MENGGAPAI DUNIA DENGAN FITRAH
MANUSIA
Oleh : Muh. Irham Roihan*
"Maka
hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui. (Ar-ruum :30)”
Untuk memulai tulisan
ini, penegasan terhadap interpretasi kata “fitrah
Allah” nampaknya perlu dimunculkan, agar nantinya tulisan ini dapat difahami
secara utuh dan tidak memunculkan multi-interpretasi. Dalam bahasa arab, Fitrah
dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu),
kejadian (al-ibtida), penciptaan (khalqun), dan sifat pembawaan yang
sejak lahir. Fitrah juga mengandung
pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya dan menentukan tabiatnya untuk
berbuat sesuatu, termasuk manusia yang diciptakan untuk mempunyai naluri
beragama (agama tauhid). Pada dasarnya naluri manusia adalah untuk menemukan
Tuhan, dan cara untuk menemukan Tuhan adalah melalui cara-cara yang terdapat
dalam ajaran agama sehingga manusia dapat menjalani kehidupannya secara
“sadar”. Maka sangat tidak wajar apabila ada seorang manusia yang tidak
beragama tauhid. Konstruksi berfikirnya kemudian menjadi seperti ini “untuk
mengenali dirimu maka kenalilah siapa Tuhanmu dan untuk mengetahui siapa
Tuhanmu maka kenalilah agamamu.” Oleh karena itulah manusia sangat membutuhkan
Tuhan dan kebenaran ajaran agama, karena apabila tidak implikasinya jelas ia
tidak akan bisa mengenali dirinya sendiri.
Dalam perjalanan
hidup manusia tidak ada yang bisa menebak akan ke arah mana alur akhir kehidupannya,
meskipun saat dilahirkan ia diciptakan dalam keadaan memiliki fitrah yang sama. Dinamika kehidupan
yang kompleks pasti akan menggiring manusia keluar dari rel fitrahnya yang suci. Contoh riil yang
dapat kita lihat dalam media massa adalah terjadinya pertumpahan darah di
palestina dan Israel, ayah yang menghamili anaknya sendiri, pejabat yang tidak
puas dengan harta kekayaannya sendiri (korupsi), dan lain sebagainya. Adakah
manusia yang memiliki hati nurani yang tidak menginginkan perdamaian dan
keselamatan? Bisa penulis pastikan bahwa semua manusia pasti menginginkan hal
tersebut, hanya saja pola pikir manusia seringkali terkontaminasi oleh faktor
keluarga, lingkungan, serta pendidikan sehingga ia kehilangan kendali atas fitrahnya sendiri.
Ayat yang tertera
diatas sesungguhnya dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menjalani kehidupan
di dunia ini sesuai dengan fitrah
kita sebagai manusia. Sistem redaksi ayat 30 surat Ar-Ruum memperlihatkan
kejelasan pengertian fitrah bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah (potensi) keagamaan yang hanif,
yang benar, meskipun (boleh jadi) ia mengabaikan dan tidak mengakuinya. Ayat
ini jelas telah menghubungkan makna fitrah
dengan agama Allah yang saling melengkapi diantara keduanya. Kalimat kunci
dalam ayat tersebut adalah Fa Aqim
Wajhaka liddini haniifan yang oleh Al-Qurtubi diartikan sebagai perintah
untuk mengikuti agama yang lurus.
Dengan memperhatikan sistem
diatas, maka dapat ditangkap bahwa kalimat amr
pada ayat tersebut menggambarkan perintah Allah kepada segenap manusia agar
berusaha mengahadapkan dirinya kepada ketentuan-ketentuan Allah yang kemudian
terangkum dalam istilah agama (diin) agar
mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan. Sehingga menurut hemat penulis untuk menggapai
hidup didunia dengan berbagai macam dinamikanya ternyata hanya akan didapatkan
ketika fitrah kita sebagai manusia
ditambah dengan keinginan untuk mengabdi kepada yang Maha Kuasa dapat di
integrasikan secara bersamaan. Ingatlah,
hati nurani / fitrah tidak pernah berbohong. Gapailah dunia dengan fitrah yang
telah diberikan Sang Maha Kuasa. J
Wallahu A’lam Bis Shawab.
* Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum UII Angkatan 2010, dan juga Santri PPUII 2010. Tulisan ini telah diterbitkan dalam Al-Azhar News (A-News) Edisi Pertama (29 November 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar