URGENSI RUU PERLINDUNGAN
TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS
Oleh : M. Irham Roihan
Tepat
pada tanggal 18 Oktober 2011 lalu, sejarah telah mencatat bahwa Indonesia sebagai
salah satu Negara anggota dalam PBB telah mengesahkan Convention on the
Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah
Indonesia dalam hal ini telah menyerahkan piagam ratifikasi pada Sekjen PBB
pada tanggal 30 November 2011 sehingga Indonesia telah tercatat sebagai negara
yang ke-107 yang telah melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap Konvensi
Penyandang Disabilitas.
Pengesahan-pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas tersebut sungguh memiliki nilai strategis dan sejarah
baru dalam pembaharuan sistem hukum nasional khususnya dalam hal pemenuhan
hak-hak bagi penyandang disabilitas. Meskipun sesungguhnya bangsa Indonesia
terlambat namun dengan ratifikasi konvensi ini maka diharapkan ada kesamaan
pandangan dan pemahaman seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan
konvensi ini yang pada dasarnya sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi
penyandang disabilitas. Hal pokok yang
mendasar untuk menjadi perhatian bersama dengan disahkannya RUU ini yaitu
memastikan adanya jaminan kepastian hukum bagi penyandang disabilitas yang
harus dipenuhi hak-haknya sesuai yang terkandung dalam Konvensi Mengenai
Hak-hak Penyandang Disabilitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya,
perlu dilakukan perencanaan dan pertimbangan yang sungguh-sungguh bahwa semua
aspek baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia dalam rangka
mendukung implementasi UU N0. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.
Kita
sangat paham bahwa ratifikasi bukan merupakan tujuan akhir, tetapi awal dari
upaya panjang untuk implementasi isi Konvensi secara nasional. Konvensi PBB
mengenai penyandang disabilitas ini memperkenalkan paradigma baru dalam
pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Kata kunci dari Konvensi
ini terutama adalah membangun masyarakat yang inklusif, kemandirian penyandang
disabilitas sebagai subyek penuh, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas
untuk ikut serta dalam kehidupan sosial dan bernegara secara penuh dan setara.
Paradigma
baru ini menuntut perombakan cara penanganan isu mengenai penyandang
disabilitas, penerapan pendekatan komprehensif yang melibatkan semua sektor,
serta peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat luas mengenai asas-asas
yang menjadi pijakan bagi penghormatan dan perlindungan hak-hak penyandang
disabilitas. Saat ini menurut penulis, hal yang sangat penting untuk menjadi
perhatian adalah mengenai bagaimana semua pihak dapat merealisasikan
komitmennya untuk secara penuh mengimplementasikan isi dari Konvensi. Paska
ratifikasi, implementasi menjadi tantangan bersama bagi kita.
Berkaitan
dengan hal tersebut, kiranya terdapat tiga hal strategis yang perlu untuk
dilakukan untuk merealisasikan komitmen penuh untuk mengimplementasikan isi
dari konvensi, yaitu sebagai berikut :
Pertama, adalah sosialisasi isu Konvensi kepada
masyarakat luas dan pemangku kepentingan. Hal ini merupakan keharusan untuk
menciptakan masyarakat yang inklusif. Karena itu diperlukan kesadaran dan
pemahaman yang baik dari pemangku kepentingan dan masyarakat luas mengenai
asas-asas pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana
yang diatur dalam Konvensi. Upaya sosialisasi ini dimaksudkan untuk merubah
mindset dari masyarakat luas terhadap penyandang disabilitas. Yang diperlukan
adalah memanfaatkan media massa secara ekstensif. Strategi kampanye perlu
dikembangkan dan diimplementasikan. Tentu upaya ini merupakan proses yang perlu
dilakukan terus menerus secara konsisten. Pada tataran konkrit, diperlukan
sebuah strategi yang tepat dan jangka panjang dalam upaya diseminasi
Konvensi. Dan harus difahami bahwa membangun suatu kesadaran yang meluas dan
merubah pola pikir masyarakat yang peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas
tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama.
Kedua, kiranya perlu dilakukan pengarusutamaan
masalah disabilitas dalam program pembangunan di semua sektor. Hal ini
merupakan keharusan, karena Konvensi mengenai Penyandang Disabilitas ini tidak
hanya merupakan instrumen HAM, melainkan juga instrumen pembangunan.
Upaya ini ditujukan untuk menjamin
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi penuh dan
setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aksesibilitas disini tidak
hanya dalam arti fisik, namun juga aksesibilitas yang terkait dengan peraturan
perundangan yang memberikan peluang yang sama bagi penyandang disabilitas untuk
berpartisipasi di semua sektor. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan
adalah mengenai “reasonable accommodation.” Dalam hal ini, perlu dilakukan
penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan keterbatasan dari penyandang
disabilitas, guna memberikan peluang yang lebih besar bagi terjaminnya akses
yang setara bagi penyandang disabilitas di berbagai bidang.
Ketiga adalah membuat rancangan undang-undang yang
khusus mengenai perlindungan terhadap penyandang disabilitas mengingat bahwa
peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum dapat mengatur seluruh
kebutuhan mereka dan juga belum dapat mengakomodir ketentuan yang tertuang
dalam pasal-pasal konvensi. Dalam hal ini, pemerintah memang telah berupaya
melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang
disabilitas, dengan membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang
mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas, namun (sekali lagi)
peraturan tersebut perlu dikaji lebih lanjut agar sesuai dengan UU No. 19 Tahun
2011 Tentang PENGESAHAN CONVENTION ON
THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK
PENYANDANG DISABILITAS). Berbagai peraturan perundang-undangan yang dimaksud
antara lain :
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional;
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional;
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan;
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan
16.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
Dalam hal ini, dapat digarisbawahi perlunya sinergi diseminasi dan
peningkatan pemahaman baik menyangkut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas
ataupun pasal-pasal dalam berbagai perundang-undangan nasional yang terkait
dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas.
Diperlukan
pemahaman bersama yang menyeluruh dan benar atas isi Konvensi dari seluruh
pemangku kepentingan. Hal ini juga perlu dibarengi dengan upaya yang konsisten,
terpadu dan utuh dalam pelaksanaan produk perundang-undangan nasional.
Penyesuaian peraturan perundangan yang ada dengan norma dan standar yang
tertuang dalam Konvensi merupakan hal yang mendesak dalam jangka pendek.
Diharapkan langkah-langkah ini menjadi suatu solusi bagi keberhasilan pemajuan
dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas ke depan. Dengan peningkatan
pemahaman ini, kiranya Konvensi ini dapat digunakan sebagai instrumen
pembangunan secara optimal. Adalah suatu harapan tentunya bahwa setiap langkah
perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Indonesia dilandasi oleh
adanya kesadaran penuh para aparatur pemerintahan dan publik, di mana
pembangunan fisik maupun non fisik selalu memperhatikan aspek aksesibilitas dan
partisipasi dari para penyandang disabilitas.
Pelaksanaan
Konvensi ini akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian
yang mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Penyesuaian
ini tidak hanya memerlukan keterpaduan program dari seluruh Kementerian dan
Lembaga terkait guna menjamin aksesibilitas, namun juga mensyaratkan perubahan
pola pikir dan tindak dari masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas. Perubahan
yang selaras dengan paradigma baru yang memungkinkan penyandang disabilitas
mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh. Sebuah perubahan yang memungkinkan
kita semua menciptakan kondisi yang kondusif untuk mewujudkan masyarakat
Indonesia yang inklusif bagi penyandang disabilitas.
Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang
lebih baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak
penyandang disabilitas. Harapan penulis kiranya segala upaya dan mekanisme yang
telah berjalan di level nasional dapat berjalan secara sinergis untuk menjaga
keberlangsungan proses ini.
* Essay yang dibuat untuk mengikuti Seleksi Tim Legal Drafting Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII dalam Padjajaran Law Fair III 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar