung dinamika masyarakat, namun permasalahannya adalah perlu adanya tahapan yang harus dilalui agar perubahan UUD 1945 tidak menimbulkan permasalahan di kelak kemudian hari. Sebab apabila MPR keliru dalam mengambil keputusan maka dapat
mengacaukan proses ketatanegaraan di masa yang akan datang.
B. SARAN / SOLUSI
Sebenarnya proses perubahan Undang-Undang Dasar 1945
akan lebih baik apabila melalui berbagai tahapan yaitu:
a. Perubahan apapun yang akan dilakukan tehadap
pasal-pasal UUD 1945 haruslah disertai dengan pertimbangan-pertimbangan yang
sangat matang,
b. Proses penyiapan dan pembahasannya harus dilakukan
dalam waktu yang cukup panjang, mendalam, cermat dan teliti
c. Sebagai landasan dasar bagi pengelolaan kehidupan
bangsa dan Negara Indonesia yang sangat heterogen, maka perubahan UUD 1945
rumusan-rumusannya harus menghindarkan masuknya kepentingan sempit golongan
ataupun perorangan yang dapat menimbulkan konflik antar kepentingan dan antar
kelompok masyarakat, sebaliknya harus dapat menjamin tetap kokohnya persatuan
dan kesatuan dalam kemajemukan,
d. Perubahan UUD 1945 seharusnya dilakukan oleh suatu
komisi yang independen dengan melibatkan Perguruan Tinggi,tokoh keagamaan, kaum
professional, Oonop dan sebagainya yang terkait langsung maupun tidak langsung
dengan masalah yang akan diputuskan.
e. Hasil rancangan
komisi tersebut diserahkan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk
dibahas dalam Badan Pekerja MPR (BPMPR), Sidang Komisi MPR dan Sidang Paripurna
MPR untuk diambil putusan. Selanjutnya,apabila kita telaah substansi UUD 1945 sebelum perubahan baik
dalam Batang Tubuh maupun dalam penjelasannya, tidak diketemukan istilah
lembaga negara secara eksplisit.
DAFTAR PUSTAKA
Majalah Keadilan, edisi 2009, Ni’matul Huda S.H, M.hum
Pendidikan Pancasila, Kaelan, edisi 2009
SANGAT MEMBANTU DALAM BELAJAR , TERIMAKASIH BANYAK YA , IJIN SHARE
BalasHapus