A. PANDANGAN
ISLAM TENTANG MANUSIA SEBAGAI HAMBA ALLAH
Berbicara mengenai pandangan Islam, maka penulis akan menggunakan perspektif Al-qur’an dalam membahas tentang
manusia dan alam. Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga
istilah pokok. Pertama, menggunakan kata insan, ins. Kedua, menggunakan
kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat
Adam.
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar
terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan
indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[1]
Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi
material manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan. Dari makna ini
lantas lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar
kata basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara
bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
Allah swt. berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Q.S.
ar-Rum [30]: 20)”
Selain
itu, kata basyar juga dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang
menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Akibat kemampuan mengemban tanggung
jawab inilah, maka pantas tugas kekhalifahan dibebankan kepada manusia.[2]
Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)
Sementara
itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak,
harmonis, dan tampak. Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan
berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan
mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti
jinak.[3]
Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak
lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan
terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu
(berguncang). Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.
Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan
seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’
menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai
pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima
beban takliif dan amanat kekuasaan.
Dua
kata ini, yakni basyar dan insaan, sudah cukup menggambarkan
hakikat manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua kata ini, dapat disimpulkan bahwa
definisi manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diciptakan
secara bertahap, yang terdiri atas dimensi jiwa dan raga, jasmani dan rohani,
sehingga memungkinkannya untuk menjadi wakil Allah di muka bumi (khaliifah
Allah fii al-ardl).
Manusia di
dalam hidup ini memiliki tiga misi khusus yaitu : Misi utama, misi fungsional,
dan misi operasional. Di dalam sub
bab ini, yang akan kita kaji adalah manusia sebagai hamba Allah, dimana hal ini
merupakan Misi utama dari seorang manusia. Dan untuk misi fungsional dan
operasionalnya akan di bahas dalam sub bab selanjutnya.
Keberadaan
manusia di muka bumi ini mempunyai misi utama, yaitu beribadah kepada Allah
SWT. Sebagaimana Firman Allah Swt
Dan aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(adz-Dzariyat: 56)
Maka, setiap langkah dan gerak-geriknya harus
searah dengan garis yang telah ditentukan. Setiap desah nafasnya harus selaras
dengan kebijakan-kebijakan ilahiah, serta setiap detak jantung dan keinginan
hatinya harus seirama dengan alunan-alunan kehendak-Nya. Semakin mantap
langkahnya dalam merespon seruan Islam dan semakin teguh hatinya dalam
mengimplementasikan apa yang telah menjadi tugas dan kewajibannya, maka ia akan
mampu menangkap sinyal-sinyal yang ada di balik ibadahnya. Karena, dalam setiap
ibadah yang telah diwajibkan oleh Islam memuat nilai filosofis, seperti nilai
filosofis yang ada dalam ibadah shalat, yaitu sebagai ‘aun (pertolongan) bagi
manusia dalam mengarungi lautan kehidupan (al-Baqarah:153), dan sebagai benteng
kokoh untuk menghindari, menghadang, dan mengantisipasi gelombang kekejian dan
kemungkaran (al-Ankabuut: 45).
Adapun nilai
filosofis ibadah puasa adalah untuk menghantarkan manusia muslim menuju gerbang
ketaqwaan, dan ibadah-ibadah lain yang bertujuan untuk melahirkan
manusia-manusia muslim yang berakhlak mulia (al-Baqarah: 183 dan
aat-Taubah:103). Maka, apabila manusia mampu menangkap sinyal-sinyal nilai
filosofis dan kemudian mengaplikasikan serta mengekspresikannya dalam bahasa
lisan maupun perbuatan, ia akan sampai gerbang ketaqwaan. Gerbang yang
dijadikan satu-satunya tujuan penciptaannya.
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Namun, tidak semua manusia di dunia ini mengikuti perintah dan merespon risalah yang di bawa oleh para Rasul. Bahkan, banyak di antara mereka yang berpaling dari ajaran-ajaran suci yang didakwahkan kepada mereka. Ada juga yang secara terang-terangan mengingkari dan memusuhinya (an-Nahl: 36, al-An’aam: 26, dan al-Baqarah: 91).
Hal ini bisa
terjadi pada manusia karena dalam dirinya ada dua kekuatan yang sangat dominan
mempengaruhi setiap pikiran dan perbuatannya, kekuatan taqwa dan kekuatan
fujur. Kekuatan taqwa didorong oleh nafsu mutmainnah (jiwa yang tenang) untuk
selalu menterjemahkan kehendak ilahiah dalam realitas kehidupan, dan kekuatan
fujur yang di dominasi oleh nasfu amarah (nafsu angkara murka) yang senantiasa
memerintahkan manusia untuk masuk dalam dunia kegelapan. Maka, dalam bingkai
misi utama ini, manusia bisa diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (a)Sabiqun
bil khairat, (b) muqtashidun, dan (c) dzalimun linafsihi. Hal ini dijelaskan
dalam firman Allah SWT sebagai berikut :
“Kemudian Kitab
itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba
Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di
antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih
dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia
yang amat besar.” (Faathiir: 32)
(a). Sabiqun bil khairat
Hamba Allah
SWT yang termasuk dalam kategori ini adalah hamba yang tidak hanya puas
melakukan kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan oleh-Nya, namun ia
terus berlomba dan berpacu untuk mengaplikasikan sunnah-sunnah yang telah
digariskan, dan menjauhi hal-hal yang dimakruhkan. Mereka selalu ber-fastabiqul
khairat dalam segala hal. Akal sehatnya menerawang jauh ke depan untuk
menggagas karya-karya besar dan langkah-langkah positif. Hati sucinya menerima
pilihan-pilihan akal selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Inilah
hamba yang selalu melihat kehidupan dengan cahaya bashirah. Hamba yang hatinya
senantiasa dihiasi ketundukan, cinta, pengagungan, dan kepasrahan kepada Allah
SWT.
(b). Muqtashidun
Hamba Allah
yang masuk dalam kategori ini adalah manusia muslim yang puas ketika mampu
mengamalkan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT. Dalam benaknya, tidak
pernah terlintas ruh kompetitif dalam memperluas wilayah iman ke wilayah ibadah
yang lebih jauh lagi, yaitu wilayah sunnah. Imannya hanya bisa menjadi benteng
dari hal-hal yang diharamkan dan belum mampu membentengi hal-hal yang
dimakruhkan.
(c). Dzalimun linafsihi
Hamba yang
termasuk dalam kelompok ini adalah yang masih mencampuradukkan antara hak dan
batil. Selain ia mengamalkan perintah-perintah Allah SWT, ia juga masih sering
berkubang dalam kubangan lumpur dosa.
Jadi, dalam
diri seorang hamba ada dua kekuatan yang mempengaruhinya, tergantung kekuatan
mana yang lebih dominan, dan dalam kelompok ini, nampaknya kekuatan
syahwat yang mendominasi kehidupannya, sehingga hatinya sakit parah.
“Mengikuti syahwat adalah penyakit, sedangkan durhaka kepadanya adalah obat
mujarab dan terapi yang manjur” (Adab ad-Diin wa ad-Dunya, Abu al-Hasan Ali
al-Mawardy).
Apabila
manusia mengikuti libido, mengekor nafsu angkara murka, dan menjadi budak
syahwatnya, maka ia akan keluar dari poros yang telah digariskan oleh Allah
SWT. Ia akan mencampakkan dan menyia-nyiakan amanah yang agung. Bahkan, ia akan
melakukan konspirasi bersama thoghut-thoghut untuk memberangus nilai-nilai
kebenaran. Di sini, manusia akan bergeser dari gelar khairul barriyyah ‘sebaik-baik makhluk’ dan ahsanu taqwim ke gelar baru, yaitu syarrul barriyyah ‘seburuk-buruk makhluk’, asfalus saafilin ‘tempat yang paling rendah’, al-an’aam ‘binatang ternak’, kera, babi, batu, dan kayu yang
berdiri.
Inilah
manusia-manusia yang memiliki hati, mata dan telinga, namun ia tidak pernah
berfikir, tidak pernah melihat kebenaran, dan tidak pernah mendengar ayat-ayat
Qur`aniah dan Kauniah dengan tiga faktor tersebut. Mereka adalah sebuah
komunitas dari manusia-manusia yang dungu, buta, tuli, dan bisu dari
nilai-nilai Islam (al-Bayyinah: 6-7, al-A’raaf: 179, al-Maidaah: 60,
al-Munaafiquun: 4, dan al-Baqarah:74)
Dapat
ditarik kesimpulan bahwa dalam misi utamanya ini, manusia memiliki tanggung jawab
untuk memelihara iman yang dimiliki yang bersifat fluktuatif ( naik-turun ),
dalam istilah hadist Nabi SAW dikatakan yazidu wayanqusu (terkadang
bertambah atau menguat dan terkadang berkurang atau melemah).Tanggung jawab
terhadap keluarga merupakan lanjutan dari tanggungjawab terhadap diri sendiri.
Oleh karena itu, dalam al-Qur’an dinyatakan dengan quu anfusakum waahliikum
naaran (jagalah dirimu dan keluargamu, dengan iman dari neraka). Allah
dengan ajaranNya, memerintahkan hambaNya untuk berlaku adil dan ihsan. Oleh
karena itu, tanggung jawab hamba Allah adalah menegakkan keadilan, baik
terhadap diri sendiri maupun terhadap keluarga. Dengan berpedoman kepada ajaran
Allah, seorang hamba harus berupaya mencegah kekejian moral dan kemungkaran
yang mengancam diri dan keluarganya. Oleh karena itu, ‘Abdullah harus
senantiasa melaksanakan shalat dalam rangka menghindarkan diri dari kekejian
dan kemungkaran (Fakhsyaa’i wal munkar). Hamba-hamba Allah sebagai bagian dari
ummah yang senantiasa berbuat kebajikan juga diperintah untuk mengajak yang
lain berbuat ma’ruf dan mencegah kemungkaran (Al-Imran : 2: 103). Demikianlah
tanggung jawab hamba Allah yang senantiasa tunduk dan patuh terhadap ajaran
Allah menurut Sunnah Rasul.
PANDANGAN ISLAM TENTANG MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH ALLAH
Manusia,
selain memiliki misi utama, ia juga memiliki misi fungsional dimana dalam
misinya ini, ia harus mengaplikasikan beban-beban ilahiah yang mengandung
maslahat dalam kehidupannya. Ia membawa amanah ilahiah yang harus
diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Keberadaannya di alam ini memiliki
arti yang hakiki, yaitu menegakkan khilafah. Keberadaannya tidaklah untuk
huru-hara dan tanpa tujuan yang berarti. Mari kita perhatikan ayat-ayat
Qur`aniah di bawah ini.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah: 30)
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan
gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (al-Ahzab: 72)
Manusia
diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia di muka
bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil Allah di muka
bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam. Khalifah berarti wakil atau
pengganti yang memegang mandat Tuhan untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi.
Kekuasaan yang diberikan kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan
dirinya serta mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai
khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih dan menentukan,
sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang dinamis. Kebebasan manusia
sebagai khalifah bertumpu pada landasan tauhidullah, sehingga kebebasan yang
dimiliki tidak menjadikan manusia bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan
manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan
yang telah digariskan oleh yang diwakilinya, yaitu hukum-hukum Tuhan baik yang
yang tertulis dalam kitab suci (al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam
kandungan alam semesta (al-kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan
yang diwakili adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta
mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta pertanggungjawaban
terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang diwakilinya, sebagaimana
firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39)
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi.
Barang siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian mereka
belaka”.
Kedudukan
manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai hamba allah, bukanlah
dua hal yang bertentangan, melainkan suatu kesatuan yang padu dan tak
terpisahkan. Kekhalifaan adalah realisasi dari pengabdian kepada allah yang
menciptakannya.
Dua
sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap muslim sedemikian
rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan lahir sifat-sifat tertentu
yang menyebabkan derajad manusia meluncur jatuh ketingkat yang paling rendah.
Manusia
adalah makhluk pilihan dan makhluk yang dimuliakan oleh Allah SWT dari
makhluk-makhluk yang lainnya, yaitu dengan keistimewaan yang dimilikinya,
seperti akal yang mampu menangkap sinyal-sinyal kebenaran, merenungkannya, dan
kemudian memilihnya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan ahsanu
taqwim, dan telah menundukkan seluruh alam baginya agar ia mampu memelihara
dan memakmurkan serta melestarikan kelangsungan hidup yang ada di alam ini.
Dengan akal yang dimilikinya, manusia diharapkan mampu memilah dan
memilih nilai-nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang tertuang dalam
risalah para rasul.
Dengan
hatinya, ia mampu memutuskan sesuatu yang sesuai dengan iradah Robbnya dan
dengan raganya, ia diharapkan pro-aktif untuk melahirkan karya-karya besar dan
tindakan-tindakan yang benar, sehingga ia tetap mempertahankan gelar kemuliaan
yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya seperti ahsanu taqwim, ulul
albab, rabbaniun dan yang lainnya.
Maka, dengan
sederet sifat-sifat kemuliaan dan sifat-sifat insaniah yang berkaitan dengan
keterbatasan dan kekurangan, Allah SWT membebankan misi-misi khusus kepada
manusia untuk menguji dan mengetahui siapa yang jujur dalam beriman dan
dusta dalam beragama.
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan
sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.”
(al-Ankabuut: 2-).
Oleh karena
itu, ia harus benar-benar mampu menjabarkan kehendak-kehendak ilahiah dalam
setiap misi dan risalah yang diembannya, karena sesungguhnya manusia adalah
Khalifah sekaligus hamba Allah di muka bumi.
Sebagai
seorang khalifah, manusia harus menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Manusia
tidak mampu memikul misi ini, kecuali bila ia istiqamah di atas rel-rel
robbaniah. Manusia harus membuang jauh bahasa
khianat dari kamus kehidupannya. Khianat lahir dari rahim syahwat, baik syahwat
mulkiah ‘kekuasan’, syahwat syaithaniah, maupun syahwat bahaimiah ‘binatang
ternak’.[4]
Ketika jiwa manusia di kuasai oleh syahwat mulkiah, maka ia akan mempertahankan
kekuasaan dan kedudukannya, meskipun dengan jalan yang tidak dibenarkan oleh
Islam. Ia senantiasa melakukan makar, adu domba, dan konspirasi politik untuk
menjegal lawannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar