"PERNIKAHAN
BEDA AGAMA
DITINJAU
DARI PERSPEKTIF ISLAM DAN HAM"
Acan, Marzha, Irham |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dewasa ini,
perbincangan tentang hak asasi manusia sangat gencar dibicarakan. Hal ini
berawal dari kuatnya paham liberalisme yang dibawa-bawa oleh bangsa barat.
Kendati banyak negara yang kemudian sepakat bahwa terdapat keberadaan hak asasi
manusia yang universal, yaitu hak asasi yang dapat berlaku dimanapun dan
diterima oleh siapapun di bumi ini. Namun, masih terdapat beberapa hak asasi
manusia yang sering menjadi perdebatan.
Salah satu hal
yang dianggap hak asasi manusia yang menjadi perdebatan ini adalah hak untuk
melangsungkan pernikahan dengan kondisi pasangan yang memiliki agama yang berbeda.
Secara sederhana, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), perkawinan/
pernikahan diartikan berdasarkan kata dasarnya menjadi melangsungkan
pembentukan keluarga dengan lawan jenis. Pengertian tersebut tidak menjadi
masalah ketika tidak menyentuh landasan idealisme, ketika seseorang atas dasar
kepercayaannya tidak menjadikan suatu perkawinan itu dibolehkan atas dasar
agama.
Padahal, dalam
konsep hak asasi manusia yang diusung oleh barat, seseorang tidak boleh
dibedakan hanya karena landasan agamanya, termasuk untuk dipilih atau
melangsungkan pernkahan. Konsep hak asasi manusia ini kemudian sangat
bertentangan dengan konsep hak asasi manusia dalam Islam. Dalam Islam sendiri,
secara awam membatasi boleh/tidaknya melakukan perkawinan beda agama dengan
menyematkan sebutan kafir, dzimmi, maupun orang-orang musyrik pada orang
mukmin.
Hal yang demikian
membuat tolak pikir umum, haramnya perkawinan beda agama. Namun, dalam konteks
sosial, khususnya di Indonesia yang sebanyak 85% lebih penduduknya beragama
Islam[1],
menjadi dinamika sosial yang patutu mendapat perhatian dalam kasus perkawinan
beda agama. Lebih lanjut, Indonesia sendiri memiliki keberagaman dari berbagai
aspek, tidak terkecuali agama. Hal ini menyebabkan adanya kemungkinan
keberlangsungan pernikahan beda agama.
Sebut saja Tahun
1980, sebanyak 24677 pasangan di Indonesia melakukan pernikahan beda agama.
Selanjutnya pada tahun 1990, sebanyak 26688 pasangan di Indonesia melakukan hal
yang demikian pula. Serta hasil terbaru yang ditemukan oleh penulis, pada tahun
2000, 2673 pasangan didata sebagai pihak yang melakukan pernikahan beda agama.[2]
Kendati data
tersebut, menunjukkan penurunan, namun dalam interval sepuluh tahun tersebut,
data selalu menunjukkan adanya pernikahan beda agama yang berlangsung. Sehingga
penulis melakukan kesimpulan awal, bahwa di Indonesia yang merupakan Negara
penuh keragaman termasuk agama terdapat pernikahan beda agama, tak terkecuali
diantara orang Islam sendiri dengan orang di luar Islam.[3]
Dengan
terjadinya dinamika sosial tersebut, disertai adanya pertanyaan masyarakat
tentang kebolehannya, para ulama yang tergabung dalam majelis ulama Indonesia
kemudian berusaha memberikan dalil agama untuk memberikan kepastian hukum
terhadap kasus ini. Dalam fatwanya, MUI menyatakan dengan bernbagai landasan
dalil bahwa perkawinan beda agama adalah haram sama sekali[4],
yang padahal bertentangan dengan jumhur ulama.
Dari berbagai kondisi
sosial yang ada, serta faktor yuridis dan filosofis tentang keberadan pernikahan
beda agama yang ternyata setelah ditinjau lebih mendalam memiliki banyak
kekosongan pemikiran, baik dalam pertentangan antara konsepsi hak asasi manusia
dalam kasus ini, bahkan hingga perbedaan pendapat para ulama, menjadikan judul
ini sangat menarik untuk ditinjau lebih dalam oleh penulis. Hal inilah yang
melandasi penulis untuk melakukan kajian terhadap judul ini.
B.
Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah Karya Ilmiah ini adalah
1. Apakah
pernikahan beda agama diperbolehkan dalam Islam?
2.
Bagaimana
HAM memandang Larangan pernikahan beda agama?
C.
Tujuan
dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
penulisan Karya Ilmiah ini adalah:
a. Untuk mengetahui bagaimana hukum
pengaturan pernikahan beda agama dalam islam yang memiliki tujuan perlindungan
terhadap agama, jiwa, keturunan, dan harta
b.
Untuk mengetahui bagaimana Hak asasi
manusia memandang larangan pernikahan beda agama.
2.
Manfaat
penulisan Karya ilmiah ini adalah:
a.
Bagi penulis, penulisan ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan penulis dalam bidang keilmuan hukum, khususnya hukum
islam dan HAM.
b.
Bagi ilmu hukum, Penulisan ini
diharapkan dapat menambah referensi yang membahas mengenai pernikahan beda
agama melalui prespektif islam dan HAM.
c. Bagi
masyarakat dan praktisi hukum , hasil penulisan ini diharapkan dapat menambah
pemahaman dan menjadi pedoman dalam pelaksanaan hukum Islam.
D.
Landasan Teori
Landasan
teori yang digunakan dalam penulisan karya ini didasarkan pada dalil-dalil
al-Qur’an, yaitu:
QS
al- Maidah:5
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman
dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.
QS. Al- Baqoroh: 221
Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.
QS. al-Mumtahanah:
10
Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Selain
dasar al-Qur’an diatas, dalam penulisan ini juga memuat landasan teori tentang
HAM, yaitu: teori Hugo de Groot yang menyatakan bahwa. Pertama. Pada asanya manusia mempunyai sifat
mau berbuat baik kepada sesama
manusia.
Kedua Manusia mempunyai hasrat kemasyarakatan, yaitu
manusia bersedia mengorbankan kepentingan dirinya untuk kepentingan orang lain.
Ada 4 hal yang perlu diperhatikan dalam
kehidupan bermasyarakat, yaitu: hindarkan dari milik orang lain, penuhilah
janji, bayarlah kerugian yang disebabkan oleh diri sendiri, dan berilah hukum
yang setimpal.
E.
Metode Penulisan
1.
Jenis
Data
Jenis
data, fakta atau informasi yang dikumpulkan terutama berupa data berupa buku,
kitab fiqh, peraturan perundang-undangan atau lainnya. Beberapa referensi
ilmiah diperoleh dari perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
dan internet. Untuk menjaga kemutakhiran data, fakta atau informasi maka hanya
sumber-sumber bacaan lima tahun terakhir yang dijadikan acuan dalam penulisan
karya ilmiah ini.
2.
RancanganPenulisan
Agar
tulisan yang dibuat efisien dan efektif, disusunlah kerangka tulisan berdasarkan
topik tulisan yang diangkat. Berdasarkan kerangka tulisan itulah kemudian data
dikumpulkan, disarikan, disusun, diolah, dan ditafsirkan. Hasil tafsiran
kemudian dianalisis dan disintesis yang kemudian dihasilkan simpulan. Hasil
analisis dan síntesis ini berupa gagasan baru untuk memecahkan permasalahan
yang ditemukan dalam literatur.
3.
Teknik
Pengumpulan Data
Data
dikumpulkan dari sumber-sumber bacaan berupa jurnal, majalah, buku, artikel
ilmiah di internet, komunikasi pribadi dan sumber-sumber lain yang relevan
dengan topik yang dibahas. Pada tahap ini data, fakta dan informasi dicari dan
diidentifikasi. Data diseleksi, yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan
dari yang tidak sesuai. Data yang sesuai dengan topik tulisan dipisahkan
berdasarkan kesesuaiannya dengan sub-sub judul dalam kerangka tulisan.
4.
Teknik
Pengolahan Data
Data,
fakta atau informasi yang diperoleh kemudian diolah dengan cara analisis
deskriptif dalam bentuk teks. Data yang telah diolah kemudian ditafsirkan
dengan menggunakan metode analisis isi.
5.
Teknik
Analisis dan Sintesis
Analisis
dilakukan dengan cara membandingkan intisari-intisari sumber bacaan sebagai
hasil pengolahan dan penafsiran data, fakta atau informasi. Pada tahapan ini,
dibandingkan pula antara data yang tersedia dengan teori-teori yang relevan.
Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, maka diungkap
permasalahan-permasalahan, kelemahan-kelemahan, kelebihan-kelebihan atau
manfaat-manfaatnya. Permasalahan yang ditemukan itu kemudian dicari alternatif
pemecahannya. Pemecahan masalah dilakukan dengan cara membandingkan kelemahan
dan kelebihan dari cara-cara yang telah ada. Berdasarkan hasil perbandingan itu
kemudian diangkat pemecahan masalah yang merupakan kombinasi dari cara
pemecahan masalah yang telah ada. Disini, penulis juga mengemukakan argumentasi
untuk mendukung alternatif pemecahan masalah yang penulis kemukakan.
6.
Teknik
Penarikkan Simpulan
Simpulan
dibuat dengan menggunakan pola pikir induktif, yaitu menarik simpulan dari
proposisi-proposisi yang khusus yang kemudian digeneralisasikan. Saran atau
rekomendasi dibuat berdasarkan hasil simpulan.
7.
Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut: a) halaman judul, b) kata
pengantar, c) pendahuluan yang berisikan
latar belakang masalah, rumusan masalah, manfaat dan tujuan penulisan, landasan
teori, dan metode penulisa d) analisis dan sintesis yang berisi pembahasan, g)
penutup yang berisikan kesimpulan dan saran, dan h) daftar pustaka.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PERNIKAHAN
BEDA AGAMA DALAM ISLAM
1.
Pengertian
dan Hukum Pernikahan dalam Islam
Nikah dalam dalam bahasa
arab bermakna الوطء (al-wath’u)
yakni bersetubuh/ berhubungan intim[5]
atau juga bisa bermakna التزويج penyambungan atau penghubungan[6].
Sementara menurut kamus munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau
menindas, setubuh dan senggama.[7]
Nikah secara Terminologi di kalangan
ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti lafaz nikah,yaitu:
a.
Nikah menurut
arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti majazi (metaforis)
adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan
wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
b.
Nikah menurut
arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin
antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh,
demikian menurut ahli ushul golongan Syafi’iyah[8].
Meski pendapat diatas
mengemukakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama
untuk memberikan laki-laki hak memiliki penggunaan faraj (kemaluan)
wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau merupakan sesuatu yang
hanya berurusan dengan duniawi saja,
akan tetapi perkawinan dalam islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak
hanya pengaturan aspek biologis semata, melainkan persoalan psikologis,
sosiologis, dan teologis[9].
Karena didalam pernikahan, terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak,
masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara
menurut pendapat pengikut maliki dewasa ini, sebagian besar menyatakan bahwa
hukum pernikahan sunnah, sementara sebagian yang lain menyatakan wajib dan
sebagian lain menyatakan mubah[10].
Perbedaan pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt, QS an-Nisa:4
yang berbunyi:
“…fankihuu maa
thoobalakum mina annisaa…”.[11]
Selain itu juga ada hadist nabi
Muhammad SAW yang mengatakan:
“ tanaakahuu
fa inni mukatsirun bikumul umam”[12]
Tanda perintah
dua dasar hukum dalam islam inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan
pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab maliki.
2. Dasar Pernikahan Beda Agama
dalam Islam
Pernikahan
beda Agama diatur dalam Al-qur’an, surat al-baqoroh :221, dalam ayat tersebut
menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman.
Dan janganlah kamu
menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.
Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.[13]
Selain
itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan
wanita islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah
dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.
Hai orang-orang yang beriman, apabila
datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu
uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah
mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan)
dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar.
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.[14]
Meski secara tegas
dalam islam terdapt pelarangan pernikahan beda agama dalam teori, namun dalam
terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan
bukan satu golongan, yaitu antara umat islam dengan wanita ahli kitab,
pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat al-Maidah: 5
yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab
bagi kaum muslim.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang
baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.[15]
Dari seluruh teori yang telah dituliskan
diatas, bias ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hukum islam melarang adanya
pernikahan beda agama . Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki
pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama
Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada
hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan
pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat
tertentu. Hukum Budha tidak mengatur perkawinan beda agama dan mengembalikan
kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras
pernikahan beda agama.[16]
3.
Hukum
Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Pembahasan
pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :
1. Pernikahan
dengan Non Muslim/ kafir.
2. Pernikahan
dengan ahli kitab.
Dalam
pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang
terdapat sebuah pembedaan yang cukup menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya,
non muslim/ kafir adalah orang-orang yang mengingkari tuhan,[17]
sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama
Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur.[18]
1) Pernikahan
dengan non muslim/ kafir
Definisi
kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama’ berpendapat
bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar al-Qur’an, Syeikh
Muhammad abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama[19].
Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada
suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala
bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur’an menyebutkan kelompok non
muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin,
orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan
memberi Keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu”.[20]
Dalam
ayat Al Qur’an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non
muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi’ah atau ash-Shabiin, al-Majus,
al-Musyrikun,. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Pertama,
Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi Musa/ Taurat. Kedua,
Nasrani/Nashara yang diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka
adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi Isa. Ketiga.Ash-Shabi’ah, yaitu
kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta. Keempat
Al-Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol
oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya
bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan
seterusnya[21],
dan terakhir Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah Swt,
tapi dalam ritual mempersekutukannya
dengan yang lain seperti penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
Dari
pengertian Non muslim/kafir diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari
kata kafir adalah mukmin, orang yang mengimani Allah. Dalam surat al-Mumtahanah
menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan
dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan
beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para
ulama’[22].
Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non
muslim atau kafir juga didasarkan pada surat al-Baqoroh: 221. Beliau
menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah
penyembah berhala.[23]
Larangan
pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persident (Inpres)
Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama.
Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI.[24],
sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.[25]Secara
Normatif larangan menikah beda agama ini tidak menjadi masalah, karena hal
tersebut sejalan dengan ketentuan al-Qur’an yang disepakati oleh para fuqoha’.[26]
2) Pernikahan dengan ahli kitab.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah
orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk
bangsa-bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang
dikemukakan oleh imam Syafi’i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus
kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam
Hambali dan mayoritas pakar hukum islam yang menyatakan bahwa siapapun yang
mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah,
maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama’ berpendapat bahwa ahli
kitab adalah setiap umat yang memeliki kitab dan dapat di duga sebagai kitab
suci. [27]
Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh
para ulama’ kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di
Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama’ Muhammad rasyid
Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari
segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan
bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam
al-Qur’an QS al-Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.
Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli
kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama’ yang mengatakan bahwa QS
al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS al_Baqoroh: 221, sehingga
pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan[28].
Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi’iyyah yang menolak bahwa QS
al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat al-Baqoroh:221, akan
tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria
tertentu.[29]
Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli
kita dirumuskan oleh sebagian ulama’ yang menyatakan bahwa QS al-Maidah: 5
merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS al-baqoroh: 221 yang
kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus.[30]
Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada
zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab,
karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.[31]
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa pada dasarnya para ulama’ islam berbeda pendapat dalam memandang hukum
pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi
wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi
terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram.
Melihat pada kenyataan di atas, Penulis menyarankan
adanya kaidah ushul yang digunakan dalam pengambilan hukum dalam perbedaan ini,
kaidah “idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram”[32].
Kaidah ini mungkin bisa menjadi penengah dari berkumpulnya hukum yang
menghalalkan sesuatu dan mengharamkan sesuatu sebagai sebuah tindakan
berhati-hati dalam menentukan sebuah hukum, sehingga kita sebagai umat Islam
tetap terjaga dalam segala aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
B. HAM dan Implikasi Hukum Pernikahan
Beda Agama
1. Hakikat HAM
Dewasa ini, pembahasan tentang HAM sudah
menjadi semacam hal yang tidak kunjung usai. Paham liberalism terhadap manusia
yang mendasari lahirnya HAM kemudian menjadi titik tolak bahwa yang menjadi
pusat dunia adalah manusia. Dengan landasan tersebut, manusia kemudian
ditempatkan dalam posisi yang teratas sehingga apa-apa yang menjadi haknya tidak
dapat direbut, bahkan oleh manusia lain.
Dalam KBBI[33],
hak diartikan sebagai kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Dalam kronologis
sejarah, perkembangan atas hak inilah yang kemudian memicu munculnya hak asasi
manusia dengan dasar liberalism. Pengakuan atas hak dalam konteks sejarah tidak
terlepas dari teori terbentuknya Negara, yang meliputi teori ketuhanan, teori
kekuasaan, teori perjanjian, serta teori kedaulatan.[34]
Dari masing-masing teori tersebut, mempunyai pandangan yang tersendiri dalam
hakikat hak itu sendiri.
Dalam teori ketuhanan, pemegang hak
tertinggi adalah Tuhan, sehingga semua kegiatan manusia ditujukan pada Tuhan.
Sedangkan dalam teori kekuasaan pemegang hak tertinggi adalah penguasa.
Munculnya teori kekuasaan dan praktiknya yang sangat menyengsarakan pihak yang
dikuasai, memunculkan teori perjanjian sosial dalam ranah empiris. Teori ini
merumuskan hak dan kewajiban atas dasar perjanjian antara pihak yang dikuasai
dengan yang dikuasai. Namun, dalam tataran empiris pula, ternyata teori ini
tidak mampu mengakomodir pihak lain yang tidak ikut melakukan perjanjian,
terutama ketika perjanjian tersebut telah berlangsung lama sehingga pihak-pihak
yang melakukan perjanjian tersebut sudah tidak mampu melakukan perjanjian.
Dari fakta sejarah tersebut, kemudian
muncullah teori kedaulatan yang memandang hak penuh berada ditangan rakyat
sedangkan penguasa berkewajiban untuk pengadaannya. Pandangan atas hak tersebut
kemudian tidak berhenti, kuatnya paham liberalism dalam perkembangan sejarah
tersebut memunculkan dua aliran liberalism, yaitu klasik dan modern.[35]
Dua cabang paham tersebut, tidak mengubah substansi bahwa manusia adalah yang
utama. Pandangan tersebut kemudian memicu perkembangan pemikiran, bahwa hak
manusia adalah yang utama sehingga tidak dapat direnggut oleh siapapun juga.
Dalam pemikiran klasik beberapa doktrin seperti John Locke menyatakan bahwa hak
manusia (hak asasi manusia) meliputi, hak hidup, hak kemerdekaan, serta hak
milik[36]
Berbeda pendapat dari John Locke, Thomas
Hobbes hanya menyatakan bahwa hak asasi manusia hanya ada satu, yaitu hak untuk
hidup. Satu hal yang patut dicermati dari perbedaan ini, John Locke juga
menyampaikan bahwa hak tersebut berasal dari Tuhan yang sifatnya kodrati.
Artinya, menurut John Locke, hak asasi manusia ada karena diberikan oleh Tuhan.
Teori John Locke tentang hak asasi manusia
berdasar pemberian Tuhan ini sebenarnya berdasar atas teori hukum alam kodrati
yang diajukan oleh Grotius (Hugo de Groot) yang berisi:
a. pada
asanya manusia mempunyai sifat mau berbuat baik kepada sesama manusia
b. manusia
mempunyai hasrat kemasyarakatan, yaitu manusia bersedia mengorbankan
kepentingan dirinya untuk kepentingan orang lain.
c. ada
4 hal yang perlu diperhatikan dalam kehidupan bermasyarakat, yaitu : hindarkan
dari milik orang lain, penuhilah janji, bayarlah kerugian yang disebabkan oleh
diri sendiri, dan berilah hukum yang setimpal.[37]
Walaupun Hugo de Groot tidak secara spesifik menyatakan hal tersebut
berasal dari Tuhan melainkan secara kodrati, namun hal tersebut memberikan
pengertian bahwa pemikiran atas hak tersebut menjadi diakui kebenarannya kepada
seluruh umat manusia. Walaupun demikian, awal munculnya pemikiran ini tetap
mendapat tentangan dari Jeremy Bentham[38].
Jeremy menganggap bahwa konsep hak asasi manusia merupakan hak kodrati yang
sudah sepantasnya melekat pada manusia tidak memiliki parameter yang relevan.
Secara nyata, tentangan terhadap Jeremy tersebut terbantahkan oleh sejarah.
Dunia Internasional kembali berpaling pada teori kodrati yang menyatakan bahwa
hak asasi manusia adalah melekat, tidak diberi oleh penguasa manapun, melainkan
ada karena manusia adalah manusia.
Kesepakatan atas teori tersebut muncul
akibat adanya peristiwa holocaust oleh Nazi dalam perang Dunia II.[39]
Dalam proses tersebut, penguasa otoriter Jerman, Adolf Hitler membantai secara
masal umat Yahudi di daerah kekuasaannya. Perasaan kejam atas tindakan ini
menimbulkan kecaman dalam dunia masyarakat Internasional. Hal inilah yang
kemudian menjadi buah pemikiran bahwa hak asasi manusia dalam konteks ini hak
hidup bukan karena pemberian penguasa, bukan karena hukum, namun melekat secara
kodrati kepada manusia karena manusia adalah makhluk dengan martabat tertinggi
ciptaan Tuhan.
2 2. HAM
di Indonesia
Perkembangan
hak asasi manusia di Indonesia secara yuridis turut dicampuri oleh perkembangan
dunia hukum Internasional. Sudah menjadi suatu konsekuensi logis, bahwa
kemerdekaan Indonesia yang bermula dari penjajahan berabad-abad menghasilkan
sikap nasionalis untuk mempertahankan hak atas rakyatnya. Di samping itu, pengaruh
Doktrin barat atas hak asasi manusia kala itu turut mengambil peran, hingga
menghasilkan dasar Negara Indonesia, yaitu UUD 1945 yang dalam pembukaannya
mengakui eksistensi hak asasi manusia secara eksplisit yang berbunyi,
Bahwa
sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuaidengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan Negara
Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.[40]
Berlandas pada dasar Negara tersebut, pengakuan atas
hak asasi manusia utamanya meliputi kemerdekaan, yaitu bebas yang bertanggung
jawab. Lebih lanjut, dasar Negara tersebut menyatakan kewajiban Negara untuk
memenuhi kesejahteraan rakyatnya, memenuhi kesejahteraan masyarakatnya, serta
melindungi segenap masyarakatnya. Sudah menjadi suatu konsekuensi logis bahwa
munculnya kewajiban akan menyertakan hak pada pihak lain, yang dalam konteks
ini rakyat. Hal ini kemudian mampu menyamakan semangat dari konstitusi tersebut
sebagai semangat dalam mendirikan welfarestate, yaitu negara yang tujuannya
untuk mensejahterahkan rakyatnya. Perlu diingat, bahwa dalam dasar negara ini,
penambatan hak tersebut didasarkan pada kelima sila ideologi Negara sebagaimana
yang tercantum dalam paragraph keempat. Sehingga, hak apapun yang dimiliki,
tidak bisa terlepas implementasi dan pertanggungjawabannya dari konteks
Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatam yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lebih lanjut, pembukaan dari dasar Negara tersebut
diimplementasikan dalam batang tubuh dasar Negara tersebut yaitu dalam pasal
Pasal 5 ayat ( 1 ), Pasal 20 ayat ( 1 ), Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasa129,
Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 ayat(1 )dan ayat (3), dan Pasal 34
ditambah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/I998 tentang Hak Asasi
Manusia.
Perkembangan terhadap hak asasi manusia di Indonesia
sendiri sempat tersendat akibat adanya rezim otoriter dalam masa kepemimpinan
presiden kedua RI yaitu Soeharto. Dalam masa kepemimpinannya, seakan-akan semua
hak asasi manusia kemudian terbelenggu atas hukum. Padahal dalam masa ini,
hukum kemudian absolut dibuat oleh penguasa. Pelanggaran ini bermula dari awal
rezimnya yaitu dengan penumpasan PKI.[41]
Lebih lanjut, Soeharto juga mengadakan pelenyapan paksa, pembungkaman atas hak
kebebasan berbicara, penghilangan hak milik atas nama kesejahteraan rakyat, dan
lain sebagainya.[42]
Konsepsi lima agama dalam masa kepemimpinan Soeharto inipun menjadi salah satu
pemikiran bahwa tidak adanya kebebasan dalam beragama dalam masa pemerintahannya.
Pasca kejatuhannya, Indonesia sendiri kemudian
meratifikasi piagam PBB sebagai sebuah undang-undang yang sah berlaku di
Indonesia. Ratifikasi tersebut diwujudakan dalam undang-undang nomor 39 tahun
1999. Ratifikasi ini dilakukan utamanya bukan karena Indonesia merupakan
anggota PBB kala itu, melainkan terungkapnya beberapa kasus pelanggaran hak
asasi manusia berat saat pemerintahan soeharto.[43]
Ratifikasi ini kemudian menimbulkan konsekuensi
hukum bahwa seluruh pasal dalam DUHAM menjadi berlaku di Indonesia. Namun,
dalam undang-undang 39 tahun 1999 ditambahkan konsep ketuhanan dalam pasal 1
tentang ketentuan umum mengenai pengertian HAM itu sendiri. Hal ini kemudian
membatasi implementasi HAM yang harus berdasar ketuhanan.
Dalam perkembangannya, amandemen UUD 1945 tahap
kedua tahun 2000 menjadikan dasar penjelas dari konsep HAM di Indonesia.
Meskipun tahap pembuatannya bisa dikatakan terbalik menurut hirarki yuridis
terhadap UU no 39 Tahun 1999, namun hal ini tidak menjadi kendala selama tidak bertentangan
dengan peraturan dasarnya. Dari kedua dasar hukum tersebut, secara umum hak
asasi manusia di Indonesia meliputi:
a. Hak
untuk hidup. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup,
meningkatkan taraf kehidupannya, hidup tenteram, aman, damai, bahagia,
sejahtera lahir dan batin serta memperoleh lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
b. Hak
berkeluarga dan melanjutkan keturunan. Setiap orang berhak untuk membentuk
kelaurga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang syah atas kehendak
yang bebas.
c. Hak
mengembangkan diri. Setiap orang berhak untuk memperjuangkan hak pengembangan
dirinya, baik secara pribadi maupun kolektif, untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya.
d. Hak
memperoleh keadilan. Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh
keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam
perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan secara obyektif oleh Hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan adil dan benar.
e. Hak
atas kebebasan pribadi. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai
keyakinan politik, mengeluarkan pendapat di muka umum, memeluk agama
masing-masing, tidak boleh diperbudak, memilih kewarganegaraan tanpa
diskriminasi, bebas bergerak, berpindah dan bertempat tinggal di wilayah
Republik Indonesia.
f. Hak
atas rasa aman. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat, hak milik, rasa aman dan tenteram serta perlindungan
terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
g. Hak
atas kesejahteraan. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, bangsa dan masyarakat
dengan cara tidak melanggar hukum serta mendapatkan jaminan sosial yang
dibutuhkan, berhak atas pekerjaan, kehidupan yang layak dan berhak mendirikan
serikat pekerja demi melindungi dan memperjuangkan kehidupannya.
h. Hak
turut serta dalam pemerintahan. Setiap warga negara berhak turut serta dalam
pemerintahan dengan langsung atau perantaraan wakil yang dipilih secara bebas
dan dapat diangkat kembali dalam setiap jabatan pemerintahan.
i.
Hak wanita. Seorang wanita berhak untuk
memilih, dipilih, diangkat dalam jabatan, profesi dan pendidikan sesuai dengan
persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Di samping itu berhak mendapatkan
perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap
hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya.
j.
Hak anak. Setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara serta memperoleh
pendidikan, pengajaran dalam rangka pengembangan diri dan tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum.
3 3. HAM dalam Islam
Islam
adalah sebuah agama yang muncul pada abad kelima masehi. Para pengikutnya
percaya bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin. Artinya, adalah
agama yang menjadikan kebaikan bagi seluruh alam semesta, baik pengikutnya
maupun bukan. Dengan konsep yang demikian, Islam kemudian mnempatkan diri bagi
pengikutnya sebagai sebuah pedoman hidup. Dalam konsep kekinian, sebagai sebuah
pedoman hidup, Islam selalu ditabrakkan oleh dinamika sosial perkembangan
manusia, tidak terkecuali tentang HAM.
Pertentangan
antara HAM dan Islam dimulai dari adanya perbedaan konsep mendasar tentang asal
HAM itu sendiri. Dewasa ini, HAM lebih mengedepankan aspek kebebasan manusia
atau liberalisasi atas manusia. Padahal dalam Islam, hal tersebut tidak bisa
diakui sepenuhnya, karena dalam agama ini terdapat ajaran yang menyatakan bahwa
Tuhan(Allah SWT) adalah pemilik alam semesta, sehingga tidak satupun manusia
yang bebas melakukan sesuatu kecuali atas izinNya.
Pembahasan
HAM dalam Islam secara substantif terdapat dalam ajaran agama Islam itu
sendiri, yang dalam konteks ini mewajibkan seseorang untuk menghargai hak orang
lain. Seperti ajaran dilarang membunuh, dilarang mencuri, dan sebagainya.
Kodifikasi tentang HAM dimulai dari munculnya piagam madinah, yaitu perjanjian
semacam kontrak politik antara Rasulullah Muhammad saw dengan penduduk Madinah
yang menempatkan Rasul sebagai pemimpinnya.
Dalam Piagam
Madinah terdapat beberapa konsepsi dasar terhadap hak yang dipangkunya hal ini
tertera dalam alenia
awal yang merupakan “Pembukaan” tertulis sebagai berikut:
Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW,
di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib
(Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama
mereka.
Terdapat paling tidak lima makna
pokok kandungan alenia tersebut, yaitu pertama, penempatan nama Allah SWT pada
posisi teratas, kedua, perjanjian masyarakat (social contract) tertulis,
ketiga, kemajemukan peserta, keempat, keanggotaan terbuka (open membership),
dan kelima, persatuan dalam ke-bhineka-an (unity in diversity).
Hak asasi manusia yang terkandung
dalam Piagam Madinah dapat dibagi menjadi tiga hal, yaitu hak untuk hidup,hak
dalam kebebasan, dan hak mencari kebahagiaan.
a.
Hak untuk hidup
Dalam pasal 14 piagam ini dicantumkan larangan pembunuhan
terhadap orang mukmin untuk kepentingan orang kafir dan tidak boleh membantu
orang kafir untuk membunuh orang mukmin. Bahkan pada pasal 21 memberikan
ancaman pidana mati bagi pembunuh kecuali bila pembunuh tersebut dimaafkan oleh
keluarga korban.
b. Hak
dalam Kebebasan
Dalam
konteks ini, kebebasan dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu:
1) Kebebasan mengeluarkan pendapat
Dalam hal ini,
konsep dasar yang diusung adalah pengadaan musyawarah yang merupakan salah satu
media yang diatur dalam Islam dalam menyelesaikan perkara.
2) Kebebasan Beragama
Kebebasan memeluk
agama masing-masing bagi kaum Yahudi dan kaum Muslim tertera di dalam pasal 25
piagam ini.
3) Kebebasan dari kemiskinan
Kebebasan ini
harus diatasi secara bersama, tolong menolong serta saling berbuat kebaikan
terutama terhadap kaum yang lemah. Di dalam Konstitusi Madinah upaya untuk hal
ini adalah upaya kolektif
4) Kebebasan dari rasa takut
Larangan melakukan pembunuhan,
dengan adanya ancaman pidana mati bagi pelaku, keharusan hidup bertetangga
secara rukun dan dami, jaminan keamanan bagi yang akan keluar dari serta akan
tinggal di Madinah merupakan bukti dari kebebasan ini.
c. Hak
mencari kebahagiaan
Dalam Piagam Madinah, seperti diulas
sebelumnya, meletakkan Allah SWT pada posisi paling atas, maka makna
kebahagiaan itu bukan hanya semata-mata karena kecukupan materi akan tetapi
juga harus berbarengan dengan kebahagiaan batin.[44]
Dari
pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa agama Islam mengakui konsep hak
yang melekat dari manusia, hak tersebut diberikan oleh Tuhan kepada manusia.
Hal ini menimbulkan konsekuensi logis, bahwa Tuhanlah yang boleh menetapkan
mana yang bisa dimiliki haknya oleh manusia dan mana yang tidak. Secara
substantive, hak asasi manusia dalam Islam lebih diarahkan pada implementasi
kewajiban asasi manusia, yaitu keharusan manusia untuk tidak melakukan sesuatu
pada manusia lainnya. Dalam hal ini, pedoman melakukannya terdapat dalam agama
Islam itu sendiri, sedangkan kodifikasi khususnya terdapat dalam piagam madinah
yang merumuskan hak-hak yang dapat diperoleh oleh umat manusia.
4 4. Analisa Pelanggaran HAM
dalam Pernikahan Beda Agama
Indonesia
adalah masyarakat yang plurar. Artinya, terdiri dari berbagai macam suku, ras,
dan bahkan hingga beragam dalam hal kepercayaan. Hal ini menimbulkan berbagai
dampak sosial salah satunya tentang perkawinan. Dalam hal ini, dampak sosial
berusaha ditekan dengan munculnya UU no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang
merupakan unifikasi dari seluruh hukum pernikahan yang ada di Indonesia.
Permasalahan kemudian muncul, ketika pembatasan pernikahan atas dasar uu ini
pasal 2 ayat 1 menyatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.
Permasalahan
tersebut muncul, ketika dalam kelompok plurar menginginkan pernikahan yang
padahal kedua belah pihak berbeda agama, yang mana salah satu pihak dalam
agamanya melarang hal tersebut untuk dilakukan. Salah satu agama yang melarang pernikahan
beda agama tersebut adalah agama Islam. Masalah ini kemudian berujung pada
pembahasan tentang HAM, artinya apakah melakukan pernikahan dengan siapa,
dengan cara apa, bagaimana, kapan, di mana, dan kenapa merupakan hak absolut
umat manusia yang sekalipun Negara tidak boleh campur tangan dalam
pemberiannya? Ataukah konsep tersebut memiliki alasan rasional untuk
pembatasannya?
Dalam
konsep HAM barat yang dewasa ini sangat digencarkan, pernikahan dirumuskan
dalam instrument hukum internasional yaitu DUHAM, tepatnya pada pasal 16 dalam
3 ayat, yaitu :
a. laki-laki
dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak
dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama berhak untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan,
di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian;
b. perkawinan
hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan oleh kedua
mempelai; dan
c. keluarga
adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak
mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
Dalam
konsep tersebut, HAM diartikan memberi kebebasan untuk melakukan pernikahan
tanpa memandang agama. Hal ini bertentangan dengan UU no 1 tahun 1974, yang menyatakan
harus dilakukan sesuai dengan agama masing-masing. Penjelasan atas UU ini
kemudian diperkuat dengan adanya UU no 39 tahun 1999. Dalam pasal 50 UU ini,
tercantum klausa bahwa “Wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak
untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum
agamanya.”
Dalam
tataran yuridis, sebuah Negara yang telah meratifikasi suatu instrument HAM
memiliki suatu kewajiban untuk melaksanakan aturan tersebut. Namun demikian,
berdasar kebebasan dalam ratifikasi, ratifikasi memberikan peluang dalam hukum
yang mana yang dapat aplikatif dalam system hukum dalam suatu Negara. Dengan
adanya pengertian tersebut, maka secara yuridis, tidak menjadi suatu masalah
ketika UU no 39 Tahun 1999 serta UU no. 1 Tahun 1974 berbeda dari DUHAM sebagai
instrument dasar HAM.
Namun,
tataran yuridis tersebut harus mampu dijelaskan dalam tataran filosofis tentang
HAM, mengingat DUHAM, sendiri hanya merupakan kodifikasi rasional umat manusia
atas HAM. Begitu pula UU no. 39 Tahun 1999, UU no 1 Tahun 1974 bahkan UUD 1945.
Dalam tataran filosofis, pengertian atas hak serta pernikahan itu sangat
penting artinya. Dalam pengertian hak asasi manusia dalam kajian ini terdapat
dua kubu penting, pertama menurut konsepsi internasional yang kedua menurut
konsepsi Islam.
Dalam
konsep Internasional, doktrin sepakat menyatakan bahwa hak asasi manusia
merupakan hak kodrati yang dimiliki oleh umat manusia karena derajatnya yang
tinggi sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Sedangkan dalam konsep Islam, HAM ditempatkan
berdasar ketuhanan, umumnya diwujudkan dengan penghormatan terhadap orang
lain dalam bentuk kewajiban untuk tidak
melakukan penghilangan daripadanya. Dalam pengertian kedua konsep tersebut
terdapat beberapa persamaan, yang pertama HAM ada untuk manusia karena Tuhan.
Dengan demikian, fungsi kodrati bahwa HAM melekat pada seluruh umat manusia
menjadi jelas, karena setiap manusia adalah ciptaan Tuhan. Lebih lanjut, secara
eksplisit pengertian HAM dalam dunia internasional atas dasar pengertian tersebut,
akhirnya juga menyepakati bahwa HAM merupakan pemberian Tuhan serupa dengan
konsepsi HAM dalam Islam.
Pernikahan
sendiri dalam DUHAM berdasar rasionalisme dan liberal menghasilkan paham
sekuler yang berusaha memisahkan dunia dengan agama yang menghasilkan bebasnya
perkawinan beda agama. Berbeda dengan konsep Islam, yang menyatakan bahwa
perkawinan dilaksanakan karena hak untuk nikah sendiri diberikan oleh Tuhan.
Maka, menurut islam, kapan, siapa, dimana, bagaimana, kenapa seseorang itu
melakukan pernikahan adalah hak Tuhan untuk menetapkan mana yang akan
diserahkan pada manusia dalam kepengurusannya.
Penjabaran
makna pernikahan dalam DUHAM sendiri kemudian menjadi tidak relevan ketika
mengingat dasar filosofis pengadaannya. Bahwa DUHAM mengakui adanya Tuhan
pemberi hak tersebut, namun kemudian mengapa agama sebagai ajaran Tuhan tidak
dijadikan landasan.
5.
Implikasi
Pernikahan Beda Agama terhadap Status Anak
Anak merupakan pemegang keistimewaan
orang tua, waktu orang tua masih hidup,
anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah
lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan
dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik
maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan
potongan daging orang tuanya.[45]
Begitu pentingnya eksistensi akan lambang penerus dan lambang keabadian ini,
maka Allah SWT mensyari’atkan adanya pernikahan. Pensyari’atan pernikahan
memiliki tujuan antara lain untuk
berketurunan yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang
sakinah.[46]
Namun, apa yang terjadi jika pernikahan
yang terjadi merupakan pernikahan antara dua insan yang berbeda latar belakang
dari sisi keagamaan?
Pernikahan beda agama yang terjadi
antara dua insan manusia, tentunya memiliki dampak atau implikasi pada status
anak dikemudian hari. Implikasi tersebut
dapat diidentifikasikan dengan status anak yang bukan menjadi anak kandung,
karena dalam pembahasan di atas hukum pernikahan beda agama dalam islam adalah
dilarang (haram)
Status anak ‘haram’ akibat pernikahan
beda agama pada prinsipnya, penulis tidak sependapat dengan istilah tersebut,
karena di samping istilah itu tidak dikenal dalam hukum positif, juga terdengar
kurang etis bagi yang bersangkutan. Selain itu, kelahiran seorang anak di dunia
ini tidak pernah di kehendaki oleh anak itu sendiri. Kelahirannya semara-mata
merupakan kehendak sadar kedua orang tuanya. Dengan demikian tidak ada alasan
untuk melegalisasikan anak tersebut dengan menyebutnya sebagai anak haram.
Semestinya yang patut untuk dipersalahkan adalah orangtuanya yang dengan
kehendak bebasnya, semena-mena melakukan perbuatan yang dapat dikategorikan
sebagai perbuatan zina. Terhadap anak tersebut lebih tepatnya dapat dikatakan
sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Dalam Kompilasi Hukum Islam selain
dijelaskan tentang kriteria anak sah atau anak yang dilahirkan dalam ikatan
perkawinan yang sah, sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum
Islam, yang berbunyi : “bahwa anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah dan hasil pembuahan
suami isteri yang di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut,[47] juga
dikenal anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, seperti yang tercantum dalam Pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab
dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[48]
Dalam pasal 42 Bab IX Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 juga dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dan atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Yang termasuk dalam kategori pasal
ini adalah :
a. Anak
yang dilahirkan oleh wanita akibat suatu ikatan perkawinan yang sah.
b. Anak
yang dilahirkan oleh wanita di dalam ikatan perkawinan dengan tenggang waktu minimal 6 (enam) bulan antara
peristiwa pernikahan dengan melahirkan bayi.
c. Anak
yang dilahirkan oleh wanita dalam ikatan perkawinan yang waktunya kurang dari
kebiasaan masa kehamilan tetapi tidak diingkari kelahirannya oleh suami.
Salah satu implikasi terhadap status
anak yang lain yang dilahirkan melalui proses pernikahan yang tidak sah (karna
larangan pernikahan beda agama) adalah adanya pengakuan bahwa anak tersebut
adalah anak hasil perzinahan. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi anak
zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri
yang tidak sah. Hubungan suami isteri
yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’)
antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun
dan syarat nikah yang telah ditentukan.[49] Meskipun istilah “anak zina” merupakan istilah
yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum
Islam tidak mengadopsi istilah tersebut untuk dijadikan sebagai istilah khusus
di dalamnya. Hal tersebut bertujuan agar anak hasil dari hubungan zina, tidak
dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya, dengan
menyandangkan dosa besar ibu kandungnya dan ayah anak tersebut kepada dirinya,
selain itu juga bertujuan untuk menunjukkan identitas Islam bahwa Islam tidak
mengenal adanya dosa warisan.
Hal tersebut di atas dapat ditemui dalam
Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” sebagaimana
defenisi yang dikemukakan oleh Hasanayn di atas, adalah istilah “anak yang
dilahirkan di luar perkawinan yang sah”, sebagaimana yang terdapat pada pasal
100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Berdasarkan definisi dan pendekatan
makna “anak hasil zina” di atas, maka yang dimaksudkan dengan anak hasil zina
dalam pembahasan ini adalah anak yang janin atau pembuahannya merupakan akibat
dari perbuatan zina, maupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah,
sebagai akibat dari pernikahan beda agama.
Anak yang lahir di luar pernikahan yang
sah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan, sedangkan perempuan itu
tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menyetubuhinya.
Sedangkan pengertian di anak yang lahir akibat dari pernikahan beda agama
adalah hubungan seorang pria dengan seorang wanita berbeda agama yang dapat
melahirkan keturunan atau anak sedangkan hubungan mereka tidak dalam ikatan
perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.
Terkait
status anak seperti yang telah dipaparkan diatas, menurut hukum syari’ah, anak hasil
zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya di dunia
ini, sesuai dengan hadis Nabi Muhammad Saw yang artinya:
Semua anak dilahirkan
atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/ noda) dan pembawaan beragama
tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang
menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani atau Majusi. (Hadis riwayat
Abu Ya’la,al-Thabrani dan al-Baihaqi dari al-Aswad bin Sari’).
Karena
itu, anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan,
pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat
nanti. meskipun dalam buku “M.Quraish ShihabMenjawab 1001 Soal Ke-Islaman Yang
Patut Anda Ketahui” dijelaskan bahwa pada hakikatnya anak hasil zina tersebut
tidak dinisbahkan kepada ibu yang mengandungnya,[50]namun
tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya secara materil dan spiritual
terletak pada ibu yang melahirkannya dan keluarga ibunya, sebab anak hasil
zina hanya mempunyai hubungan nasab atau perdata dengan ibu yang melahirkanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasar atas
rumusan masalah yang telah kami buat, maka kami mendapatkan kesimpulan sebagai
berikut:
1. Bahwa
dalam islam, pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat
pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan
perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama’ berbeda
pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh “ idza ijtama’a baina al halal wal haram ghuliba al haram” bisa
dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah islam.
2. Bahwa
hak asasi manusia manusia pada dasarnya merupakan hak kodrati yang diberikan
tuhan kepada manusia, maka tidak rasional apabila hak kodrati tersebut
menyimpang dari aturan dan ketentuan tuhan. Begitupula dalam islam, dengan
adanya aturan Allah, maka hak asasi manusia tersebut sudah tentu tidak boleh bertentangan
dengan ajaran yang diperintahkan oleh allah SWT.
B.
Saran
Hukum Islam pada
dasarnya dibuat untuk mencapai maqoosid syari’ah, yaitu hifd ad-din,hifd
an-nafs, hifd al-aql, hifd an-nafs dan hifd al-maal. Oleh karena itu, dalam
perumusan hukum islam haruslah memperhatikan aspek ini. Hukum pernikahan beda
agama ini haruslah berorientasi terhadap maqosid syari’ah tersebut dan
memperhatikan dampak terhadap status anak dan hak anak dalam waris serta nikah.
Semoga perumusan yang telah kami buat di atas dapat memenuhi unsur di atas,
sehingga dapat diterima oleh semua masyarakat dan dapat diimplementasikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasar nilai-nilai Islam.
[1]
Wikipedia, Agama di Indonesia,
dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_di_Indonesia, di akses pada tanggal 23
Januari 2012
[2]
Dimuat dalam artikel berjudul Fakta
Empiris Nikah Beda Agama di http://blog.umy.ac.id/retnoeno/2012/01/07/fakta-empiris-nikah-beda-agama/, diakses pada tanggal 23 Januari
2012
[3] Ibid
[4] Faeshol Jamaluddin, Analisis Fatwa MUI Nomor :4/Munas VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan
beda agama, dimuat dalam http://idb4.wikispaces.com/file/view/bu4001.pdf, diakses pada tanggal 23 Januari
2012
[5]
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer
(al-Ashri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), hlm.
1943
[6]
Ibid, hlm: 1026
[7]
A. W. Munawwir, Kamus
al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya :Pustaka Progressif,2002),
hlm. 1461
[8] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah,
(Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz. IV,
hlm. 3
[9] Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006),
hlm.69.
[10] Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
(Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
[11] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS.
an-Nisa : 3
[12] Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
[13] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS.
al-Baqoroh: 221.
[14] Ibid, QS. al-Mumtahanah: 10.
[15] Ibid, QS. al-Maidah: 5.
[16] Karsayuda, Op. Cit, hlm:87.
[17] Zuhdi Muhdhor dan Atabik Ali, Op. Cit, hlm.1512
[18] Masri Elmahsyar
Bidin, Prinsip Hubungan Muslim dan Non
Muslim dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal 22 januari 2012 di http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pengertian+ahli+kitab+dalam+islam&source=web&cd=1&ved=0CB0QFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.ditpertais.net%2Fannualconference%2Fancon06%2Fmakalah%2FMakalah%2520Masri.doc&ei=gs4cT9mHJoK4rAeysOGEDQ&usg=AFQjCNHoOxR3-aLet3wVScgtKoQm7XcO3A .
[19] M. Quraish Shihab, M.Quraish Shihab Menjawab – 1001 Soal
Keislaman yang Patut Anda Ketahui,( Jakarta
: Lentera Hati, 2008 ) hlm. 772.
[20] Al-Qur’an dan terjemahanya, QS
Al Hajj: 17.
[21] Quraish shihab, Tafsir Al-Misbah
(Volume 9) (Jakarta :Lentera Hati , 2002), hlm. 29
[22] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[23] Karsayuda, Op.Cit, hlm. 69.
[24] Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu
perkawinan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa
iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
[25] Seorang wanita
Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
beragama Islam.
[26] Karsayuda, Op.Cit, hlm: 7
[27] M.Quraish Shihab, M. Quraish…,Op.Cit,hlm: 595.
[28] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm. 36
[29] Karsayuda, Op.Cit, hlm. 79
[30] Imam al-Qodhi, Op.Cit, hlm.36
[31] M.Quraish Shihab, M. Quraish …,Op.Cit, hlm. 597.
[32]
Bisri Mustofa,Tarjamah nidhom
Faraaidil Bahiimah fii al qowaaid al fiqhiyyah, ( Kudus :Maktabah wa
mathba’ah menara kudus), hlm. 87
[33] Kamus Besar Bahasa
Indonesia Offline Versi 1.1 Freeware,2010 by Ebta
Setiawan dengan mengacu pada data dari KBBI Daring (edisi III) di ambil dari
http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/
[34] Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung : Mandar Maju.
,2001), hlm. 25
[35] Wikipedia, Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik, di muat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Liberalisme, di akses pada tanggal 22
Januari 2012.
[36] Dimuat dalam artikel berjudul Pendapat Para Ahli Tentang HAM di website http://nalhackerblog.blogspot.com/2010/03/pendapat-para-ahli-tentang-ham.html, di akses pada tanggal 22
Januari 2012
[37] Solly Lubis , Op.Cit. hlm. 27-28
[38] Jeremy Bentham dikutip dalam buku nya K.M Smith Rhona dan Njal
Hostmaelingen, Hukum Hak Asasi Manusia,
(Yogyakarta : PUSHAM UII,2008), hlm. 13
[39] Ibid.
[40] Undang-Undang Dasar R.I Tahun 1945, (Surakarta : Pustaka
Mandiri),hlm. 4
[41] Wikipedia, Soeharto, dimuat dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Soeharto, diakses pada tanggal 22 Januari
2012.
[42]
Ibid
[43]
Deni K. Yusup, Kodifikasi UU No.39
Tahun 1999, dimuat dalam http://dkyusup.blogspot.com/2008/04/kodifikasi-uu-no-39-tahun-1999.html, di akses pada tanggal 22
Januari 2012.
[44] Imam Hidayat, Pengertian, macam dan Jenis Hak Asasi
Manusia/HAM yang Berlaku Umum Global, dimuat dalam http://imamcubluxhidayat.blogspot.com/2011/02/pengertian-macam-dan-jenis-hak-asasi.html, diakses pada tanggal 22 Januari
2012.
[45]
Yusuf al-Qadhawi, Halal dan Haram
dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976), hlm. 256-158
[46]
Wahbah al- Zuhailiy, Al-Fiqh al- Islamiy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr,
1997), cet. Ke-2 . hlm. 11
[47]
Undang-Undang R.I Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (Kesindo Utama : Surabaya, 2010 ), hlm.226
[48]
Ibid, hlm. 226
[49]
Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1999,
hlm.
40.
[50]
M. Quraish Shihab, M.Quraish ..,Op.cit
hlm.512
Tidak ada komentar:
Posting Komentar