Jumat, 13 Juli 2012

DPR : DEWAN PEMERAS RAKYAT?


DPR : DEWAN PEMERAS RAKYAT
Oleh : Muh. Irham Roihan[1]
         
          Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan suatu lembaga negara yang mempunyai 3 fungsi sekaligus yang diatur didalam UUD RI 1945. Ketiga fungsi tersebut yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran (budgeting),  dan fungsi pengawasan. Dua dari ketiga fungsi tersebut, dalam penerapannya DPR di bantu oleh Pemerintah (eksekutif) yaitu dalam hal pembentukan atau pembahasan anggaran, dan pembuatan undang-undang (legislasi). Sedangkan dalam fungsi pengawasan, DPR sendirilah yang mengontrol kinerja eksekutif. Ketentuan normatif ini termuat dalam pasal 19 hingga pasal 22 B UUD RI 1945.
          Dalam implementasi fungsi DPR tersebut, dapat kita nilai secara objektif bahwa kinerja para anggota dewan sesungguhnya tidak sejalan dengan apa yang diharapkan oleh rakyat, DPR justru telah menciderai hati nurani rakyat, banyak anggota DPR saat ini yang hanya berkedok anggota dewan saja tetapi hatinya yang sebenarnya untuk menggerogoti uang uang rakyat dengan dalih melindungi kepentingan rakyat. Padahal, DPR yang sering disebut-sebut sebagai representasi rakyat yang terhormat, seharusnya mampu untuk menunjukkan kinerjanya layaknya tukang becak yang bekerja keras untuk mendapatkan sesuap nasi.
          Menilik sejarah masa lalu, yaitu ketika zaman orde baru yang kekuasaan terlalu bertumpu pada kekuasaan eksekutif (eksekutif heavy) banyak penyalahgunaan wewenang berasal dari kalangan eksekutive, namun sejak runtuhnya dinasti orde baru tersebut yang disimbolkan dengan hadirnya era reformasi, keadaan justru berbalik dengan perpindahan  kekuasaan yang semula dari eksekutif menjadi legislatif dan hal tersebut sangat di manfaatkan oleh anggota dewan "yang terhornmat" untuk memperbesar perut dan memuaskan nafsu masing-masing. Sebagai contoh riil yang saat ini marak diperbincangkan di media massa terkait kasus-kasus yang menjerat anggota dewan, antara lain kasus mafia banggar, kasus video porno, kasus wisma atlet, kasus pembelian kursi sidang, dan kasus-kasus yang belum terungkap lainnya. Hal tersebut menunjukkan betapa miskinnya moral wakil rakyat yang terhormat ini, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah jika yang diawasi dan yang mengawasi sama-sama korupsi (moral dan finansial) terus siapa yang mengawasi?

DESAKRALISASI/DEPRIVATISASI AGAMA SECARA GLOBAL


DESAKRALISASI/DEPRIVATISASI AGAMA SECARA GLOBAL
( STUDI PEMIKIRAN PETER BEYER TENTANG AGAMA DAN GLOBALISASI )
Oleh : Muh. Irham Roihan

 I.      PENDAHULUAN
Globalisasi yang dikatakan datang bersamaan dengan kapitalisme telah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer, dan sumber kekuatan-kekuatan lainnya. Hadirnya era globalisasi sebagai suatu gerakan massif membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan barat, seperti hak asasi manusia, demokrasi, feminisme, liberalisme, sekularisme dan pluralisme. Dalam konteks sosial keagamaan, globalisasi telah melahirkan masyarakat polisentris yang multi-kultural dan multi-religius. Istilah tersebut menunjukkan bahwa globalisasi telah  menyediakan ruang publik yang lapang bagi keberadaan ragam identitas sosial seperti budaya, agama, ras, dan gender dalam proses interaksi yang setara dan kooperatif. Globalisasi seolah membuka jalan bagi terciptanya keadilan, demokrasi, perdamaian, integritas, persaudaraan, dan persahabatan di dalam perbedaan.[1] Namun demikian, dibelahan dunia lain tengah terjadi resistensi terhadap kuatnya arus faham globalisasi, hal ini ditandai dengan tumbuhnya semangat dan sikap tidak toleran, yakni munculnya berbagai komunitas primordial yang justru mempertebal kesadaran subjektif universalistik dan eksklusifisme yang sangat radikal. Oleh karena itu, tidak jarang masyarakat mengalami konflik terbuka atas nama identitas primordial seperti agama ini.
Di dalam makalah yang membidik pemikiran seorang sosiolog yang bernama Peter Beyer ini, lebih banyak akan menyinggung permasalahan agama yang saat ini dilihat sebagai sesuatu yang sangat sakral dan lebih banyak menekankan pada urusan individu sehingga dengan hal tersebut, agama telah kehilangan relevansinya dengan urusan publik.[2] Inilah yang kemudian dinamakan privatisasi, semua fenomena ini, menurut Peter Beyer terjadi karena munculnya paham pluralisme dalam masyarakat modern. Walhasil, cara beragama masyarakat modern hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat ibadah individual dimana agama hanya berperan sebagai pemenuh kebutuhan spiritual belaka, tidak lagi kebutuhan sosial, padahal agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan publik dalam sebuah masyarakat, bahkan pada masyarakat modern sekalipun. Agama tentunya dapat menjadi sumber inspirasi sebagaimana ia juga membawa serangkaian norma-norma religius yang dapat memberikan pencerahan kepada seluruh ummat manusia.[3] Inilah yang kemudian membuat penulis ingin menggagas suatu konsepsi mengenai deprivatisasi atau desakralisasi agama secara global setelah sebelumnya didiskusikan dengan dosen dan teman-teman santri Pondok Pesantren UII angkatan 2010.
Dengan berbagai permasalahan yang telah diungkapkan diatas, penulis kemudian merumuskan permasalahan tersebut menjadi 3, yaitu :
1)      Bagaimanakah sebenarnya hubungan antara agama dan globalisasi jika ditinjau berdasarkan pengaruh globalisasi terhadap agama dan respon agama terhadap globalisasi?
2)      Apakah privatisasi agama merupakan sebuah konsekuensi globalisasi ?
3)      Apakah privatisasi atau sakralisasi agama harus di deprivatisasi/desakralisasi secara global ?