Rabu, 30 Januari 2013

URGENSI PEMBUATAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

URGENSI RUU PERLINDUNGAN
TERHADAP PENYANDANG DISABILITAS

Oleh : M. Irham Roihan

Tepat pada tanggal 18 Oktober 2011 lalu, sejarah telah mencatat bahwa Indonesia sebagai salah satu Negara anggota dalam PBB telah mengesahkan Convention on the Rights of Persons with Disabilities atau Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011. Pemerintah Indonesia dalam hal ini telah menyerahkan piagam ratifikasi pada Sekjen PBB pada tanggal 30 November 2011 sehingga Indonesia telah tercatat sebagai negara yang ke-107 yang telah melakukan ratifikasi atau aksesi terhadap Konvensi Penyandang Disabilitas.

Pengesahan-pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas tersebut sungguh memiliki nilai strategis dan sejarah baru dalam pembaharuan sistem hukum nasional khususnya dalam hal pemenuhan hak-hak bagi penyandang disabilitas. Meskipun sesungguhnya bangsa Indonesia terlambat namun dengan ratifikasi konvensi ini maka diharapkan ada kesamaan pandangan dan pemahaman seluruh pemangku kepentingan dalam melaksanakan konvensi ini yang pada dasarnya sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Hal pokok yang mendasar untuk menjadi perhatian bersama dengan disahkannya RUU ini yaitu memastikan adanya jaminan kepastian hukum bagi penyandang disabilitas yang harus dipenuhi hak-haknya sesuai yang terkandung dalam Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selanjutnya, perlu dilakukan perencanaan dan pertimbangan yang sungguh-sungguh bahwa semua aspek baik sumber daya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia dalam rangka mendukung implementasi UU N0. 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas.


Kita sangat paham bahwa ratifikasi bukan merupakan tujuan akhir, tetapi awal dari upaya panjang untuk implementasi isi Konvensi secara nasional. Konvensi PBB mengenai penyandang disabilitas ini memperkenalkan paradigma baru dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Kata kunci dari Konvensi ini terutama adalah membangun masyarakat yang inklusif, kemandirian penyandang disabilitas sebagai subyek penuh, dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas untuk ikut serta dalam kehidupan sosial dan bernegara secara penuh dan setara.

Paradigma baru ini menuntut perombakan cara penanganan isu mengenai penyandang disabilitas, penerapan pendekatan komprehensif yang melibatkan semua sektor, serta peningkatan pemahaman dan kesadaran masyarakat luas mengenai asas-asas yang menjadi pijakan bagi penghormatan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas. Saat ini menurut penulis,  hal yang sangat penting untuk menjadi perhatian adalah mengenai bagaimana semua pihak dapat merealisasikan komitmennya untuk secara penuh mengimplementasikan isi dari Konvensi. Paska ratifikasi, implementasi menjadi tantangan bersama bagi kita.

Berkaitan dengan hal tersebut, kiranya terdapat tiga hal strategis yang perlu untuk dilakukan untuk merealisasikan komitmen penuh untuk mengimplementasikan isi dari konvensi, yaitu sebagai berikut :

Pertama,  adalah sosialisasi isu Konvensi kepada masyarakat luas dan pemangku kepentingan. Hal ini merupakan keharusan untuk menciptakan masyarakat yang inklusif. Karena itu diperlukan kesadaran dan pemahaman yang baik dari pemangku kepentingan dan masyarakat luas mengenai asas-asas pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana yang diatur dalam Konvensi. Upaya sosialisasi ini dimaksudkan untuk merubah mindset dari masyarakat luas terhadap penyandang disabilitas. Yang diperlukan adalah memanfaatkan media massa secara ekstensif. Strategi kampanye perlu dikembangkan dan diimplementasikan. Tentu upaya ini merupakan proses yang perlu dilakukan terus menerus secara konsisten. Pada tataran konkrit, diperlukan sebuah strategi yang tepat dan jangka panjang dalam upaya diseminasi Konvensi. Dan harus difahami bahwa membangun suatu kesadaran yang meluas dan merubah pola pikir masyarakat yang peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas tidaklah mudah dan membutuhkan waktu yang lama.

Kedua, kiranya perlu dilakukan pengarusutamaan masalah disabilitas dalam program pembangunan di semua sektor. Hal ini merupakan keharusan, karena Konvensi mengenai Penyandang Disabilitas ini tidak hanya merupakan instrumen HAM, melainkan juga instrumen pembangunan.
Upaya ini ditujukan untuk menjamin aksesibilitas bagi penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi penuh dan setara dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Aksesibilitas disini tidak hanya dalam arti fisik, namun juga aksesibilitas yang terkait dengan peraturan perundangan yang memberikan peluang yang sama bagi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi di semua sektor. Salah satu prinsip yang harus diperhatikan adalah mengenai “reasonable accommodation.” Dalam hal ini, perlu dilakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan kebutuhan dan keterbatasan dari penyandang disabilitas, guna memberikan peluang yang lebih besar bagi terjaminnya akses yang setara bagi penyandang disabilitas di berbagai bidang.

Ketiga adalah membuat rancangan undang-undang yang khusus mengenai perlindungan terhadap penyandang disabilitas mengingat bahwa peraturan perundang-undangan yang ada saat ini belum dapat mengatur seluruh kebutuhan mereka dan juga belum dapat mengakomodir ketentuan yang tertuang dalam pasal-pasal konvensi. Dalam hal ini, pemerintah memang telah berupaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, dengan membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas, namun (sekali lagi) peraturan tersebut perlu dikaji lebih lanjut agar sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2011 Tentang  PENGESAHAN CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES (KONVENSI MENGENAI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS). Berbagai peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain :

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat;
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
6. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
7. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
8. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional;
9. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian;
10. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran;
11. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;
12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial;
13. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
14. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
15. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan
16. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
           
            Dalam hal ini, dapat digarisbawahi perlunya sinergi diseminasi dan peningkatan pemahaman baik menyangkut Konvensi Hak Penyandang Disabilitas ataupun pasal-pasal dalam berbagai perundang-undangan nasional yang terkait dengan pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas.

            Diperlukan pemahaman bersama yang menyeluruh dan benar atas isi Konvensi dari seluruh pemangku kepentingan. Hal ini juga perlu dibarengi dengan upaya yang konsisten, terpadu dan utuh dalam pelaksanaan produk perundang-undangan nasional. Penyesuaian peraturan perundangan yang ada dengan norma dan standar yang tertuang dalam Konvensi merupakan hal yang mendesak dalam jangka pendek. Diharapkan langkah-langkah ini menjadi suatu solusi bagi keberhasilan pemajuan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas ke depan. Dengan peningkatan pemahaman ini, kiranya Konvensi ini dapat digunakan sebagai instrumen pembangunan secara optimal. Adalah suatu harapan tentunya bahwa setiap langkah perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Indonesia dilandasi oleh adanya kesadaran penuh para aparatur pemerintahan dan publik, di mana pembangunan fisik maupun non fisik selalu memperhatikan aspek aksesibilitas dan partisipasi dari para penyandang disabilitas.

            Pelaksanaan Konvensi ini akan mendorong seluruh pihak untuk melakukan langkah penyesuaian yang mendasar dalam penanganan kelompok masyarakat penyandang disabilitas. Penyesuaian ini tidak hanya memerlukan keterpaduan program dari seluruh Kementerian dan Lembaga terkait guna menjamin aksesibilitas, namun juga mensyaratkan perubahan pola pikir dan tindak dari masyarakat umum terhadap penyandang disabilitas. Perubahan yang selaras dengan paradigma baru yang memungkinkan penyandang disabilitas mendapatkan hak-haknya secara menyeluruh. Sebuah perubahan yang memungkinkan kita semua menciptakan kondisi yang kondusif untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang inklusif bagi penyandang disabilitas.

       Sebuah perubahan yang menjadikan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat yang senantiasa memiliki kepedulian terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Harapan penulis kiranya segala upaya dan mekanisme yang telah berjalan di level nasional dapat berjalan secara sinergis untuk menjaga keberlangsungan proses ini.

* Essay yang dibuat untuk mengikuti Seleksi Tim Legal Drafting Forum Kajian dan Penulisan Hukum FH UII dalam Padjajaran Law Fair III 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar